Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesalahan Fatal Orang Tua terhadap Anak

28 Juni 2019   22:35 Diperbarui: 29 Juni 2019   07:06 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir dapat dipastikan, tak seorang pun orang tua di dunia ini yang tidak sayang pada anak sendiri. Saking sayangnya, banyak yang rela menderita, bekerja sekeras-kerasnya demi anak. Bahkan ada yang sampai nekat melakukan tindakan melawan hukum seperti mencuri atau korupsi demi anak.

Namun, ada hal lain yang lebih fatal. Ada sikap dasar yang barangkali tidak disadari dalam memandang dan memberlakukan anak sendiri. Sikap fatal itu  termanifestasikan dalam kata-kata ketika berbicara. Dengan alasan kasih sayang, orang tua kerap mengidentifikasikan anaknya sebagai harta yang tak ternilai.

Ketika dua tiga orang ibu atau ayah berbicara tentang anak, terminologi "harta yang ternilai" untuk melukiskan betapa besar dan dalamnya kasih sayang terhadap anak nyaris selalu muncul. Ini terjadi di semua kalangan, entah kaya, pas-pasan, atau miskin. Tak terkecuali yang berpendidikan tinggi. Semoga pembaca Kompasiana tidak termasuk di dalamnya.

Ambil contoh obrolan di kalangan keluarga pas-pasan atau miskin. Yang satu bilang, sekalipun saya menderita, kebutuhan anak saya harus saya penuhi. Dia adalah harta saya yang tak ternilai dalam hidup ini.

Yang lain bilang, ya, saya pun begitu. Bayangkan saja, dua kali Hari Raya terakhir saya tidak membeli pakaian baru. Demi anak, kami rela hanya memakai pakaian lama. Dua anak kami, adalah satu-satunya harta kami.

Di kalangan orang kaya juga begitu. Pengungkapannya memang lain, tapi esensinya sama. Seorang pengusaha kaya misalnya bilang "Saya rela membayar biaya sebesar apa pun asalkan anak saya diterima di sekolah ini. Apa artinya usaha saya kalau anak saya hanya sekolah di sekolah biasa. Dia adalah harta saya yang melebihi nilai semua usaha saya."

Manusia tidak sama dengan benda

Pertanyaannya, apa dan di mana letak masalahnya? Setidaknya ada dua hal. Pertama, menyetarakan anak dengan benda. Kedua, memahami anak sebagai milik pribadi maupun keluarga.

Kekeliruan pertama mengacu pada pandangan bahwa anak adalah manusia. Karena itu, manusia tidak pernah setara atau disetarakan dengan benda. Saking tingginya nilai manusia, ia tidak pernah bisa disandingkan dengan benda semahal apa pun. Itulah sebabnya manusia, anak, tidak boleh diperjual-belikan (Human Trafficking) dengan alasan apa pun.

Manusia memiliki hak-hak hidup, sedangkan benda tidak. Hak hidup manusia bukan diberikan oleh siapa pun, termasuk orang tuanya, melainkan muncul bersamaan dengan kelahirannya di dunia. Hak-hak tersebut sama persis dengan hak-hak hidup orang tuanya.

Menyamakan anak dengan benda berarti merendahkan martabat manusia. Meniadakan eksistensinya sebagai makhluk yang ---menurut keyakinan Kristen--- disebut segambar dengan Allah.

Hal yang paling dasar dalam martabat manusia ialah keberadaannya sebagai makhluk yang bereksistensi. Eksistensinya itu adalah suatu proses menjadi, proses membentuk diri sesempurna mungkin. Itulah sebabnya manusia diberi kehendak bebas oleh Sang Pencipta. Hak ini dimaksudkan agar manusia dapat memilih dan menentukan berbagai hal baik bagi kehidupannya.

Bersamaan dengan proses bereksistensi itu, manusia diberi tugas mengelola kehidupan dan alam untuk memenuhi kebutuhan dan menyempurnakan hidupnya sebagai respon atas mandat kehidupan yang diberikan sang Pencipta.

Benda tidak begitu. Tidak bereksistensi dan tidak memiliki kehendak bebas sebagaimana halnya manusia. Benda adalah sesuatu yang sudah jadi. Fungsinya sekedar alat bagi manusia untuk mengelola kehidupan, antara lain dalam upaya memenuhi kebutuhan dan menyempurnakan kehidupannya.

Manusia bukan milik sesama manusia

Kekeliruan kedua terkait erat dengan kekeliruan pertama. Hal ini bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan, semua menusia sama. Nilainya juga sama di hadapan Tuhan sebagai Pencipta.

Itu artinya tidak boleh ada yang mengklaim diri lebih tinggi dan menganggap yang lain lebih rendah. Dengan begitu, anggapan bahwa individu tertentu menjadi pemilik individu lain, seperti halnya orang tua terhadap anak, adalah keliru.

Kenyataan bahwa anak lahir dari rahim ibunya, sebagai buah cinta dari kedua orang tuanya, tidak menunjuk pada pengertian kepemilikan. Kelahiran itu adalah proses reproduksi manusiawi untuk memertahankan spesis manusia di bumi.

Bahwa orang tua bertanggung jawab memenuhi kebutuhan anak, mendidik dan membesarkannya juga tidak menunjuk pada pengertian kepemilikan. Tanggung jawab itu lebih bersifat rantai tanggung jawab setiap generasi dalam rangka melanggengkan spesis manusia tadi. Pada saatnya nanti, manakala si anaka sudah dewasa, menikah, kemudian memiliki anak, maka hal yang sama menjadi tanggung jawabnya juga.

Tampaknya inilah yang dimaksudkan Rendra dalam puisinya berjudul "Syair Akhir Pekan - Makna Sebuah Titipan". Dalam puisinya itu, Rendra berkata:

"Seringkali aku berkata, ketika semua orang memuji milikku. Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan; Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya; Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya; Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya; Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya.

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya: Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?"

Khusunya mengenai anak, puisi Rendra itu sangat mengena. Ia mengingatkan bahwa posisi anak dalam keluarga adalah titipan Tuhan. Mengapa dititip? Tidak lain, supaya dirawat, dibesarkan, dan dididik sampai menjadi manusia mandiri. Itulah yang dikehendaki Sang Penitip, Tuhan, kepada orang tua.

Dengan demikian, keliru pula kalau ada orang tua yang menuntut anaknya membalas budi atas jasa-jasanya. Balas jasa itu bukan urusan anak. Tapi urusan Sang Penitip. Manakala orang tua sudah memenuhi tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan Sang Penitip, berarti urusan orang tua selesai.

Si anak pun akan mengerti hal itu. Tanpa diminta, si anak yang sudah didewasakan secara benar oleh orang tuanya, diyakini akan berusaha melakukan hal diperlukan orang tuanya. Tapi ini bukan balas budi. Semata-mata merupakan refleksi kebaikan yang diterimanya dari sesama manusia yang secara biologis merupakan orang tuanya.

Pertanyaannya, apakah para orang tua sudah memenuhi dan melaksanakan tanggung jawabnya ini terhadap anak-anaknya? Marilah kita renungkan dan menjawabnya secara jujur sebelum titipan itu diambil oleh Sang Penitip, baik anak maupun orang tua itu sendiri. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun