Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mahkamah Konstitusi Merobohkan Tembok Diskriminasi

27 November 2017   15:28 Diperbarui: 27 November 2017   15:47 1771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anggota MK (http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/#item-3)

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Pasal 61 ayat (1) dan (2) serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 yang telah diubah dengan UU No 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan ajuan Nggay Mehang Tana dkk., adalah satu upaya nyata untuk merobohkan "tembok" diskriminasi di Indonesia. Ini tidak sebatas dibolehkannya menyatakan identitas keyakinannya dalam KK dan KTP, yang kerap dimanipulasi. Yang lebih utama ialah hak-hak dasar mereka sebagai warga negara mendapat pengakuan dan perlindungan hukum.

Selama ini, diskriminasi tersebut begitu angkuh di depan hukum. Malahan telah merasuk dan menyatu dengan hukum. Sampai-sampai kita tidak sadar bahwa dalam ketentuan hukum ada banyak unsur kandungan diskriminatif. Ketentuan Pasal 61 ayat (1) dan (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan (5) UU tersebut di atas hanyalah salah satu yang tertulis. Dalam praktek masih bisa ditemui di dalam urusan-urusan administrasi.

Itulah sebabnya para penghayat kepercayaan begitu bergembira menyambut keputusan MK. Mereka seolah baru lepas dari tali kekang, penjara, yang membuat gerak hidup mereka serba terbatas. Tak sebebas warga negara lain penganut enam agama yang sebelumnya diakui negara.

Gara-gara kolom agama kosong di KTP, akses mereka di banyak bidang kehidupan tersumbat. Menjadi PNS, TNI, Polri (diper-) sulit. Mengurus akta nikah, akta kelahiran anak, bahkan berobat di rumah sakit, mereka kerap ditolak seperti dialami Dian Jenie Tjahyawati penganut Sapto Dharmo atau penolakan penerbitan akta nikah yang dialami Dewi Kanti, penganut Sunda Wiwitan beberapa waktu lalu.

Pertanyaannya, apakah dengan keputusan MK itu semua warga negara otomatis pendapat perlakuan adil dalam berbagai urusan administrasi kependudukan dan administrasi negara? Tentu tidak. Masih ada serangkaian tindakan susulan dari berbagai lembaga terkait. Mulai dari perubahan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), data base kependudukan, sampai pada sosialisasi dan implementasinya di semua lembaga terkait di seluruh Indonesia.

Untuk urusan teknis itu, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kemendagri Zudan Arief Fakhrullah, mengaku butuh waktu kira-kira satu bulan. Setelah itu, Kemendagri masih perlu menerbitkan sejumlah ketentuan serta petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya di semua lembaga yang ada, dari pusat sampai kelurahan/ desa.

Terpenuhinya hal-hal di atas pun belum merupakan jaminan terwujudnya pelayanan yang adil. Masih ada sejumlah hal yang dapat menjadi penghambat, yang juga perlu ditangani.

Komitmen

Pertama paling pokok, ialah komitmen para pejabat di berbagai lembaga dari pemerintah pusat sampai Kelurahan/Desa untuk menerima dan mau melaksanakan secara tulus apa yang telah diatur dalam konstitusi, UUD 1945, tentang hak-hak warga negara. Salah satunya ialah kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agama yang dianut. Ini harus disertai dengan pelaksanaan perintah konstitusi kepada negara untuk memberikan jaminan terhadap kedua hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Selama ini, komitmen tersebut lebih bersifat lip service. Tindakan para pejabat maupun petugas administrasi belum memosisikan setiap warga negara secara adil berdasarkan perintah konstitusi. Hak-hak sebagian warga negara kerap diabaikan. Warga negara yang dilayani cenderung dibedakan berdasarkan agama yang dianut. Padahal pelayanan yang diberikan bukan urusan agama atau iman, melainkan hal-hal yang terkait dengan hak-hak sebagai warga negara berdasarkan konstitusi.

Sikap itulah yang harus diubah oleh pejabat di lembaga mana pun dan di level apa pun. Para pejabat wajib memperlakukan setiap warga negara berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan... ", dan Pasal 28I ayat (2) yang menegaskan bahwa "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.".

Hal kedua, ialah anggapan bahwa penganut enam agama (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu) lebih utama dari penganut aliran-aliran kepercayaan perlu segera dihilangkan dalam pikiran para pejabat negara, maupun para pemimpin agama. Sebab di depan konstitusi, negara, dan hukum, semua warga negara setara tanpa embel-embel unsur suku, antar golongan, ras, dan agama (SARA).

Perlu disadari bahwa agama, aliran kepercayaan, atau apa pun namanya, hanyalah suatu sistem atau alat atau cara bagi manusia untuk mengenal Tuhan dan beribadat kepada-Nya menurut sistem itu. Cara manusia mengenal Tuhan tidak harus sama. Boleh banyak cara asalkan tidak bertentangan dengan konstitusi.

Persoalannya, pemahaman bangsa kita tentang sistem itu terlanjur dibatasi. Cara mengenal Tuhan seolah hanya mungkin dalam enam agama. Itu pun semua agama impor. Dalam kenyataannya, cara manusia mengenal masih banyak. Di berbagai belahan dunia masih dapat disaksikan berbagai cara manusia mengenal Tuhan, baik yang disebut agama, maupun bukan, menurut versi orang beragama.

Di Indonesia sendiri menurut data Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017 ada 187 organisasi penghayat kepercayaan yang terdaftar dengan penganut setidaknya 12 juta orang. Semua organisasi itu memiliki titik persamaan dengan enam agama yang kita kenal. Merupakan cara penganutnya untuk mengenal Tuhan dan berbakti kepada-Nya. Kenyataan inilah yang harus diakui dan dihargai dalam melayani warga negara.

Ketiga, kedudukan agama sebagai alat mengenal Tuhan tidak lebih penting dari pada manusia. Jangan hanya gara-gara agama manusia dikorbankan. Ingat, agama itu hadir untuk kepentingan manusia, bukan sebaliknya. Agama atau apa pun namanya hanya ada dalam masyarakat manusia. Tanpa manusia, agama apa pun otomatis punah. Namun, meskipun semua agama punah, atau semua manusia tak menganut agama apa pun, spesies manusia tetap eksist.

Dari situ jelas bahwa dalam urusan administrasi, kepentingan manusia haruslah menjadi pertimbangan utama. Para pejabat dan petugas administrasi jangan membiarkan dirinya dikungkung oleh keyakinan agamanya dalam urusan administrasi warga negara yang berbeda agama dengannya. Konteks bernegara jangan dicampur-adukan dengan konteks beragama atau berkepercayaan kepada Tuhan.

Para pejabat negara jangan mengambil alih posisi Tuhan untuk menilai benar tidaknya agama orang lain yang berbeda dengannya. Itu urusan Tuhan, bukan urusan pejabat negara. Yang perlu ialah: pertama,  para pejabat menjalankan tugas menurut ketentuan hukum. Pemimpin agama dan penghayat kepercayaan membina penganutnya agar lebih taat dan beriman kepada Tuhan yang diyakini; Kedua, bersama-sama membangun komitmen untuk memerjuangkan pemenuhan hak-hak setiap warga negara secara adil berdasarkan ketentuan konstitusi dengan merubuhkan tembok diskriminasi yang telah lama merasuk pikiran dan dunia hukum. Inilah sesungguhnya misi keputusan MK tersebut. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun