Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nur Wahid, seolah-olah berpihak dan berbaik hati kepada Presiden Jokowi gara-gara mengadakan pertemuan dengan relawan Jokowi (Projo) beberapa waktu lalu. Di satu sisi ia memang mengeritik tindakan tersebut karena dianggap terlalu terburu-buru. Tapi di sisi lain, ia seolah-olah memihak Jokowi dengan menyatakan kekhawatirannya atas tindakan tersebut.
Alasannya, membicarakan Pilpres 2019 saat ini dianggapnya tidak tepat. Bisa membuat Jokowi tidak fokus dalam menyelesaikan tugasnya dalam dua tahun ke depan, termasuk janji kampanye pada tahun 2014 silam. Ia khawatir, hal tersebut akan memunculkan hujatan dari publik kepada Jokowi. Para pendukung Jokowi juga bisa berubah haluan, kemudian beralih ke calon lain dengan pertimbangan rasional.
Pandangan yang mirip dikemukakan juga oleh Fahri Hamzah, yang dulu kawan tapi sekarang sudah menjadi musuh bebuyutan Hidayat Nur Wahid. Namun untuk urusan yang satu ini, Hidayat dan Fahri jadi kompak.
Bagi Fahri, pertemuan Jokowi dengan relawan Projo itu keliru karena tidak dihadiri oleh calon lain. Pertemuan seperti itu, kata Fahri, semestinya dihadiri oleh calon lain untuk menyatakan kesiapannya menjadi Capres. Cuma, ia sendiri bingung karena tak melihat calon lain.
Fahri pun menantang Capres lain agar muncul. Kemunculan mereka diharapkan bisa terjadi dialog antar capres dan pendukungnya. Dengan begitu pada saat mendekati Pilpres kesiapan Capres bisa dinilai masyarakat, tentang siapa yang siap dan siapa yang tidak siap. "Apa tidak siap, tidak punya uang, gak percaya diri?" pungkasnya. Jangan sampai muncul anggapan bahwa Jokowi satu-satunya Capres, lanjutnya (Breakingnews).
Menurut Fahri, ada bahaya yang perlu diwaspadai Jokowi terhadap Projo. Pertama, anggota projo tak teridentifikasi. Kedua, keadaan ini sangat mungkin mendorong munculnya Projo-projo lain yang kegiatannya tak terkendali sehingga merugikan Jokowi. Untuk itu, Fahri mewanti-wanti agar Jokowi tidak memanfaatkan kekuasaan pemerintahannya untuk kepentingan politik.
Membangun Opini sesat
Sepintas, apa yang dikatakan Hidayat dan Fahri masuk akal dan dapat diterima. Hidayat membangun opini bahwa konsolidasi para pendukung ada rumus waktu baku yang kalau dilanggar pasti berakibat vatal. Cuma, rumusannya ini tidak dijelaskan apakah cukup satu-dua bulan atau malah beberapa hari sebelum pemungutan suara. Yang penting baginya omong, he he.
Pandangan Fahri juga begitu. Ia membangun opini bahwa konsolidasi pendukung Jokowi harus dihadiri oleh calon lain, lawan politik, guna mencegah kesan bahwa Jokowi satu-satunya calon presiden pada Pilpres 2019. Lebih parah, ia memrediksi akan bermunculan Projo-Projo domplengan yang sengaja dibentuk untuk mengacaukan Projo asli tanpa bisa dideteksi oleh Jokowi.
Ha ha ha menggelikan! Mengapa menggelikan? Karena apa yang dikatakan Hidayat tak terbukti. Hidayat sendiri tidak menyebutkan satu pun bukti bahwa pikiran dan pekerjaan Jokowi jadi kacau setelah pertemuan dengan para pendukungnya.
Lebih lucu lagi karena yang dibangun Hidayat dalam pandangannya adalah rasa khawatir, bukan optimisme dan sisi positif. Ini mirip dengan Fadli Zon yang selalu hanya mampu melihat kekurangan Jokowi karena ia sendiri membangun kekurangan itu dalam dirinya.