Kedua, ia menilai bahwa tertangkap tangan yang dilakukan KPK berbeda dengan yang digariskan dalam ketentuan KUHAP. Menurut definisi KUHAP peristiwa tertangkap tangan haruslah terjadi pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu seperti diatur pada Pasal 1 angka 19 KUHAP.
Itu sangat berbeda dengan apa yang dilakukan KPK. "Bagaimana disebut 'tertangkap' padahal diintai berbulan-bulan dan menyimpang dari makna asal.#TerTipuOTT," tulisanya dalam akun twitetrnya (Jawa Pos).
Mungkin karena terlalu sibuk omong atau karena memang tak paham hukum, atau makin gelisah karena KPK makin gencar menunjukkan kualitasnya yang melebihi kualitas DPR, Fahri tidak bisa berpikir normal lagi. Ilusinya tentang keburukan KPK dia anggap nyata, fakta. Inilah yang terus dia umbar ke publik. Ia sama sekali tak sadar bahwa ia makin ngawur.Â
Ia tidak paham bahwa hukum acara yang berlaku pada KPK adalah KUHAP juga. Dalam kondisi pikirannya yang lagi galau, Fahri mungkin tak sempat membaca, atau ia memang membaca tapi gagal mengerti maksud pernyataan Pasal 38 ayat (1) UU KPK bahwa segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK.
Perkecualiannya hanya pada Pasal 38 ayat (2) yang menegaskan, "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini." Inilah yang barangkali belum dibaca atau mungkin tidak dipahami oleh Fahri sehingga ia sangat bersembangat mengatakan bahwa KPK tidak memiliki dasar hukum OTT.
Kalau saja ia menyempatkan diri diskusi dengan mahasiswa semester I Fakultas Hukum, ia pasti diberi informasi bahwa semua istilah dan makna yang ada dalam KUHAP terkait dengan tertangkap tangan, penangkapan, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan merupakan acuan, dasar hukum, prosedur kerja KPK.
Para mahasiswa pasti akan menjelaskan kepada Fahri bahwa jika KPK melakukan tindakan di luar ketentuan KUHAP, maka KPK melanggar hukum. KPK wajib tunduk dan bekerja menurut ketentuan KUHAP. Jika nekat seperti jalan pikiran Fahri, maka siapa pun, termasuk mereka yang terjaring OTT, dapat melakukan perlawanan secara hukum dengan praperadilan seperti yang dilakukan sahabat kentalnya Setya Novanto.
Saya harap cuitan Fahri itu atau beritanya di berbagai media tidak sampai dibaca Tsamara Amany. Kalau sempat ia baca dan waktunya lagi lowong, saya sangat khawatir Fahri akan "dicukur" habis oleh Tsamara. Atau mungkin Tsamara akan memberi Fahri "permen" yang kembali membuat Fahri terkencing-kencing di tempat duduknya sehingga tak berani menatap wajah cantik Tsamara.
Kalau itu terjadi, kasihan Wakil Ketua DPR RI, bukan?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H