Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Inilah Alasan yang Memaksa Polisi Menetapkan Jessica Sebagai Tersangka

14 Februari 2016   10:05 Diperbarui: 14 Februari 2016   11:04 1935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keyakinan polisi bahwa tersangka Jessica sebagai pelaku pembunuh Mirna dengan racun sianida sudah bulat. Kalau saja polisi sekaligus berkewenangan mengadili, sudah pasti Jessica langsung divonis hukum mati atau penjara seumur hidup atau hukuman tertentu maksimal 20 tahun. Kendati belum mengaku, polisi tak mau ambil pusing. Bagi polisi, pengakuan tersangka tidak terlalu penting. Alasannya menurut Direskrimum Polda Metro Jaya, Krishna Murti, dari 300 kasus pembunuhan dengan racun yang ada di dunia, 90 persen pelaku tak mengaku.

Untuk itu, polisi melibatkan banyak ahli. Termasuk ahli hipnoterapi dan uji kebohongan dengan lie detector. Sialnya, hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan polisi. Jessica selalu lolos. Psikolog yang sudah digunakan sudah empat orang, psikologi forensik dari Mabes Polri dan dari luar juga, jelas beliau.

Melengkapi analisis para ahli itu, polisi kembali melakukan rekonstruksi tanggal 7/2/16. Lagi-lagi, pelaksanaan rekonstruksi ini tidak berjalan mulus. Tidak terjadi seperti yang diharapkan polisi. Dari 65 adegan, hanya 56 yang diakui Jessica. Sembilan adegan lainnya, versi polisi, ditolaknya karena dinilai tidak sesuai dengan kenyataan.

Polisi tentu bingung, walaupun hal tersebut tidak diakui di depan publik. Untuk menutupi hal itu, polisi kembali melakukan pemeriksaan kejiwaan Jessica. Pemeriksaan yang dimulai tanggal 11/2/2016 itu melibatkan tujuh ahli kejiwaan. Lima di antaranya ahli kejiwaan RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, dan dua lainnya dari Mabes Polri.

Menurut berita di berbagai media, pemeriksaan kali ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kejiwaan tersangka karena selalu bersikukuh membantah sangkaan dan fakta-fakta yang dimiliki polisi. Kali ini, polisi tidak lagi mengejar pengakuan tersangka. Polisi hanya membutuhkan profilnya dari para ahli kejiwaan.

"Kalau perbuatannya saja diingkari apalagi motifnya. Nah, sekarang untuk menjelaskan itu berbagai teknik digunakan, salah satu tekniknya pemeriksaan psikologi, psikologi forensik termasuk psikiatri forensik," ujar Krishna kepada wartawan.

Dikatakannya, setelah psikiater ahli mengeluarkan analisa kejiwaan Jessica dan hasilnya senada dengan analisa polisi bahwa Jessica memang benar membunuh Mirna, maka hasil tes kejiwaan akan dibawa ke pengadilan. Hasil itu akan dijadikan sebagai alat bukti yang diharapkan menguatkan dakwaan hakim.

"Kalau nantinya di pengadilan terpenuhi, yang bersangkutan melakukan, nanti akan dijelaskan mengapa dan bagaimananya (membunuh Mirna) oleh para ahli walaupun yang bersangkutan tidak mengatakan," tandasnya.

Menjelaskan persoalan kemengapaan barangkali bisa. Tapi, apakah para ahli itu mampu merekonstruksi detail kebagaimanaan meracuni? Apakah mereka bisa menghadirkan semua proses peracunan Mirna dalam pikirannya tanpa meleset? Lalu, apa yang dilakukan apabila hasil pemeriksaan ketujuh ahli itu tidak senada dengan analisis dan keyakinan polisi? Apakah polisi terus memaksakan kebenaran analisis dan keyakinannya bahwa Jessica adalah pelaku? Saya harap tidak!

Terpaksa Ditetapkan Jadi Tersangka

Perlu diingat bahwa pengerahan pikiran, waktu, dan tenaga cukup besar untuk membuktikan kebenaran sangkaan terhadap Jessica sangat bisa dipahami. Selain proses pembuktiannya cukup rumit, ada kaitannya dengan pendirian polisi sebelumnya. Sejak awal, polisi sudah terlanjur yakin bahwa pelaku pasti Jessica. Oleh karena itu, sekalipun banyak ahli yang meragukan alat bukti yang diajukan polisi, penyidik terpaksa menetapkan Jessica sebagai tersangka

Mengapa terpaksa? Ada dua sebab. Pertama, untuk menjaga kewibawan polisi. Soalnya, kurang lebih tiga minggu sebelum penetapan Jessica sebagai tersangka, Direskrimum Polda Metro Jaya, Kombespol, Krishna Murti, terus-menerus mengemukakan bahwa penyidik sudah memiliki empat alat bukti kuat yang mengarah kepada tersangka. Anehnya, selama tiga minggu itu pula polisi belum menetapkan tersangka. Secara hukum pernyataan ini janggal. Jangankan empat, dua  alat bukti kuat pun sudah cukup untuk menetapkan tersangka.

Dari situ nampak bahwa polisi ragu pada kekuatan alat bukti yang dimiliki. Sekalipun Jessica sudah diperiksa sebanyak lima kali dan mengumpulkan keterangan banyak saksi, saksi ahli forensik, psikolog forensi, bahkan sampai melibatkan hipnoterapi dan uji lie detector terhadap Jessica, hasil yang dicapai tetap saja remang-remang.

Tentu saja polisi tidak mau kehilangan muka. Untuk itu, polisi terus menempuh berbagai cara untuk mencari hal-hal yang mendukung keyakinanya. Polisi terus menganalisis gerak-gerik Jessica dari hasil rekaman CCTV Cafe Oliver. Terus mengumpulkan informasi, keterangan baru untuk dianalisis. Hasil analisis ini dipadukan dengan keterangan saksi-saksi tadi plus keterangan Darmawan Salihin (ayah Mirna), suami Mirna dan  kembarannya, Sandy, ditambah keyakinan awal polisi, ditambah hasil koordinasi dengan kejaksaan, serta hasil analisis gelar perkara, polisi akhirnya menetapkan Jessica sebagai tersangka pada tanggal 30 Januari 2016.

Apakah polisi mampu meyakinkan dirinya dan publik atas kesimpulannya itu?  Ternyata belum. Kendati ada yang sepakat dengan cara pandang polisi, tetapi banyak ahli yang menentang karena menilai adanya kejanggalan-kejanggalan proses sampai pada penetapan tersangka. Antara lain yang jadi perhatian ahli adalah tidak ada saksi yang melihat atau rekaman CCTV yang memerlihatkan Jessica menuangkan sesuatu dalam wadah minuman Mirna.

Bukan Cuma itu. Polisi juga dinilai mengabaikan logika umum dan logika hukum. Menurut logika dan hukum, Jessica memang pantas dicurigai sebagai pelaku. Tetapi hal sama berlaku bagi siapa saja yang ada di lokasi kejadian: Hani, peracik kopi dan pengantar kopi ke meja tempat perkara. Juga bagi semua orang yang ada di kafe Oliver, bahkan orang-orang dekat Mirna, termasuk keluarganya sendiri atau orang lain yang tidak ada di tempat kejadian tetapi ada kaitannya dengan Mirna. Tapi orang-orang ini semua tidak diperlakukan sama dengan Jessica.

Terlanjur dicekal

Alasan kedua, dalam posisinya sebagai saksi, Jessica terlanjut dicekal oleh pihak Imigrasi atas permintaan penyidik melalui Surat No.R/541/I/2016/DATRO, tertanggal 26 Januari 2016. Menurut Kasubag Humas Ditjen Imigrasi Heru Santoso dalam surat tersebut tidak ada pernyataan apa-apa, hanya permohonan pencekalan karena yang bersangkutan masih dalam proses penyidikan.

Permintaan ini jelas janggal secara hukum. Status Jessica sebagai saksi belum bisa dikenakan pencekalan. Pasal 16 ayat (1) huruf b, UU No Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang menjadi rujukan pihak imigrasi untuk mencekal Jessica tidak memiliki kekuatan hukum. Ketentuan tersebut sudah dibatalkan oleh MK dengan putusan MK No 40/PUU-IX/2011, tanggal 8 Februari 2012, dalam perkara permohonan pengujian UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimingrasian, yang dimohonkan oleh enam advokat (Dr. Rico Pandeirot, S.H., LL.M, Afrian Bondjol, S.H., LL.M, Yulius Irawansyah, S.H., M.H, Slametan Yuono, S.H., M.H, Rachmawat, dan Gusti Made Kartika, S.H) pada tanggal 10 Juni 2011.

Ada kemungkinan beberapa saat setelah pencekalan, polisi dan/atau pihak imigrasi tiba-tiba ingat atau diingatkan oleh seseorang tentang putusan MK tersebut. Tentu saja polisi panik. Mereka kuatir kalau pencekalan Jessica digugat atau dipraperadilankan. Bila hal itu terjadi, sudah tentu permasalahannya bisa memanjang atau melebar ke mana-mana sehingga penanganan kasus kematian Mirna makin kabur. Ini, bisa merusak citra polisi.

Untuk itu, mau tidak mau polisi segera menetapkan status Jessica sebagai tersangka. Dengan begitu tindakan pencekalan terjustifikasi sehingga tidak dipersoalkan oleh publik. Alasan ini memang tidak diakui oleh polisi. Ketika wartawan menanyakan alasan mencekal Jessica sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Krishna bilang pencekalan dilakukan karena polisi kuatir Jessica terbang ke Australia. Pasalnya, yang bersangkutan memiliki permanent residence atau izin berada tanpa batas waktu di Australia. Hal ini akan membuat penyidik kesulitan melakukan penyidikan, sebab Indonesia tidak memiliki kesepakatan ekstradisi dengan Australia, ungkapnya kepada media, di Polda Metro Jaya, tanggal 11/2/2016.

Dari sisi kepentingan polisi, alasan tersebut masuk akal, tapi dari sisi kepentingan Jessica dan hukum: tidak!. Dengan kata lain, pencekalan Jessica merupakan upaya menegakkan hukum dengan melanggar hukum. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun