Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Asas Praduga Tak Bersalah Dijauhkan dari Jessica

5 Februari 2016   15:49 Diperbarui: 5 Februari 2016   21:17 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau polisi netral, yang digeledah semestinya bukan cuma rumah Jessica. Rumah Hani dan Kafe Oliver juga begitu. Tapi itu tidak dilakukan polisi. Apa yang dilakukan polisi malahan sangat tendensius. Sudah bukan mencari kemungkinan-kemungkinan pelaku lain. Baik pelaku langsung, maupun pelaku langsung yang sekaligus otak pembunuhan, maupun “otak” atau pelaku tak langsung yang menggunakan tangan orang lain.

Seluruh lorong Kemungkinan, sudah ditutup dan dipatri mati oleh polisi. Bahwa logika sehat memberi kemungkinan keterlibatan pembuat kopi atau pengantar kopi ke meja Jessica, Hani, dan Mirna di kafe Oliver itu, atau orang lain, bahkan orang-orang dekat Mirna sebagai “otak” atau yang paling menghendaki kematian Mirna, tidak berlaku bagi penyidik. Itulah sebabnya polisi hanya mau mencari bukti yang menguatkan kesimpulannya guna meyakinkan jaksa dan hakim.

Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel dalam diskusi di ILC menjelaskan secara sangat logis mengapa hal itu terjadi. Menurut beliau, penetapan Jessica sebagai tersangka merupakan bias konfirmasi (confirmation bias). Dikatakannya, bias konfirmasi adalah kecenderungan manusia di mana sekali ia meyakini atau menyatakan sesuatu maka seluruh kegiatan selanjutnya, tidak lain, hanyalah upaya pencarian bukti untuk mendukung apa yang diyakini atau yang dinyatakan sebelumnya.

Teori segitiga kejahatan yang diterapkan Polisi menjerat Jessica sudah usang. Tidak mampu mengungkap kompleksitas kejahatan. Menurut teori itu, harus ada tiga unsur terjadinya kejahatan: ada korban, pelaku, dan tempat. Ketika diterapkan dalam kasus kematian Mirna, maka teori itu menyimpulkan bahwa pelakunya pasti ada di situ. Di sinilah letak kesesatan teori segitiga tersebut, tegasnya.

Pasalnya, instrumen yang dipakai bukanlah celurit, pedang, atau benda lain yang mengharuskan pelaku berhadap-hadapan dengan korban. Melainkan sianida, tak terlihat, yang justru mengharuskan pelaku tidak berada di tempat saat kejadian. Tidak masuk akal sehat apabila pelaku menggunakan sianida untuk meracuni seseorang di tempat umum seperti kafe oliver, yang bisa disaksikan banyak orang atau direkan kamera CCTV. Berdasarkan analisis itu, Reza yakin bahwa yang membubuhkan racun sianida pada kopi yang diminum Mirna tidak berada di tempat itu. Bukan Jessica!

Pelajaran Dari Kasus Munir

Kasus pembunuhan Munir sebenarnya sudah memberi pelajaran berharga kepada Polisi. Pollycarpus divonis dan dihukum. Dalam kenyataannya, setelah dibebeaskan bersayarat Pollycarpus tetap menyangkal membunuh Munir. Publik pun tetap tidak yakin bahwa dia pelaku yang sesungguhnya. Ada sebuah mata rantai yang hilang, tepatnya dihiangkan, sehingga “otak” di belakang pembunuhan, atau orang yang paling menghendaki kematian Munir gagal dikuak. Gagal dibuktikan secara hukum.

Berbagai analisis menyebutkan bahwa Pollycarpus memang terlibat. Tapi bukan pemilik niat untuk melenyapkan Munir. Yang dianggap paling mungkin adalah mantan Komandan Kopassus, Muchdi.

Menurut ketua tim jaksa waktu itu, Cirus Sinaga, motif utama yang membuat Muchdi ingin melenyapkan Munir adalah dendam dan sakit hati. Mengapa? Karena Munirlah Muchdi dicopot dari jabatannya sebagai Komjend Komando Pasukan Khusus (Kopassus), jelas Cirus. Saat itu, katanya lagi, Munir mempersoalkan peran Kopassus dalam kasus penculikan sejumlah aktivis mahasiswa. (Tempo, 5/1/2009). 

Benar saja, Muchdi sempat ditangkap, ditahan, lalu diadili. Namun, dalam persidangan terjadi hal yang mengundang tanda tanya besar. Semua saksi, anggota BIN, yang diperkirakan menyudutkan posisi Muchdi, tiba-tiba berbalik. Kesaksian mereka di BAP dicabut. Al hasil, hakim Suharto, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghentak publik. Muchdi diputuskannya tidak bersalah.

Pertanyaanya apakah Muchdi benar-benar tidak bersalah? Secara hukum ya! Tetapi, fakta yang sesungguhnya hanya beliau yang tahu. Lantas, apakah kasus Munir harus diulang dalam kasus kematian Mirna? Ataukah Jessica memang benar-benar salah? Inilah yang harus dibuktikan polisi dengan jujur tanpa menutup diri terhadap apa yang dikatakan Reza. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun