Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berhadapan dengan KPK, Komisi III DPR Kelabakan, Bicarannya Ngawur

14 September 2017   16:10 Diperbarui: 14 September 2017   22:21 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
RDP KPK dan Komisi III DPR (Foto: Antara/Puspa Perwitasari) Read more at https://kumparan.com/nadia-riso/5-hal-menggelikan-yang-disampaikan-komisi-iii-kepada-kpk#odSCf2GmE0YuM6FW.99

Pertemuan komisi III DPR RI dan KPK yang banyak disebut "rasa Pansus" menandakan kelabakan yang luar biasa anggota DPR menghadapi KPK. Persoalan sapaan saja dipermasalahkan. Tidak dipanggil yang terhormat atau yang mulia, Arteria Dahlan dari PDIP marah. Masinton Pasaribu juga begitu. Penjelasan Ketua KPK, Agus Rahardjo dibilang dongeng. Junimart Girsang lebih kacau lagi. Ketua KPK yang adalah hasil seleksi mereka sendiri dibilang tidak mampu menjadi ketua KPK.

Mau dipanggil yang terhormat, untuk apa? Orang terhormat tak perlu bilang "saya terhormat". Juga tak perlu menyuruh orang lain memanggilnya "bapak atau saudara yang terhormat". Seorang ayah di rumah tak perlu mengumumkan kepada anak-anaknya bahwa dia ayah. Caranya memosisikan diri, caranya bertutur kata, dan bertindak, secara otomatis membuat anak-anaknya memanggilnya ayah. Ia tak mengemis-ngemis dipanggil ayah seperti Arteria Dahlan.

Cara berpikir anggota DPR dari PDIP ini menggelikan sekali. Terlalu mengagungkan kulit luar, bukan isi. Terlalu memuja sebutan, bukan hakikat. Mereka kira kalau orang sudah memanggilnya yang terhormat atau yang mulia, maka dirinya otomatis terhormat dan mulia, ha ha.

Kegeraman Junimart Girsang atas pernyataan Ketua KPK Agus Rahardjo tentang obstruction of justice atau perbuatan melawan hukum, juga tak kalah menggelikan. Gara-gara pernyataan Agus yang menilai bahwa anggota pansus angket terhadap KPK bisa dijerat hukum jika terus menghalangi penyidikan kasus e-KTP, bicaranya merambat ke mana-mana.

Ia menuding Agus tak mampu menjadi ketua KPK. "Tidak seusai dengan kemampuan dan keahlian Pak Agus, bapak sebagai simbol dari KPK, tentu harus paham tentang apa yang disampaikan kepada publik, harus paham tentang nilai hukum, tentang dampak dari apa yang kita sampaikan. Mohon maaf kepada bapak ibu, ini harus saya sampaikan," kata Junimart di depan anggota Komisi III DPR dan pimpinan KPK di Gedung DPR (merdeka.com)

Bukan main! Agus Rahadjo di depan Junimart bukan cuma dipandang rendah, tapi direndahkan serendah-rendahnya dan sebodoh-bodohnya. Agus dianggapnya tidak tahu apa-apa tentang KPK dan posisinya sebagai ketua. Ia lupa bahwa Agus adalah hasil pilihan DPR sendiri berdasarkan seleksi ketat Panitia seleksi pimpinan KPK selama enam bulan sejak Juni 2015.

Ia mengira bahwa Agus adalah anak kemarin sore yang tak tahu menahu apa yang boleh dan tak boleh, apa itu nilai hukum, serta dampak pernyataannya kepada publik. Junimart  seolah berkata kepada publik bahwa seleksi yang mereka lakukan pada tahun 2015 salah. Harapan agar pimpinan KPK yang mereka pilih bisa ditekuk oleh DPR ternyata keliru.

Belum puas merendahkan Agus, Junimart juga menyoal proses OTT. Dia bilang apa yang dilakukan KPK tidak sesuai dengan KUHP. Menurutnya, seharusnya berita acara pemeriksaan diutamakan ketimbang SOP. Dia  memasalahkan tingkatan para penyidik KPK seolah jabatan penyelidik tidak bisa sekaligus menjadi penyidik.

Dia memasalahkan jabatan JPU dan penyidik polisi. Dia bilang kalau sudah di KPK, maka jabatannya di lembaga asal harus dicabut. Dia juga memasalahkan Jubir KPK Febri Diansyah. Dia bilang Febri tak usah banyak bicara. Aneh 'kan? Namanya saja juru bicara. Kerjanya ya bicara. Kalau dilarang bicara banyak untuk menjelaskan kebijakan dan keputusan KPK, lalu kerjanya apa? Disuruh ngopi di DPR? Weleh weleh.

Pelampiasan Rasa Putus Asa

Apa yang dikemukakan di atas hanya sekedar contoh dari sikap sekian anggota DPR RI yang mengumbar rasa cemasnya kepada KPK. Mereka memang menampilkan diri seperti berani, garang, tak bersalah, suci, tapi yang ada di balik itu lebih banyak rasa takut yang luar biasa atas ketegasan KPK dalam melaksanakan tugasnya. Tampaknya tidak salah kalau dikatakan bahwa sikap tersebut tak lebih dari upaya pelampiasan rasa putus asa mereka karena pimpinan KPK tak mau diajak kompromi.

Pernyataan Agus yang dikritik Junimart rupanya membuat jantung mereka terus berdebar-debar keras. Betapa tidak, kalau benar pimpinan KPK melaporkan anggota Pansus tersebut kepada polisi karena dinilai menghalang-halangi pemeriksaan perkara, bukan tidak mungkin ada di antaranya yang terkencing-kencing di celana karena dipersilakan tidur di ruang sempit tahanan yang tak semewah kamar tidurnya di rumah atau ruangan sidang DPR.

Seharusnya, kalau mereka yakin tak bersalah maka pertemuan komisi III dan KPK tersebut tak perlu dijadikan ajang menyerang kebijakan dan pribadi pimpinan KPK. Yang perlu dilakukan adalah menyampaikan saran koreksi secara elegan. Kalau KPK benar melanggar aturan, DPR tinggal tunjukan pelanggarannya untuk dikoreksi. Namun, bila pelanggarannya berat, melanggar hukum, tinggal diproses secara hukum, bukan?

DPR juga tak perlu teriak-teriak mau menguatkan KPK atau berkata tidak memiliki niat melemahkan KPK seperti yang dilakukan Agun Gunandjar Sudarsa dari Golkar yang juga ketua Pansus saat dengar pendapat Komisi III DPR dengan Kejaksaan Agung. Menanyakan kepada Jaksa Agung Prasetyo kinerja KPK atau bahwa ia tidak memiliki niat melemahkan KPK jelas tidak relevan.

Mau teriak sekeras apa pun tentang niat Agun Gunandjar menguatkan KPK, yang juga disebut-sebut terlibat kasus korupsi e-KTP, siapa yang percaya? Bagaimana mungkin menguatkan KPK kalau Agun dan rekan-rekannya di DPR terus berupaya agar hak penuntutan ditarik dari KPK lalu dikembalikan kepada Kejaksaan? Siapa yang percaya kalau DPR terus mendesak agar hak penyadapan ditarik dari KPK? Padahal, penyadapan itu sendiri merupakan senjata ampuh KPK untuk mengendus jejak para calon koruptor yang tengah bernegosiasi dengan si penyuap sambil bermesraan dengan selingkuhannya? Sama sekali saya tidak percaya, entah yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun