Yang penting bagi mereka ialah langkah KPK harus direm. Wewenang penyadapan dan penuntutan ditarik dari KPK. Kalau perlu lembaganya dibekukan supaya anggota DPR yang terlibat korupsi e-KTP tidak sampai dijadikan tersangka.
Ius constitutum dan ius constituendum
Kedua, DPR malas malas menggunakan akal sehat dan logika. Dengan akal sehat dan logika, DPR sebenarnya bisa menggunakan hak angket terhadap KPK dan lembaga mana pun yang melaksanakan UU dan/atau kebijakan pemerintah. Namun, ada syaratnya. DPR harus mengubah lebih dahulu ketentuan hukum yang berlaku, hukum positif (ius constitutum, khususnya yang diatur dalam Pasal 79 ayat (3), kemudian menggantinya dengan ketentuan yang mereka cita-citakan (ius constituendum).
Jangan ujung-ujug, tiba-tiba, dadak. Jangan sampai yang dicita-citakan, yang masih di angan-angan, atau masih di atas langit, tiba-tiba dijadikan alat untuk mengukur kondisi nyata. Kalau itu dipaksakan, itu namanya kebelet. Karena dipaksakan, tentu saja tidak pas. Tapi, itulah yang membuat DPR malas. Â Mengubah ketentuan hukum dalam keadaan wajar, normal, dalam keadaan pikiran sehat dan waras, pasti butuh waktu, ketelitian, dan pertimbangan kebutuhan publik. Ini yang justru dihindari DPR.Â
Untuk itu, tak perlu bicara dasar hukum. Tak perlu bicara ketentuan jumlah fraksi yang seharusnya mendukung pembentukan Pansus agar disebut sah. Juga tak perlu bicara kesepakatan DPR. Semua itu hanya ada dalam dunia orang serius, yang mau menggunakan akal sehat, logika.
Kesepakatan anggota DPR yang semula dianggap lebih tinggi dari ketentuan hukum pun terlanjur dilanggar.
Ketika putusan rapat paripurna pembentukan Pansus diambil, kesepakatan semula ternyata dipinggirkan. Dasar keputusan melulu ketukan palu Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah yang pada saat itu memimpin rapat paripurna.
Ketiga, DPR ternyata telah melahirkan ketentuan baru dalam pengambilan keputusan. Ketentuan itu hanya dua pasal. Simpel, singkat, tapi jelas. Pasal pertama, pemegang kebenaran tafsiran ketentuan pasal-pasal hukum hanya DPR. Pandangan para ahli hukum, praktisi hukum, dan akademisi, tak berlaku di DPR. Hanya boleh berlaku di lembaganya masing-masing.
Pasal dua, ketika tafsiran DPR tidak memiliki cantolan dalam ketentuan hukum, maka ketentuan yang berlaku sebagai solusi ialah lihat ketentuan pasal pertama.
Berdasarkan ketentuan itu, maka perpanjangan waktu yang diminta Pansus sudah tak perlu dibahas serius dari sisi hukum. Tak perlu masukan dari para ahli hukum. Mubazir. DPR toh sudah memiliki ketentuan sendiri. Dengan ketentuan itu biarlah mereka melakukan apa pun yang mereka mau sampai bosan sendiri karena kehabisan bahan.
Simpan di salah satu rak