Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Asas Praduga Tak Bersalah Dijauhkan dari Jessica

5 Februari 2016   15:49 Diperbarui: 5 Februari 2016   21:17 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jessica sudah ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Mirna, 30/1/16. Penyidik terus melakukan pemeriksaannya sebagai tersangka tunggal. Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes M Iqbal, pemeriksaan yang dilakukan penyidik fokus pada penguatan alat bukti sehingga tidak terbantahkan dan untuk meyakinkan hakim dan jaksa dalam persidangan nanti.

Dari pernyataan ini jelas penyidik tidak lagi memosisikan Jessica sebagai orang yang mungkin bersalah dan mungkin tidak. Asas Presumption of Innocence (praduga tak bersalah) sudah di-jauh-kan dari Jessica. Proses penangkapan dan penahanan Jessica menunjukkan hal tersebut. Ia ditangkap saat bedara di Hotel Neo, Mangga dua, Jakarta Pusat, diperiksa selama sembilan jam, sesudah itu langsung ditahan.

Menurut Iqbal, alasan penangkapan dan penahanan Jessica ini agar tidak mempersulit penyidikan. Alasan ini jelas aneh. Pasalnya, sebelum ditetapkan menjadi tersangka, Jessica selalu kooperatif. Lima kali ia bolak-balik dipanggil dan diperiksa oleh polisi, Jessica tak pernah mangkir. Ia selalu hadir tepat waktu. Mengapa setelah ditetapkan menjadi tersangka Jessica dipastikan memersulit penyidikan?

Memang bisa saja Jessica kabur setelah dirinya ditetapkan menjadi tersangka. Misalnya melarikan diri ke luar negeri. Namun, kemungkinan ini mustahil terjadi. Pihak Imigrasi telah mengunci langkah Jessica dengan cekal sehari sebelumnya atas permohonan polisi melalui suratnya No.R/541/I/2016/DATRO, tertanggal 26 Januari 2016. Lalu, di mana sulitnya?

Nampaknya Polisi merujuk ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Aturan itu bilang: penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Pertanyaannya, apa yang dikuatirkan polisi? Jessica melarikan diri, jelas tak mungkin. Merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana? Bisa saja ya. Tapi barang bukti apa yang dimaksud? Bukankah semua barang yang dinililai polisi penting milik Jessica dan keluarganya sudah disita polisi sejak tanggal 12 Januari? Bagaimana mungkin Jessica merusak atau mengilangkan barang bukti yang ada di kantor polisi? Mau mengulangi perbuatan yang disangkakan? Ah jangan mengada-ada!

Perlakuan Tak Adil

Perlakuan tak adil terhadap Jessica ternyata sudah dimulai sejak tanggal 12 Januari 2016. Ketika itu polisi melakukan penggeledahan rumah tanpa surat perintah penyidik dan ijin dari Ketua Pengadilan setempat. Hal ini sempat diprotes oleh pengacara Jessica, Yudi Wibowo. Beberapa saat kemudian, petugas memang menunjukkan Surat Perintah penggeledahan. Menurut Yudi, ketika berbicara dalam diskusi ILC tanggal 2 Februari, surat tersebut baru dibuat di atas mobil yang diparkir di depan rumah Jessica dan ditandatagani oleh Dirkrimum Polda Metro Jaya, Krishna Murti. Berbekal surat itu, penyidik lantas melakukan penggeledahan, walaupun ijin ketua pengadilan tidak ada.

Menurut Pasal 33 ayat (2) dalam keadaan yang dinilai perlu, penyidik memang dapat mengeluarkan surat perintah penggeladahan. Bahkan tanpa ijin Ketua Pengadilan, penyidik boleh menggeledah (Pasal 34 ayat (1) KUHAP). Namun, penggeledahan semacam ini tidak boleh suka-suka. Ketentuan ayat (2) menegaskan, penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindik pidana yang bersangkutan atau yang diduga telab dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Pertanyaannya, apakah barang-barang yang disita polisi di rumah Jessica berkaitan dengan tindak pidana? Jika polisi menjawab ya, itu artinya pada saat itu secara substansial Jessica sudah divonis sebagai pelaku tindak pedana pembunuhan, sekalipun belum formal. Lalu mengapa dia masih harus ditahan? Mengapa Dirkrimum Polda Metro Jaya, Krishna Murti masih membujuk-bujuk (memaksa?) Jessica agar mengaku sebagai pembunuh supaya hukumannya ringan? Apakah ini adil bila hal serupa tidak dilakukan kepada Hani yang juga hadir saat Mirna meninggal?

Bukan Hanya Rumah Jessica

Kalau polisi netral, yang digeledah semestinya bukan cuma rumah Jessica. Rumah Hani dan Kafe Oliver juga begitu. Tapi itu tidak dilakukan polisi. Apa yang dilakukan polisi malahan sangat tendensius. Sudah bukan mencari kemungkinan-kemungkinan pelaku lain. Baik pelaku langsung, maupun pelaku langsung yang sekaligus otak pembunuhan, maupun “otak” atau pelaku tak langsung yang menggunakan tangan orang lain.

Seluruh lorong Kemungkinan, sudah ditutup dan dipatri mati oleh polisi. Bahwa logika sehat memberi kemungkinan keterlibatan pembuat kopi atau pengantar kopi ke meja Jessica, Hani, dan Mirna di kafe Oliver itu, atau orang lain, bahkan orang-orang dekat Mirna sebagai “otak” atau yang paling menghendaki kematian Mirna, tidak berlaku bagi penyidik. Itulah sebabnya polisi hanya mau mencari bukti yang menguatkan kesimpulannya guna meyakinkan jaksa dan hakim.

Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel dalam diskusi di ILC menjelaskan secara sangat logis mengapa hal itu terjadi. Menurut beliau, penetapan Jessica sebagai tersangka merupakan bias konfirmasi (confirmation bias). Dikatakannya, bias konfirmasi adalah kecenderungan manusia di mana sekali ia meyakini atau menyatakan sesuatu maka seluruh kegiatan selanjutnya, tidak lain, hanyalah upaya pencarian bukti untuk mendukung apa yang diyakini atau yang dinyatakan sebelumnya.

Teori segitiga kejahatan yang diterapkan Polisi menjerat Jessica sudah usang. Tidak mampu mengungkap kompleksitas kejahatan. Menurut teori itu, harus ada tiga unsur terjadinya kejahatan: ada korban, pelaku, dan tempat. Ketika diterapkan dalam kasus kematian Mirna, maka teori itu menyimpulkan bahwa pelakunya pasti ada di situ. Di sinilah letak kesesatan teori segitiga tersebut, tegasnya.

Pasalnya, instrumen yang dipakai bukanlah celurit, pedang, atau benda lain yang mengharuskan pelaku berhadap-hadapan dengan korban. Melainkan sianida, tak terlihat, yang justru mengharuskan pelaku tidak berada di tempat saat kejadian. Tidak masuk akal sehat apabila pelaku menggunakan sianida untuk meracuni seseorang di tempat umum seperti kafe oliver, yang bisa disaksikan banyak orang atau direkan kamera CCTV. Berdasarkan analisis itu, Reza yakin bahwa yang membubuhkan racun sianida pada kopi yang diminum Mirna tidak berada di tempat itu. Bukan Jessica!

Pelajaran Dari Kasus Munir

Kasus pembunuhan Munir sebenarnya sudah memberi pelajaran berharga kepada Polisi. Pollycarpus divonis dan dihukum. Dalam kenyataannya, setelah dibebeaskan bersayarat Pollycarpus tetap menyangkal membunuh Munir. Publik pun tetap tidak yakin bahwa dia pelaku yang sesungguhnya. Ada sebuah mata rantai yang hilang, tepatnya dihiangkan, sehingga “otak” di belakang pembunuhan, atau orang yang paling menghendaki kematian Munir gagal dikuak. Gagal dibuktikan secara hukum.

Berbagai analisis menyebutkan bahwa Pollycarpus memang terlibat. Tapi bukan pemilik niat untuk melenyapkan Munir. Yang dianggap paling mungkin adalah mantan Komandan Kopassus, Muchdi.

Menurut ketua tim jaksa waktu itu, Cirus Sinaga, motif utama yang membuat Muchdi ingin melenyapkan Munir adalah dendam dan sakit hati. Mengapa? Karena Munirlah Muchdi dicopot dari jabatannya sebagai Komjend Komando Pasukan Khusus (Kopassus), jelas Cirus. Saat itu, katanya lagi, Munir mempersoalkan peran Kopassus dalam kasus penculikan sejumlah aktivis mahasiswa. (Tempo, 5/1/2009). 

Benar saja, Muchdi sempat ditangkap, ditahan, lalu diadili. Namun, dalam persidangan terjadi hal yang mengundang tanda tanya besar. Semua saksi, anggota BIN, yang diperkirakan menyudutkan posisi Muchdi, tiba-tiba berbalik. Kesaksian mereka di BAP dicabut. Al hasil, hakim Suharto, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghentak publik. Muchdi diputuskannya tidak bersalah.

Pertanyaanya apakah Muchdi benar-benar tidak bersalah? Secara hukum ya! Tetapi, fakta yang sesungguhnya hanya beliau yang tahu. Lantas, apakah kasus Munir harus diulang dalam kasus kematian Mirna? Ataukah Jessica memang benar-benar salah? Inilah yang harus dibuktikan polisi dengan jujur tanpa menutup diri terhadap apa yang dikatakan Reza. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun