Dengan tuntutan ini, jangan dikira logika hukum berlaku. Kemungkinan adanya keberanian JPU dan hakim untuk berjalan di rel hukum sangat kecil. Proses hukum yang diminta aktor intelektual dan massa demo bukan proses hukum yang umum dipahamai JPU dan hakim. Mereka tidak butuh itu. Yang mereka butuh, hanyalah vonis Ahok dengan “dasar hukum” versi mereka yang dilegalkan melalui ketukan palu hakim.
Benar bahwa peserta demo bisa saja tidak menekan JPU dan hakim secara langsung. Mereka mungkin mengikuti himbauan Kapolri, Panglima TNI, para tokoh politik, dan para ulama agar tetap tenang, damai, ramah pada saat shalat. Namun, setelah shalat, apakah mereka langsung pulang tanpa mendapat kepastian dari pemerintah tentang penangkapan dan pemenjaraan Ahok? Tanpa kepastian, terlalu sulit untuk menjamin bahwa suasana tenang dan super damai yang diwacanakan bisa dipertahankan.
Lebih sulit lagi apabila ada di antara aktor inteletual demo yang memancing di air keruh. Contohnya, di kalangan aktor intelektual demo ada yang memunculkan martir seperti ditulis SBY pada artikelnya tanggal 28/11, atau anjuran Rachmawati Soekarnoputri agar menjadikan momentum demo untuk menuntut MPR menggelar Sidang Istimewa misalnya menginspirasi massa untuk berbuat nekat.
Suasana dan tekanan itulah yang terus membayangi JPU dan hakim sehingga mau tidak mau menempuh “jalur aman” yang telah ditempuh penyidik polisi. Dengan “jalur aman” itu, bisa dipastikan argumen hukum apa pun yang diberikan oleh saksi, keterangan ahli, maupun Ahok sendiri dalam persidangan cenderung bernasib sama dengan keterangan para saksi dan ahli yang didatangkan penasihat hukum pada kasus Jessica. Kemungkinan untuk dijadikan pertimbangan putusan oleh hakim sangat kecil.
Jangan Dikira Masalah Selesai
Apa pun yang terjadi, entah Ahok dipenjara atau saran Rachmawati diikuti massa, tidak berarti gejolak berhenti. Demo berjudul aksi bela Islam super damai mungkin saja berhenti. Para aktor intelektual demo tentu turut mendinginkan suasana karena tuntuannya telah tercapai.
Namun, bagaimana dengan masyarakat yang saat ini tidak setuju pada tuntutan demo? Apakah dikira semuanya akan jadi “anak manis” lalu dengan sukacita menerima vonis Ahok yang dipaksakan? Apakah dikira sidang istimewa MPR untuk menjatuhkan Jokowi akan disetujui oleh semua pihak? Apa dikira semua orang setuju mengembalikan UUD 1945 ke versi Rachmawati dan FPI dengan memasukkan tujuh kata dalam pembukaan serta pasal 29 UUD 1945? Rasanya tidak!
Vonis yang dipaksakan kepada Ahok pun jangan dikira menyelesaikan masalah. Selain dapat menimbulkan protes dari masyarakat yang paham hukum dan para pendukung Ahok, vonis tersebut sekaligus menganulir muatan UUD 1945 setelah diamandemen, baik yang terkait dengan jabatan presiden maupun kepala daerah.
Perlu diingat bahwa setelah UUD 1945 diamandemen, cara pandang terhadap posisi kepala daerah sudah berubah dan diterima sebagai buah reformasi. Ada pemutakhiran cara pandang dalam memilih pemimpin sebagaimana dianut sebelum amandemen UUD 1945 dengan menyesuaikannya dengan konteks keindonesiaan. Inilah yang mendasari pemikiran PKS, PAN, dan PKB ketika mengusung beberapa calon kepala daerah dan anggota legislatif, baik di daerah maupun pusat dari kalangan yang non Muslim pada Pileg dan Pilkada beberapa waktu lalu.
Ini artinya, bila Ahok divonis sesuai dengan tuntutan demo 212 dan sebelumnya, maka dengan sendirinya pengakuan terhadap isi UUD 1945, pengakuan kesamaan hak seluruh warga negara secara nyata telah dicabut oleh tekanan massa dan dilegalkan oleh ketukan palu hakim. Secara tidak langsung warga negara Indonesia dipaksa kembali ke keadaan sebelum amandemen UUD 1945. Kembali dikotak-kotak dalam terminologi warga negara asli, pemilik asli, penumpang, pendatang, atau warga negara yang paling berhak memimpin dan lainnya sekedar pengikut.
Selanjutnya, jika gagasan Rachmawati dan FPI tetap dipaksakan, jangan dikira gerakan memertahankan UUD 1945 hasil amandemen tidak akan muncul di berbagai daerah. Lalu, kalau gerakan itu dibentukan dengan gagasan Rachmawati dan FPI, bayangan yang pasti muncul di depan mata adalah NKRI yang disebut harga mati itu, pasti mati sungguhan.