Apakah Ahok menista?
Bisa ya bisa tidak. Tergantung pada alat ukur yang dipakai mengukur, siapa yang mengukur, dan tujuan pengukur. Bila alat ukurnya hukum dan diukur oleh penegah hukum dengan tujuan menegakkan hukum (keadilan), maka jawabnya bisa ya, bisa tidak. Faktor penentunya banyak. Di antaranya, fakta tindakan, pernyataan (actus reus), keterangan saksi dan ahli yang benar-benar objektif tanpa diberi muatan politik, konteks atau suasana ketika pernyataan itu diucapkan, yang menggambarkan ada tindaknya hasrat, keinginan, atau semangat menista (mens rea). Hal terakhir ini perlu mendapat tekanan karena fakta menunjukkan bahwa setiap ucapan atau pernyataan yang dilontarkan oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun selalu ada konteks.
Bila unsur-unsur itu terpenuhi, maka Ahok jelas menista. Misalnya, pernyataan itu dikemukakan sendiri atau bersama orang lain dengan teriak-teriak dengan raut muka marah, ekspresi bermusuhan, membenci. Atau dikemukakan dengan nada menghasut agar orang menjauhi atau memusuhi ajaran Al Qur’an dan ulama seperti dilakukan Ahmad Dhani ketika menyamakan Presiden Jokowi dengan binatang atau Fahri Hamzah yang mengasut rakyat untuk menjatuhkan Jokowi.
Sebaliknya, jika tak terpenuhi, maka hakim mustahil memvonis Ahok menista. Hal ini dapat diketahui dengan mencermati konteks pembicaraan, suasana forum, respon para pendengar setelah mendengarkan kalimat-kalimat yang dipermasalahkan, cara Ahok menyampaikan pernyataan, raut mukanya, dan nada bicaranya. Hal ini bisa diperkuat dengan kesaksian orang yang hadir berdasarkan fakta.
Namun, bila alat ukurnya bukan hukum, maka bisa dipastikan Ahok salah. Secara formal bisa saja memakai instrumen hukum oleh penegak hukum, tetapi ketika proses hukum itu dihimpit, ditekan oleh kepentingan politik, tokoh berpengaruh yang anti Ahok, tekanan massa, maka hasilnya bisa jauh dari keadilan hukum. Penentu keputusan hakim bukan lagi kepentingan hukum. Tapi kepentingan di luar hukum. Lebih parah lagi bila, ya, hanya bila hakim yang mengadili Ahok ada yang memosisikan diri sama dengan anti Ahok.
Jika hal itu yang terjadi, maka bukti apa pun dan penjelasan apa pun yang disodorkan Ahok cenderung dimaknai menurut versi anti Ahok. Pada kasus Jessica Kumala Wongso, gejala tersebut sangat kentara. Apa pun yang dikatakan Jessica, gerak-geriknya, responnya terhadap apa pun, raut wajahnya dalam berbagai situasi selalu dimaknai sebagai tanda bahwa ia pembunuh Mirna. Tanda-tanda serupa dalam kasus Ahok pun sudah muncul dalam gelar perkara. Ketika bentrok pendapat terjadi, maka yang dimenangkan adalah pendapat yang menyatakan Ahok bersalah.
Benar bahwa apa yang terjadi pada gelar perkara belum final. Yang final adalah putusan pengadilan. Mengingat begitu gentingnya suasana, penyidik menilai akan sangat beresiko bila kasus itu dihentikan pada tahap penyelidikan. Lebih baik diserahkan kepada lembaga pengadilan terbuka agar tensi amarah bisa turun sehingga keputusan hakim kelak dapat ditrima dengan kepala dingin.
Pertanyaannya, apakah polarisasi itu tidak terjadi di pengadilan? Secara logika mustahil! Bila kembali dihadirkan pada persidangan, besar kemungkinan mereka tetap berkata hal yang sama. Pertentangan pendapat pada gelar perkara berpindah di pengadilan. Inilah yang dikuatirkan publik. Bila para pihak itu tetap bersiteguh pada pendiriannya, lebih-lebih kalau hakim terbawa arus, maka proses dan putusan pengadilan terhadap Ahok bisa diduga. Proses panjang dengan puluhan saksi dan ahli seolah jadi mainan untuk melegalkan tuntutan para pendemo.
Keadaannya memang bisa berbalik. Terutama jika Ahok mampu membuktikan serta meyakinkan hakim bahwa apa yang dituduhkan kepadanya tidak benar. Ini pun perlu didukung oleh hakim yang benar-benar mau bardiri di atas landasan hukum, logika hukum, akal sehat, dengan memertimbangkan aspek kemanfaatan dan kepastian hukum guna menegakkan supermasi hukum. Artinya, hakim mau dan mampu melepaskan diri dari pengaruh apa pun dari luar koridor hukum.
Apakah Qur’an dan ulama ternista?
Bagi saya, Al Qur’an sebagai kitab suci tidak mungkin nista atau hina. Kendari orang sedunia menghina atau menista Al Qur’an, ia tak pernah berubah. Ia tetap suci. Ajaran apa pun yang ada di dalamnya tak pernah sirna, atau nilainya berkurang hanya gara-gara adanya orang jahil yang menghina atau menista. Kalau ada yang bilang bahwa Qur’an nista setelah dinista, jelas keliru. Yang lebih masuk akal ialah bahwa pemilik kitab suci Al Qur’an merasa tersingung, merasa dinista.