Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Alasan Hukum Perpanjangan Masa Kerja Pansus Hak Angket DPR

23 September 2017   22:15 Diperbarui: 24 September 2017   13:12 1806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana perpanjangan masa kerja Panitia khusus (Pansus) hak angket DPR terhadap KPK makin menguat. Masinton Pasaribu, yang barusan dicopot dari jabatannya sebagai wakil ketua Pansus mengakui hal itu. Akhir September, hasil kerja Pansus akan dilaporkan pada rapat paripurna DPR. Namun, karena pekerjaan belum selesai, Pansus berencana meminta persetujuan DPR untuk memerpanjang masa kerja Pansus, kata Masinton.

Kita tak perlu menyoal perpanjangan tersebut dari segi hukum. Bagi DPR dan Pansus, ketentuan hukum tak perlu. Yang mereka anggap perlu cukup kesepakatan DPR saja. Pasalnya, kalau memakai ketentuan hukum pembahasannya di DPR bukannya jadi mudah. Sebaliknya, jadi ruwet.

Dari sisi hukum, mahasiswa semester I di Fakultas hukum pun sangat paham bahwa perpanjangan masa kerja Pansus mustahil. Tak satu pun pasal yang memberi ruang kepada DPR untuk memerpanjang masa kerja Pansus.

Pasal 206 ayat (1) UU No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) tegas menyatakan, "Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak dibentuknya panitia angket." Penjelasan ayat ini menyatakan: cukup jelas! Ini artinya ruang perpanjangan waktu sudah digembok. Kalau mau buka paksa itu namanya merusak gembok. Pelanggaran, bukan?

Bagaimana dengan bunyi ayat (2)? Jelas tidak ada ruang. Bunyinya: "Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panita angket." Ini artinya, kalau ada mahasiswa semester I menanyakan dasar hukum perpanjangan masa kerja Pansus, cukup dijawab: DPR RI dan Pansus tidak butuh ketentuan hukum nasional!

Menyesatkan

Jawaban ini tentu menyesatkan. Ya, bagi yang pikirannya sehat dan waras. Apakah DPR RI tidak memiliki pikiran seperti itu? Jelas punya!. Mereka semua orang-orang cerdas. Dari sisi pendidikan, sebagian besar (89,91%) dari 560 anggota DPR berpendidikan S1, S2, dan S3. Sisanya (10,09%) berpendidikan SMA ke bawah. Dari data ini jelas mereka bukan orang sembarangan. Mustahil mereka bisa menyelesaikan pendidikan tersebut kalau pikirannya tak sehat dan tak waras.

Lalu mengapa mereka tidak mendasarkan pekerjaannya pada ketentuan hukum? Jawabannya ada tiga. Pertama, sejak awal pembentukan Pansus DPR sudah terlanjur mereka mengistirahatkan pikiran sehat dan waras. Sudah terlanjur melanggar banyak ketentuan hukum dan etika persidangan DPR dalam versi pikiran sehat dan waras, tetapi normal dari sisi pikiran yang sebaliknya.

Penggunaan hak angket yang diatur dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3 sudah terlanjur dilanggar. Menurut ketentuan pasal itu, hak angket tidak boleh digunakan suka-suka. Subyeknya harus pemerintah dan obyeknya haruslah pelaksanaan UU berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam penjelasan Pasal 79 itu, pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah tersebut sudah ditegaskan. Hanya terbatas pada kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian. Di luar itu tidak boleh!

Namun, DPR yang telah mengistirahatkan pikiran sehat dan warasnya. Mereka ngotot dengan mengatakan boleh menggunakan hak angket terhadap KPK. Rupanya mereka sangat grogi menyaksikan puluhan anggotanya yang disebut terlibat dalam kasus korupsi e-KTP sehingga tidak mau pusing dengan aturan hukum.

Yang penting bagi mereka ialah langkah KPK harus direm. Wewenang penyadapan dan penuntutan ditarik dari KPK. Kalau perlu lembaganya dibekukan supaya anggota DPR yang terlibat korupsi e-KTP tidak sampai dijadikan tersangka.

Ius constitutum dan ius constituendum

Kedua, DPR malas malas menggunakan akal sehat dan logika. Dengan akal sehat dan logika, DPR sebenarnya bisa menggunakan hak angket terhadap KPK dan lembaga mana pun yang melaksanakan UU dan/atau kebijakan pemerintah. Namun, ada syaratnya. DPR harus mengubah lebih dahulu ketentuan hukum yang berlaku, hukum positif (ius constitutum, khususnya yang diatur dalam Pasal 79 ayat (3), kemudian menggantinya dengan ketentuan yang mereka cita-citakan (ius constituendum).

Jangan ujung-ujug, tiba-tiba, dadak. Jangan sampai yang dicita-citakan, yang masih di angan-angan, atau masih di atas langit, tiba-tiba dijadikan alat untuk mengukur kondisi nyata. Kalau itu dipaksakan, itu namanya kebelet. Karena dipaksakan, tentu saja tidak pas. Tapi, itulah yang membuat DPR malas.  Mengubah ketentuan hukum dalam keadaan wajar, normal, dalam keadaan pikiran sehat dan waras, pasti butuh waktu, ketelitian, dan pertimbangan kebutuhan publik. Ini yang justru dihindari DPR. 

Untuk itu, tak perlu bicara dasar hukum. Tak perlu bicara ketentuan jumlah fraksi yang seharusnya mendukung pembentukan Pansus agar disebut sah. Juga tak perlu bicara kesepakatan DPR. Semua itu hanya ada dalam dunia orang serius, yang mau menggunakan akal sehat, logika.

Kesepakatan anggota DPR yang semula dianggap lebih tinggi dari ketentuan hukum pun terlanjur dilanggar.

Ketika putusan rapat paripurna pembentukan Pansus diambil, kesepakatan semula ternyata dipinggirkan. Dasar keputusan melulu ketukan palu Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah yang pada saat itu memimpin rapat paripurna.

Ketiga, DPR ternyata telah melahirkan ketentuan baru dalam pengambilan keputusan. Ketentuan itu hanya dua pasal. Simpel, singkat, tapi jelas. Pasal pertama, pemegang kebenaran tafsiran ketentuan pasal-pasal hukum hanya DPR. Pandangan para ahli hukum, praktisi hukum, dan akademisi, tak berlaku di DPR. Hanya boleh berlaku di lembaganya masing-masing.

Pasal dua, ketika tafsiran DPR tidak memiliki cantolan dalam ketentuan hukum, maka ketentuan yang berlaku sebagai solusi ialah lihat ketentuan pasal pertama.

Berdasarkan ketentuan itu, maka perpanjangan waktu yang diminta Pansus sudah tak perlu dibahas serius dari sisi hukum. Tak perlu masukan dari para ahli hukum. Mubazir. DPR toh sudah memiliki ketentuan sendiri. Dengan ketentuan itu biarlah mereka melakukan apa pun yang mereka mau sampai bosan sendiri karena kehabisan bahan.

Simpan di salah satu rak

Bagaimana kelanjutannya kalau hasil kerja Pansus disetujui DPR? Ya, rekomendasi DPR harus diterima oleh pemerintah dengan sepenuh hati dan jiwa. Biar urusan DPR selesai sampai pada penyerahan dokumen. Itulah batas "wilayah" DPR. Urusan selanjutnya di "wilayah" domestik pemerintah biar ditangani sepenuhnya oleh pemerintah.

Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, yang intinya sama dengan sikap Presiden Jokowi, ketika menyampaikan tanggapan pemerintah tentang pembentukan Pansus hak angket DPR sudah memberi sinyal ke arah itu. "Pemerintah sama sekali tidak bisa ikut campur kewenangan konstitusi yang dimiliki oleh DPR. Oleh karenanya, silakan DPR menggunakan haknya," ujar Pramono di Istana Kepresidenan, Juni 2017. (Kompas.com).

Ini artinya dokumen yang diterima dari DPR kelak harus disimpan baik-baik. Pada saat menerima pun, pemerintah perlu memanggil DPR yang mulia atau yang terhormat. Setelah itu, dokumen berisi rekomendasi DPR tadi langsung disimpan di salah satu rak yang paling terhormat (kalau ada) di sekretariat negara. Jangan dibuka supaya tidak cacat.

Dengan demikian pekerjaan Pansus dan DPR selesai, anggotanya bisa segera menandatangani tanda terima honorarium, DPR tentu puas, dan KPK boleh melanjutkan pekerjaannya menangkap satu persatu anggota DPR yang memang terlibat korupsi e-KTP. Simpel, bukan? ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun