Tulisan Herie Purwanto berjudul “Harapan Pada Kapolri Baru (SM, 25/04/15) menarik didiskusikan. Posisinya sebagai anggota Polri ternyata tidak menghambatnya mengkritisi pernyataan Kapolri baru, Badrodin Haiti. Ia tidak sekedar berkata ya terhadap pernyataan Kapolri seperti kebiasaan anggota Polri. Herie turut mencermati sekaligus menawarkan kemungkinan bentuk operasionalnya.
Dua dari 11 butir program prioritas Kapolri dalam memberantas korupsi disorotinya secara khusus, yaitu penataan kelembagaan dan meningkatkan budaya antikorupsi, dan peningkatan penegakan hukum yang profesional, obyektif dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Herie berharap agar dua butir program itu tidak sekedar lips service dalam tataran rutinitas sebagai pejabat baru. Tidak terhenti di permukaan sebagai sebuah konsep, tetapi harus teraplikasikan pada level pekerja. Dalam konteks penegakan hukum misalnya, harus sampai pada level para penyidik tindak pidana korupsi.
Herie berharap agar program tersebut dapat diimplementasikan lebih masif di seluruh jajaran Polri. Untuk itu, diperlukan power ground motivation yang mendasari motivasi seluruh jajaran kepolisian. Implikasinya ialah diperlukan pembenahan di beberapa aspek. Pembenahan organsasi penanganan kasus misalnya, perlu ditingkatkan dari unit di Polres menjadi setingkat satuan yang dikepalai Kasat. Untuk mendapatkan penyidik yang handal, maka rekrutmen harus dengan uji kelayakan. Sebab yang dibutuhkan, bukan hanya penyidik yang berkomitmen memberantas korupsi, tetapi juga yang beritegritas baik, tulisnya.
Hal berikutnya ialah pembenahan sistem kerja penyidik. Di sini sangat diperlukan kemandirian dan profesionalitas penyidik dalam menangani kasus. Menurut Herie, sistem kerja penyidik seharusnya bisa mengcegah intervensi atasan penyidik terhadap kasus yang melibatkan pejabat daerah atau kolega atasan pada level pimpinan daerah. Penanganan kasus seperti itu menurut Herie lebih baik dilimpahkan pada level daerah atau Polda.
Upaya lainnya ialah menggandeng LSM atau anggota masyarakat yang peduli korupsi untuk bersama-sama memerangi korupsi.
Polri Tidak Steril
Bagi saya, tawaran Herie tersebut cukup logis, dan bisa dilaksanakan. Cuma, terkesan berat sebelah. Pembenahan yang diperlukan seolah-olah hanya untuk menangani kasus “pihak luar”. Pelaku korupsi dipersepsi hanya ada di luar tembok. Padahal, kalangan Polri sendiri tidak steril.
Jenderal Pol Sutarman mengakui hal tersebut. Tersirat pada janji beliau usai dilantik menjadi Kapolri oleh Presiden SBY tanggal 25 Oktober 2013. Ketika itu, Sutarman berjanji akan mengusut tuntas persoalan korupsi yang terjadi di dalam internal Polri. Bukan cuma kasus korupsi di tingkat polsek, tetapi juga yang terjadi di tingkat pusat.
Hal yang sama dibenarkan oleh Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Praja. Pada seminar kepemimpinan di Sespimma Polri di Jakarta, tanggal 14/11/2013, yang dihadiri puluhan anggota Polri, Pandu malahan mengkategorikan institusi Polri paling korup pada tahun 2013. Hal ini didasarkan pada data yang diperolehnya dari TII (Transparancy International Indonesia).
Sayangnya, sampai diberhentikan dari jabatannya, tanggal 16/1/2015, janji Sutarman gagal dipenuhi. Boleh jadi beliau sungkan atau malahan tidak berani. Pasalnya, kasus dugaan korupsi di kalangan Polri tidak hanya pada jajaran bawah. Kasus rekening gendut milik 17 orang Jenderal aktif dan purnawirawan temuan PPATK beberapa waktu lalu (Indomedia News, 18/01/ 2015) adalah contohnya. Nilainya pun tidak tanggung-tanggung, berkisar antara Rp 144 M terkecil dan Rp 1,2 Triliun terbesar.
Inilah sebenarnya yang diharapkan publik dari Kapolri. Pembersihan perlu dimulai dari dalam. Bila pimpinan “bersih”, sterilisasi seluruh anggota Polri dari korupsi besar kemungkinan berhasil. Itulah conditio sine qua non di dua butir program prioritas Kapolri. Itu pula yang memungkinkan negara ini bisa membabat berbagai hantu mafia yang melibatkan banyak pejabat publik.
Hal tersebut tampaknya dipahami betul oleh Kapolri, Bodrodin Haiti. Tersirat pada pernyataannya beliau di depan wartawan usai mengikuti uji kelayakan di Komisi III DPR RI tanggal 16/04/15. Kala itu, Badrodin berjanji akan membentuk tim internal untuk menangani praktik korupsi di tubuh Polri. Dalam konteks ini, upaya memprioritaskan peningkatan sinergi dan kerja sama KPK, BPK, PPATK, dan lembaga penegak hukum lainnya dalam penanganan kasus korupsi, dapat dipahami sebagai strategi khas Badrodin.
Kemugkinan besar, strategi tersebut bertolak dari pemahaman bahwa menangani kasus korupsi di kalangan Polri, mustahil terlaksana secara objektif bila hanya oleh orang dalam. Perasaan korps bisa menghambat. Untuk itu diperlukan pihak lain yang tidak punjya kepentingan korps. Tampaknya, inilah yang dimaksudkan beliau dengan peningkatan sinergi dan kerja sama dengan KPK, BPK, atau PPATK tersebut.
Dua Modal Utama
Agar program itu bisa terwujud, ada setidaknya dua hal yang diperlukan Badrodin. Pertama, kesadaran penuh bahwa masa jabatan Kapolri sangat terbatas. Dalam rentang waktu yang pendek itu, ada sebuah janji yang sekaligus dipercayakan negara kepada Kapolri: memberantas korupsi! Agar berhasil, maka fokus dibatasi sesuai janji: dimulai dari lembaga Polri.
Kedua, kesiapan diri penuh untuk tidak populer, bahkan dibenci oleh koruptor atau calon koruptor, namun dicintai publik dan dicatat oleh sejarah. Hebatnya, jika Badrodin berhasil “membersihkan” Polisi dari korupsi, maka pernyataan Gus Dur “hanya ada tiga polisi jujur: polisi tidur, patung polisi, dan Polisi Hoegeng” sekaligus terbantahkan. Bisakah? Jawabnya: (kalau mau) pasti bisa! ***
Tulisan ini telah dipublikasi di harian Suara Merdeka Semarang, edisi 5 Mei 2015. Linknya ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H