Orang beragama itu banyak yang lucu-lucu. Kadang lebih lucu dari Cak Lontong. Umumnya mengaku bahwa pencipta dan pemilik alam semesta, termasuk manusia adalah Tuhan. Tuhan itulah yang disembah. Sifat-Nya serba Maha. Maha Kasih, Maha Penyayang, Maha Adil, dan sejumlah Maha lainnya. Pokoknya, sayang kepada seluruh manusia tanpa embel-embel suku, agama, ras, jabatan, kuasa, harta.
Oleh karena kemahaan-Nya itulah, maka Tuhan memberikan berbagai hal yang sama bagi semua manusia. Rupa-rupa hak, diberikan-Nya. Hak untuk hidup, hak memertahankan diri, hak menikah dan dinikahi, hak untuk mencerdaskan diri, hak untuk menyembah-Nya, dst., secara sama. Tuhan berikan juga waktu, cahaya matahari, gelap, hujan, angin, air, dan berbagai hal yang bisa dimanfaatkan agar manusia bisa hidup.
Tuhan tak pilih-pilih. Semua hal itu diberikannya kepada orang alim beriman maupun jahat, pejabat yang jujur maupun koruptor, kepada dermawan maupun maling siang atau malam hari. Pokoknya kepada ciptaan-Nya Tuhan memberikan segala hal secara adil. Bahwa hal itu dimanfaatkan oleh manusia atau ditelantarkan, Tuhan tidak ambil pusing. Ia tak mau main paksa. Ia memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih dan memutuskan sendiri.
Apa pun yang dilakukan manusia tentu ada konsekuensinya, selagi hidup maupun setelah mati. Untuk hal ini pun orang beragama percaya bahwa penghakiman terakhir merupakan hak mutlak Tuhan. Tak ada yang bisa intervensi dengan cara apa pun. Pasalnya, Tuhan tidak bisa disuap seperti halnya pejabat atau penguasa yang tamak.
Diyakini pula bahwa pemimpin agama, yang paling alim sekali pun, tak ada yang bisa menentukan masa depan manusia, termasuk dirinya sendiri. Tak ada yang bisa menentukan siapa saja yang berhak atau boleh masuk surga, yang dikira mirip atau sama seperti sebuah tempat dengan fasilitas serba lengkap, sehingga penghuninya tinggal menikmati apa saja yang ada, termasuk para bidadari cantik yang selalu siap memberikan pelayanan sempurna.
***
Namun, ketika negara hendak menerjemahkan pandangan itu dalam menyelenggarakan negara, dalam hukum negara, banyak yang kaget. Ketika negara menerapkan aturan yang memosisikan semua manusia sama di hadapan Tuhan, negara, dan hukum, ada yang tiba-tiba alergi, kebakaran kumis, eh jenggot.
Ketika negara memberikan jaminan dan perlindungan kepada setiap orang untuk menganut agama atau aliran kepercayaan di luar enam agama yang dikenal, tiba-tiba ada yang menolak posisinya sebagai manusia. Dengan gagah berani mengambil alih posisi Tuhan, lalu berkata tidak boleh ada agama selain enam agama (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu) di Indonesia. Hanya enam agama itulah yang boleh ada dan boleh dianut. Itu agama resmi yang diakui negara. Aliran kepercayaan bukan agama. Oleh sebab itu, mereka tidak diperbolehkan memiliki hak yang sama dengan para penganut enam agama.
Saya menduga, orang semacam itu pasti sudah lupa bahwa dirinya masih manusia. Sama dengan manusia lain di hadapan Sang Pencipta. Juga di hadapan negara dan hukum negara, baik yang beragama maupun tidak. Ia tak lebih dari sekedar penganut agama pada agama yang diyakininya. Ia tak memiliki hak dan kuasa apa pun mengatur keyakinan siapa pun di luar dirinya, termasuk ayah-ibunya, anak-istrinya atau cucu-cicitnya. Sebab urusan iman adalah urusan privat tiap manusia dengan Tuhannya.
Yang boleh dia lakukan hanya membimbing mereka agar percaya kepada Tuhan  menurut agamanya. Namun, kalau ada yang tak percaya, lalu memilih agama lain, ia tak boleh memaksa. Sebab, Tuhan sendiri tak pernah main paksa agar manusia percaya kepada-Nya.
Tentu saja setiap orang boleh mengklaim bahwa agamanya yang paling benar, lainnya salah. Boleh saja bilang hanya penganut agamanya yang berhak masuk surga kelak, lainnya tidak. Namun, jangan lupa bahwa agama apa pun bukanlah penyelamat manusia. Agama hanyalah jalan dan cara manusia mengenal Tuhan, Sang pemilik hidup dan Pemberi Keselamatan.