Demikian pula para ulama. Eksistensi para ulama sama sekali tidak ditentukan oleh kata-kata hinaan atau nistaan dari siapa pun. Contohnya adalah Presiden Jokowi. Kendati Ahmad Dhani berkali-kali menyebut dan menyamakan beliau dengan binatang tertentu, Presiden Jokowi tetap tidak berubah wujud atau sifat seperti sebutan Dhani. Presiden Jokowi tetap jadi Presiden RI, terhormat, tidak hina, tidak nista.
Yang nista dan hina justru Ahmad Dhani sendiri. Ia gagal menggunakan mulutnya secara terhormat atau suaranya yang merdu untuk menghibur orang susah atau membangun sikap positip. Ia gagal menyebarkan energi positip bagi dirinya dan publik sebagaimana layaknya seniman. Gagal memilih lirik yang sesuai dengan irama langkah nasional. Ia hanya mampu membungkus selera rendahnya terhadap Presidennya dengan pelintiran kata.
Bahwa Presiden Jokowi, ulama, umat Islam, atau siapa pun tersinggung bila dihina, tentu saja ya. Itu wajar, normal, dan manusiawi. Tetapi rasa tersinggung bukan kewajiban atau keharusan. Sifatnya pilihan. Ketika mengizinkan diri tersinggung, maka rasa sakit hati, terlukai, teraniaya, akan muncul. Bila tidak, maka semua rasa itu mustahil muncul.
Respon terhadap rasa tersinggung pun, begitu. Tidak wajib diimbali dengan amarah atau demonstrasi besar-besaran. Kesalahan karena ketidak-sengajaan tidak wajib dibalas dengan amarah. Jauh lebih terhormat dan mulia jika ketersinggungan diimbali dengan pemberian maaf seperti kerap diajarkan oleh para ulama dan pemimpin agama pada umumnya. Apalagi karena pernyataan tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghina atau menista Qur’an dan ulama seperti berkali-kali dikemukakan Ahok di berbagai kesempatan sebelum dan sesudah demo.
Tampaknya, inilah yang mendasari sikap banyak ulama, kiyai, ustadz, pimpinan ormas Islam yang tak ikut demo, akademisi, politisi, maupun awam untuk tidak mengizinkan dirinya tersinggung atau mengimbali Ahok dengan amarah. Alasannya, adalah sebagai berikut:
Pertama, sebagai petahana Gubernur DKI yang turut bersaing pada Pilkada 2017 sangat tidak logis kalau beliau menyebar kebencian, permusuhan kepada calon pemilih yang sebagian besar beragama Islam. Kedua, warga negara belatar belakang minoritas ganda, mustahil beliau mencari gara-gara dengan warga negara yang mayoritas beragama Islam. Ketiga, ibu nangkatnya sendiri selama menempuh pendidikan di Jakarta adalah seorang ibu yang beragama Islam (almarhum) Misribu Andi Baso Amier binti Acca asal Bugis.
Keempat, kebijakannya mendukung pembangunan berbagai fasilitas dan kegiatan Islam selama menjadi Bupati di Belitung dan Gubernur DKI menunjukkan bahwa beliau tidak pernah memiliki niat mendiskreditkan Islam.
Pertanyaannya, apakah fakta-fakta ini perlu dipertimbangkan hakim dalam pengadilan Ahok? Seharusnya ya. Putusan yang didasarkan pada fakta akan membantu hakim mengambil keputusan yang bukan saja adil, tetapi bermanfaat dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. MUI pun sebagai personifikasi para ulama yang dengan jiwa besar dan iman tingginya, bisa menolong hakim dalam mengambil keputusan yang adil dengan menunjukkan sisi-sisi positip dari Ahok, bukan sisi gelapnya semata. Itu sesungguhnya yang ditunggu publik dari MUI demi republik dalam wadah NKRI.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H