Bagi Agus, cara berpikir semacam ini pasti aneh. Yang direkrut secara independen oleh KPK, dibilang tidak independen, tetapi yang direkrut oleh lembaga di luar KPK malahan dibilang independen. Independennya di mana? Independen untuk kepentingan lembaga pengutus, tetapi bukan untuk kepentingan pekerjaan KPK.
Mungkin Fahri lupa, desakan pendirian KPK pasca reformasi, bukan karena tidak adanya penegak hukum, polisi dan kejaksaan. Tapi karena kedua lembaga itu mandul dalam menangani kasus-kasus korupsi. Agus yakin, sampai saat ini kepolisian dan kejaksaan belum sehat betul dari penyakitnya. Banyaknya pejabat dari lembaga peradilan umum, kejaksaan, dan kepolisian yang terlibat dalam kasus tipikor merupakan bukti bahwa kedua lembaga itu perlu disehatkan dulu. Agus paham bahwa memimpin orang-orang sakit untuk berlari pasti mustahil.
Jika tetap dipaksa memimpin KPK karena UU memerintahkan begitu, tentu saja Agus stress. Bayankan saja, di depan mata ia melihat ada calon pencuri lagi bisik-bisik mangatur rencana perampokan uang negara, tapi ia tidak boleh merekam bisik-bisik. Ia disuruh ada bukti dulu. Baru minta izin dewan pengawas. Agus sadar bahwa prosedur itu ngawur. Hanya akan membuat maling kabur. Mirip dengan melihat orang sekarat di jalan karena ditabrak mobil, seseorang tidak boleh langsung menolong. Harus cari bukti dulu, kamudian minta ijin ke pihak yang berwenang. Yaaaa sebelum keluar izin, si korban keduluan meningga. Ini membuat stress gak?
Ketua KPK hanya pelaksana UU
Pernyataan ini juga benar 100%. Tapi, ada catatannya. KPK lebih condong sebagai bagian eksekutif. Tugasnya memang bukan membuat UU. Itu tugas DPR. Bukan karena tidak mampu. Kalau KPK membuat UU, lalu tugas DPR apa? Cuap-cuap? Rusuhi pekerjaan eksekutif? Atau D4T2ND (datang, duduk, dengar, dobrak meja, tanda tangan, ngantuk, dan duit)? Untuk itu, DPR perlu buat UU yang benar, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Tentu Fahri bertanya, masyarakat yang mana? Jawabnya adalah masyarakat yang anti korupsi, anti sogok-menyogok, anti penyalahgunaan kuasa dan jabatan, anti rampok uang negara, anti rekayasa anggaran. Bukan masyarakat koruptor atau calon koruptor. Lha, Fahri sendiri termasuk anggota masyarakat yang mana?
Menurut ketentuan baku, teori dan proses pembuatan UU yang benar sudah jelas. Paling tidak, bagi yang pernah belajar hukum. Kalau Fahri pernah baca atau tidak ngantuk waktu kuliah, pasti paham.
Menurut teori, UU tidak boleh dibuat berdasarkan keinginan seseorang, atau sekelompok orang. Ia harus dibuat berdasarkan tuntutan kebutuhan nyata masyarakat. Ia dibuat untuk mengatasi masalah nyata yang menggangu kehidupan normal masyarakat. Itulah yang diformulai menjadi rumusan pasal dan ayat menjadi UU. Masyarakat tahu itu. Masyarakat sangat paham bahwa UU KPK yang ada sudah bagus. Ia telah menjadi senjata sangat tajam bagi KPK untuk membabat para koruptor, calon koruptor, atau anggota masyarakat yang bercita-cita menjadi koruptor.
Ketika DPR menyepelekan teori itu, mengesampingkan kebutuhan masyarakat, maka kata “hanya” dalam frase “hanya pelaksana UU” versi Fahri harus dikoreksi. Ini sangat layak dalam negara demokrasi. Pasalnya, pembagian tugas antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif bukanlah pemisahan kekuasaan yang menjurus pada monopoli kewenangan dan otoriterisme lembaga.
Agus Tidak Mengerti Cara Kerja KPK
Pernyataan ini juga benar 100%. Sebab yang dimengerti Agus adalah cara kerja KPK berdasarkan UU No 30 Tahun 2002. Ketika ia disodori draft UU KPK yang baru, Agus bingung. Frustrasi. Mengapa? Karena DPR selalu mewacanakan penguatan KPK, tetapi rumusan pasal-pasal yang telah terbukti menjadi kekuatan KPK, malahan dicoret oleh DPR lalu diganti dengan rumusan baru yang kalau dilaksanakan akan membuat KPK tak ubahnya macan ompong, yang hanya bisa mengaum, tapi mustahil menggigit.