Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fahri Hamzah: Ketua KPK Mungkin Frustrasi

23 Februari 2016   17:12 Diperbarui: 23 Februari 2016   18:01 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Fahri Hamzah (http://www.jawapos.com/)"][/caption]

Ini judul berita Kompas.com, 22/2/16. Hal ini dikatakan Fahri menanggapi pernyataan Ketua KPK, Agus Rahardjo yang mengancam mundur apabila DPR tetap melakukan revisi terhadap UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Alasannya, draft revisi yang diajukan DPR terlalu jauh dari apa yang disepakati dengan pimpinan KPK sebelumnya. Menurut pengamatan Agus, 90% isi draft revisi akan melemahkan KPK.

Menanggapi hal itu, Fahri angkat bicara. Ia mengaku memahami alasan Agus, tapi bukan soal isi draft revisi. Malahan Fahri bilang, Agus mengancam mundur merupakan pertanda bahwa Agus tidak siap memimpin KPK. He he he tafsirannya kok gitu ya?

Bukan itu saja. Fahri juga mengaku mengerti bahwa Agus tidak mengerti cara kerja di KPK. Oleh karena itu Agus mungkin frustrasi, tandasnya. Selanjutnya, Fahri mengingatkan bahwa Agus adalah Ketua KPK. Tugasnya hanya sebagai pelaksana undang-undang. Oleh sebab itu, tidak ada alasan baginya menolak revisi UU KPK.

Lagi pula, yang memimpin pemberantasan korupsi di Indonesia bukan Agus Rahardjo, melainkan Presiden Republik Indonesia terpilih, dalam hal ini Jokowi-JK. Merekalah yang harus keluar dengan konsep-konsepnya, ujar Fahri kepada media.

***

Terus terang, sangat sulit bagi saya memahami cara berpikir Fahri. Mungkin karena saya bukan orang politik. Bukan juga anggota DPR atau pejabat, sehingga pernyataan Fahri terasa seperti bahasa lain dari planet lain. Mungkin juga karena jangkauan otak saya terlalu pendek untuk menjangkau kejeniusan Fahri.

Berulang saya baca pernyataan tersebut. Setelah sedikit berkeringat dingin, tiba-tiba saya dapat ilham dan menemukan kebenaran pernyataan Fahri.

Agus Rahardjo tidak bisa memimpin KPK!

Pernyataan ini benar 100%. Alasannya, mana mungkin Agus bisa memimpin KPK kalau kekuatan yang telah diberikan oleh UU No 30 Tahun 2002 kepada KPK digerogoti. Kalau semula KPK berwenang menyadap orang yang dicurigai mulai atau sedang merencanakan merampok uang negara dengan prosedur yang terbukti ampuh, tiba-tiba dilarang. Tidak boleh langsung. Harus minta izin dulu kepada dewan pengawas. Nanti kalau pengawas bilang ok, KPK baru boleh menyadap.

Kalau semula KPK berwenang merekrut sendiri penyelidik dan penyidik berdasarkan UU KPK yang ada, tiba-tiba dibilang tidak boleh. Hasil rekrutmen tidak independen, tidak bermutu. Yang independen dan bermutu adalah penyidik yang diusulkan dari lembaga kepolisian dan kejaksaan berdasarkan hasil seleksi mereka sendiri.

Bagi Agus, cara berpikir semacam ini pasti aneh. Yang direkrut secara independen oleh KPK, dibilang tidak independen, tetapi yang direkrut oleh lembaga di luar KPK malahan dibilang independen. Independennya di mana? Independen untuk kepentingan lembaga pengutus, tetapi bukan untuk kepentingan pekerjaan KPK.

Mungkin Fahri lupa, desakan pendirian KPK pasca reformasi, bukan karena tidak adanya penegak hukum, polisi dan kejaksaan. Tapi karena kedua lembaga itu mandul dalam menangani kasus-kasus korupsi. Agus yakin, sampai saat ini kepolisian dan kejaksaan belum sehat betul dari penyakitnya. Banyaknya pejabat dari lembaga peradilan umum, kejaksaan, dan kepolisian yang terlibat dalam kasus tipikor merupakan bukti bahwa kedua lembaga itu perlu disehatkan dulu. Agus paham bahwa memimpin orang-orang sakit untuk berlari pasti mustahil.

Jika tetap dipaksa memimpin KPK karena UU memerintahkan begitu, tentu saja Agus stress. Bayankan saja, di depan mata ia melihat ada calon pencuri lagi bisik-bisik mangatur rencana perampokan uang negara, tapi ia tidak boleh merekam bisik-bisik. Ia disuruh ada bukti dulu. Baru minta izin dewan pengawas. Agus sadar bahwa prosedur itu ngawur. Hanya akan membuat maling kabur. Mirip dengan melihat orang sekarat di jalan karena ditabrak mobil, seseorang tidak boleh langsung menolong. Harus cari bukti dulu, kamudian minta ijin ke pihak yang berwenang. Yaaaa sebelum keluar izin, si korban keduluan meningga. Ini membuat stress gak?

Ketua KPK hanya pelaksana UU

Pernyataan ini juga benar 100%. Tapi, ada catatannya. KPK lebih condong sebagai bagian eksekutif. Tugasnya memang bukan membuat UU. Itu tugas DPR. Bukan karena tidak mampu. Kalau KPK membuat UU, lalu tugas DPR apa? Cuap-cuap? Rusuhi pekerjaan eksekutif? Atau D4T2ND (datang, duduk, dengar, dobrak meja, tanda tangan, ngantuk, dan duit)? Untuk itu, DPR perlu buat UU yang benar, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Tentu Fahri bertanya, masyarakat yang mana? Jawabnya adalah masyarakat yang anti korupsi, anti sogok-menyogok, anti penyalahgunaan kuasa dan jabatan, anti rampok uang negara, anti rekayasa anggaran.  Bukan masyarakat koruptor atau calon koruptor. Lha, Fahri sendiri termasuk anggota masyarakat yang mana?

Menurut ketentuan baku, teori dan proses pembuatan UU yang benar sudah jelas. Paling tidak, bagi yang pernah belajar hukum. Kalau Fahri pernah baca atau tidak ngantuk waktu kuliah, pasti paham.

Menurut teori, UU tidak boleh dibuat berdasarkan keinginan seseorang, atau sekelompok orang. Ia harus dibuat berdasarkan tuntutan kebutuhan nyata masyarakat. Ia dibuat untuk mengatasi masalah nyata yang menggangu kehidupan normal masyarakat. Itulah yang diformulai menjadi rumusan pasal dan ayat menjadi UU. Masyarakat tahu itu. Masyarakat sangat paham bahwa UU KPK yang ada sudah bagus. Ia telah menjadi senjata sangat tajam bagi KPK untuk membabat para koruptor, calon koruptor, atau anggota masyarakat yang bercita-cita menjadi koruptor.

Ketika DPR menyepelekan teori itu, mengesampingkan kebutuhan masyarakat, maka kata “hanya” dalam frase “hanya pelaksana UU” versi Fahri harus dikoreksi. Ini sangat layak dalam negara demokrasi. Pasalnya, pembagian tugas antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif bukanlah pemisahan kekuasaan yang menjurus pada monopoli kewenangan dan otoriterisme lembaga.

Agus Tidak Mengerti Cara Kerja KPK

Pernyataan ini juga benar 100%. Sebab yang dimengerti Agus adalah cara kerja KPK berdasarkan UU No 30 Tahun 2002. Ketika ia disodori draft UU KPK yang baru, Agus bingung. Frustrasi. Mengapa? Karena DPR selalu mewacanakan penguatan KPK, tetapi rumusan pasal-pasal yang telah terbukti menjadi kekuatan KPK, malahan dicoret oleh DPR lalu diganti dengan rumusan baru yang kalau dilaksanakan akan membuat KPK tak ubahnya macan ompong, yang hanya bisa mengaum, tapi mustahil menggigit.

Inikah yang dikehendaki Fahri dan DPR RI? ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun