Namun, kalau dirunut ke belakang, sikap keras SBP ternyata sudah lama. Sikapnya yang kritis sekaligus gemar menentang penguasa, sudah muncul pada masa pemerintahan Presiden Suharto. Wikipedia menulis, SBP adalah seorang tokoh pergerakan, reformis, aktivis, politikus dan juga orator hebat dalam masa-masa akhir jabatan dan penggulingan Presiden Soeharto. Ia juga merupakan Pendiri Partai PUDI dan juga pernah menjadi narapidana di era Presiden Soeharto. Namun, saat Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie menjabat, beliau dibebaskan.
Beruntung, sikap kerasnya saat itu cukup beralasan. Sama dengan sikap rakyat Indonesia yang sudah jijik menyaksikan ulah Suharto dan konco-konconya dalam mengelola negara. KKN yang terus menjalar selama kepemimpinan Suharto menjadi alasan kuat karena didukung oleh seluruh elemen masyarakat. Di sisi ini, jasa beliau memelopori gerakan reformasi bersama Amien Rais perlu diapresiasi.
Sikapnya terhadap pemerintahan SBY juga begitu. SBY yang memenangkan Pilpres secara telak tak luput dari kritik kerasnya. SBY dinilainya tak tegas. Sangat mencintai AS, menganggap AS sebagai ‘tuannya’, dan SBY merasa bisa menjadi presiden, karena dukungan AS. SBY memohon dukungan kepada AS. SBY menjual dirinya. Karena dalam benak SBY, hanya dengan dukungan AS, dia bisa jadi presiden. SBY merasa, “Negara saya Indonesia. Tapi, rumah saya AS”
Pada acara peluncuran bukunya bertajuk “Membongkar Kebohongan Politik Pemerintahan SBY-JK”, SBP pernah dikategorikan menghina Presiden. Pasalnya, saat itu sekelompok mahasiswa menurunkan foto SBY-JK yang tergantung di ruangan tempat acara berlangsung. Tindakan itu berbuntut. SBP memang tidak dibui, namun sempat diproses di Mapolda Metro Jaya Jakarta.
Bagaimana dengan Ratna Sarumpaet?
Rasanya tidak jauh beda. Pada diskusi ILC 27/2/2015, RS, menggambarkan negara Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi kacau. “Ini titik paling konyol, tidak berwibawa, kehilangan harkat, kehilangan harga diri. Itulah Indonesia sekarang” tudingnya dengan wajah marah besar. “Buat aku, ini negara sudah tidak punya kepala negara. Nggak ada kepala negara. Mana kepala negara? Cuma mondar-mandir. Emang kita tolol?” ujar Ratna Sarumpaet lantang yang mendapat applause meriah.
Sama seperti Dhani dan Amien Rais, SBP, RS, RSP melihat kasus Ahok adalah pintu masuk yang pas untuk menyerang Jokowi. Mereka sangat paham bahwa kegagalan rencana yang berkali-kali didiskusikan bersama Kivlan Zen, Adityawarman Thaha, Syarwan Hamid dan yang lain sebelumnya bisa gol bersama gerakan massa besar 2 Desember 2016. Itulah sebabnya RSP dan SBP mengatakan akan menggiring massa ke gedung DPR/MPR, lalu meminta MPR melakukan sidang Istimewa untuk mencabut mandat Jokowi.
Harap dicatat, bahwa sebagian besar orang-orang tersebut di atas adalah orang yang sangat dekat atau bahkan termasuk orang Gerindra. Fadli Zon Waketum Bidang Politik Dalam Negeri dan Pemerintahan, sedangkan RSP merupakan Waketum Bidang Ideologi. Pertanyaannya apakah gerakan mereka merupakan gerakan Gerindra atau turut disetujui oleh Prabowo atau tidak sama sekali, tentu tidak bisa disimpulkan begitu saja. Keterlibatan pribadi bisa saja terlepas dari kebijakan partai. Bisa juga tidak dianjurkan atau dilarang oleh Partai. Yang pasti, bahwa jawaban yang tepat hanya diketahui oleh Prabowo dan pribadi-pribadi tersebut.
Melengserkan Berhasil?
Tentu saja tidak. Bangkai busuk tetap saja bau. Mudah tercium. Orang waras pasti mengerti bahwa tudingan tanpa bukti hanyalah bualan yang merusak, menyesatkan pikiran. Itu, dipahami betul oleh intelijen negara dan kepolisian. Penangkapan mereka sebelum aksi 2 Desmber dimulai merupakan bukti bahwa gerak-gerik mereka sudah lama diintip oleh intelijen. Penangkapan dengan timing yang tepat itu memberi pesan kepada mereka bahwa di “atas angin masih ada angin”. Di atas kepentingan diri dan kelompok masih ada kepentingan yang lebih besar: rakyat dan NKRI.
Mereka lupa bahwa rencana makar di Indonesia tidak segampang memikirkannya. Kendati ada contoh pelengseran Suharto dan Gus Dur di Indonesia, atau Presiden di negara lain yang bisa dilengserkan karena gerakan massa, tetapi di Indonesia saat ini tidak semudah itu.