Artikel Ricky Vinando (Kompasiana, 20/12/2016) berjudul “Kasus Ahok:JPU Keliru, Ini Penjelasan Hukumnya”, menggoda hati saya untuk segera membaca karena judulnya tampak seksi. Pagi ini, 21/12/2016, judul tersebut sudah diubah menjadi “Kasus Ahok: Pasal 156 a KUHP Delik Materil, Ini Penjelasan Hukumnya”. Terus terang, saya sangat berharap akan mendapatkan pelajaran baru dari anak muda yang sangat produktif menulis tersebut.
Setelah membaca, memang saya mendapat pelajaran baru. Jalan pikiran Ricky belum pernah saya temukan. Benar-benar baru. Sempat juga memberikan komentar, tapi Ricky tetap pada pendiriannya. Argumen hukum yang saya ajukan sangat lemah, tulisnya. Entah disembunyikan admin atau apa, pagi ini, komentar tersebut malahan tidak muncul.
Ada tiga hal baru yang mengagetkan saya pada jalan pikiran Ricky. Pertama, anggapannya bahwa delik dakwaan JPU kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Pasal 156a huruf a KUHP, dinilainya keliru. Kedua, Ricky tak setuju pada dakwaan JPU yang hanya menggunakan Pasal 156a huruf a. Ketiga, rumusannya tentang ciri delik formil dan materil dalam hukum pidana.
Menurut Ricky, JPU keliru dalam memahami jenis delik dalam Pasal 156a KUHP. Rumusan Pasal 156a huruf a dan b tersebut demikian:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Bagi JPU, delik tersebut adalah delik formil, artinya untuk mendakwa seseorang tidak memerlukan akibat lebih dahulu. Tapi Ricky bilang keliru. Itu delik materil. Artinya untuk mendakwa Ahok, harus sudah ada akibat berupa adanya orang (dalam hal ini penganut Islam) yang meninggalkan agamanya setelah mendengarkan pernyataan Ahok. Nyatanya, tidak. Sejak Ahok berpidato di Kepulauan Seribu, 27/09/2016 yang diduga menista agama Islam sampai saat ini, tak seorang pun yang menjadi tidak beragama atau meninggalkan agamanya.
Bagi dia, akibat tersebut merupakan syarat mutlak. Sama dengan delik pembunuhan dalam Pasal 338 dan Pasal 340 KUHP. Seseorang didakwa dengan pidana pembunuhan apabila sudah timbul akibatnya terlebih dahulu. Sudah ada yang mati akibat pembunuhan. Tanpa kematian, maka tidak ada tindak pidana pembunuhan, tulisnya.
Untuk meyakinkan dirinya, Ricky menyebut dua frasa dalam Pasal 156a sebagai dasar untuk menglasifikasikannya sebagai delik materil, yaitu frasa “dengan sengaja” pada huruf a dan "dengan maksud" pada huruf b. Dengan adanya dua frasa itu dalam Pasal 156a, maka Ricky berkesimpulan bahwa delik itu adalah delik materil.
Bagi dia, penerapan Pasal 156a huruf a bagi Ahok tidak tepat. Sebab, Pasal 156a huruf a dan huruf b, adalah satu kesatuan. Tidak bisa dipisahkan karena ketentuan pada huruf a merupakan actus reus atau perbuatan pidana berkaitan dengan huruf b yakni akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pada huruf a, Pasal 156a KUHP tersebut.
Tampaknya Ricky terlalu bersemangat menilai JPU sehingga implikasi konsep delik formil dan delik materil yang pernah dipelajarinya di fakultas hukum tak teringat lagi. Ia juga gagal memahami mengapa ada pemilahan huruf a dan b dalam Pasal 156a tersebut. Dia kira hal itu tidak boleh dipilah menjadi dua pokok delik.
Jalan pikiran Ricky kira-kira begini: JPU seharusnya mendakwa Ahok dengan Pasal 156a huruf a dan b. Sebab keduannya satu kesatuan yang tak boleh dipisah-pisah. Lalu, karena Pasal 156a itu dia anggap delik materil dan tidak ada akibat dari perbuatan yang didakwakan kepada Ahok, maka JPU tidak punya dasar hukum mendakwa Ahok. Dengan kata lain, JPU harus menghhentikan perkara Ahok.
Terus terang keinginan ini secara sosial saya suka. Lebih-lebih karena saya suka pekerjaan Ahok yang belum tertandingi oleh Gubernur mana pun sampai saat ini. Namun, dari sisi hukum, tidak. Sangat menyesatkan bila anggapan yang salah terhadap suatu ketentuan UU diterapkan dalam menegakkan hukum.
Dasar Penentuan Delik Ala Ricky
Lebih baru lagi, tapi mungkin aneh bagi yang lain, Ricky membuat dasar pemikiran baru dalam menentukan jenis delik. Setiap ketentuan yang mengandung frasa “dengan sengaja” dan “dengan maksud” dalam KUHP, menurut Ricky delik itu adalah delik materil.
Lha, kalau itu dasar pikirannya, bagaimana dengan delik pencurian dalam Pasal 362 KUHP? Rumusannya: “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud (huruf tebal dari penulis) untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima Tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Apakah dengan adanya frase “dengan maksud” tanpa frase “dengan sengaja”, maka delik itu disebut setengah formil dan setengah materil? Tentu tidak. Delik itu tetap saja delik formil. Frasa “dengan maksud” di situ masih setara dengan frasa “dengan sengaja”. Masih berada pada tataran mens rea (niat) dari perbuatan. Belum memerlihatkan gerak tubuh, perbuatan atau tindakan apalagi akibat. Begitu seseorang mengambil barang yang bukan miliknya secara melawan hukum, barulah ia dinyatakan telah melakukan tindak pidana pencurian tanpa harus menunggu akibat dari perbuatan tersebut. Perbuatan atau tindakan dalam bentuk gerak tubuh mengambil inilah yang disebut actus reus. Jadi, bukan "dengan sengaja" seperti anggapan Ricky.
Ditilik dari rumusan delik Ricky, tindakan itu pun jelas disengaja dan memiliki maksud. Mana ada yang melakukan pencurian “tidak dengan sengaja” atau “tidak dengan maksud” tertentu. Pasti dengan sengaja, direncanakan, dan dengan maksud untuk memilikinya. Tindakan ini sama dengan tindak pidana penyuapan (Pasal 209, 210 KUHP) sumpah palsu (Pasal 242 KUHP), pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP) sebagai delik formal. Tidak perlu menunggu akibat.
Mana ada penyuap yang tidak dengan sengaja menyuap, mana ada pemalsu surat yang tidak dengan sengaja dan tanpa meksud ketika melakukan pemalsuan surat, mana ada yang tidak dengan sengaja dan tidak punya maksud tertentu ketika melakukan sumpah palsu. Semuanya pasti mengandung unsur “dengan sengaja” dan “dengan maksud” tertentu.
Benar bahwa frase “dengan sengaja” dan “dengan maksud” dalam delik-delik tersebut tak tertulis eksplisit. Namun, tidak berarti karena tak tertulis, maka unsur-unsur itu tidak ada, bukan? Pernyataannya, apakah delik-delik itu kemudian disebut delik materil? Tentu tidak. Pasal-Pasal itu tetap merupakan delik formil. Pada saat orang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, si pelaku dinyatakan telah melakukan tindak pidana. Tak perlu menunggu negara bangkrut akibat suap menyuap untuk mendakwa pelaku. Ketahuan menjanjikan, apalagi tertangkap tangan memberikan suap, dasar hukum melakukan penangkapan oleh KPK sudah dukup.
Di sinilah kekeliruan berpikir Ricky. Kalau delik-delik itu dijadikan delik materil, menunggu akibat, maka akan banyak koruptor yang lolos dari jeratan KPK. Akan banyak yang dirugikan karena sumpah palsu dan pemalsuan surat, dan seterusnya.
Pemahaman bahwa ketentuan pasal 156a huruf a dan b itu satu kesatuan tentu saja ya. Artinya bisa didakwakan kepada seseorang yang dalam satu paket apabila bukti permulaan sudah cukup. Tetapi apa yang diatur dalam pasal itu tetap merupakan dua pokok yang dapat didakwakan secara sendiri-sendiri. Dakwaan untuk huruf a berlaku bagi orang yang mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia Misalnya, seseorang berteriak-teriak atau membuat selebaran, tulisan yang isinya menyalahkan ajaran agama tertentu.
Sedangkan dakwaan huruf b berlaku bagi orang yang mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan atau tindakan dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Misalnya, A membujuk B agar meninggalkan agamanya dengan cara membeberkan bukti dan argumentasi tentang kekurangan atau kejelekan ajaran agama yang dianut B, bahkan ajaran agama pada umumnya. Hal itu dilakukan agar B tidak percaya pada ajaran agama, sehingga memutuskan meninggalkan agamanya.
Inilah yang dikacaukan Ricky. Ia memaksa pikirannya menyatukan hal-hal yang sebetulnya boleh dipisah sesuai dengan kasus yang dihadapi.
Kekeliruan JPU
Bagi saya, kekeliruan JPU tidak terletak pada kekeliruan dakwaan yang dikelirukan oleh Ricky. Tetapi justru pada pengategorian pernytaan Ahok sebagai tindakan penistaan agama. Dalam tulisan berjudul “Inilah Penjamin Ahok Tidak Menista Agama”, di situ diungkap bahwa Ahok sebenarnya sedang meluruskan pandangan yang telah terlanjur lama dipraktekkan salah dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang secara eksplisit ditentukan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Ahok telah membuka mata publik tentang pelanggaran-pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Dakwaan JPU terhadap Ahok melanggengkan praktek pelanggaran ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut. Secara lebih detail, hal ini akan saya tulis pada artikel tersenndiri.
Hal kedua kekeliruan JPU adalah peyataan Ahok ketika menyebutkan Almaidah 51 sama sekali tidak ditempatkan pada konteks. Padahal setiap pernyataan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun pasti tak lepas dari konteks. Makna dari pernyataan hanya ada dalam konteks. Tidak percaya? Coba ucapkan kata “kamu cantik” atau “kamu ganteng” kepada seseorang dengan senyum tulus penuh persahabatan, lalu bandingkan ucapan yang sama dengan teriak, disertai mata melotot dengan raut wajah marah. Apakah kedua konteks itu wajar dimaknai sama sebagai memuji?
Hal yang sama berlaku bagi Ahok. Siapa pun yang mau berpikir jernih, dan mendengarkan pidato Ahok tanpa memuati pikirannya dengan rasa benci pasti akan berkatan bahwa pernyatan itu bukan bermaksud menista agama.
Ahok menyebutkan ayat suci itu dengan maksud motivasi masyarakat di Kepulauan Seribu agar bersemangat melaksanakan program budidaya ikan. Beliau meyakinkan program itu jangan dicampur adukan dengan Pilkada. Andaikata masyarkat Kepulauan Seribu tidak memilihnya atau ia tidak terpilih menjadi gubernur pada Pilkada Februari 2017 pun, beliau sudah berkomitmen menjalankan program itu sampai akhir masa jabatan.
Beliau hendak menghapus dalam kesadaran mereka tentang kebiasaan masa lalu yang menghentikan program bila tidak terpilih pada jabatan yang diincar. Ahok berkomitmen tidak akan memraktekkan hal tersebut. Komitment beliau, kelangsungan program budidaya ikan tidak ditentukan oleh terpilih tidaknya pada Pilkada. Konsteks inilah yang tidak diperhitungkan JPU sehingga menerima mentah-mentah sangkaan dari penyidik. Padahal penyidik sendiri ragu terhadap sangkaan penistaan agama tersebut. ***
Salam hangat Kompasiana,
Yosafati Gulo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H