Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Banyolan" Nurul Qomar dan Banyolan Lain Dunia Pendidikan Nasional

28 Juni 2019   14:35 Diperbarui: 28 Juni 2019   15:57 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahwa Nurul Qomar adalah salah seorang pembanyol unggul tak perlu diragukan. Jangankan bicara, melihat dia tampil di panggung pun, sudah cukup membuat penonton tertawa terbahak-bahak. Terhibur dari banyolannya yang segar. Yang tak tertawa mungkin hanya yang sakit gigi atau yang baru diputus pacar.

Bagi tukang banyol, apa pun bisa dipakai untuk mengocok perut. Hal berat, serius, tak nyaman dikatakan, bisa dibalik jadi ringan tapi mengena. Dengan banyolan, mereka bisa mengeritik siapa pun tanpa menyingung perasaan yang dikritik.

Pesan teguran, pencerahan dalam banyolan kerap lebih mengena ketimbang disampaikan secara formal. Bisa langsung membuat pendengar menyadari kekeliruannya, mengiyakan, sehingga mau memerbaiki diri, sikap, dan cara berpikirnya.

Di atas panggung, pembanyol bisa mengidentifikasi dirinya apa saja. Menyamakan atau mengangkat dirinya sebagai siapa pun dalam posisi apa pun, dan gelar apa pun. Ia bisa bilang, saya gubernur, bupati dengan gelar akademik tertentu, yang sesungguhnya hanya sah bagi yang sudah menempuh pendidikan di level tertentu.

Tapi, penampilan Qomar kali ini lain. Bukan di atas panggung, melainkan di dunia nyata. Ia menyebut dirinya lulusan S2 dan S3 untuk mendapatkan jabatan tertinggi di sebuah universitas. Ia berhasil mengelabui pengelola Universitas Muhadi Setiabudi (UMUS) Brebes. Ia melamar kerja menjadi rektor dan diterima.

Dalam surat lamaran, Qomar menyertakan CV yang menyatakan dirinya lulus S2 dan S3 dari UNJ. Saat itu tak disertai copy Ijazah. Hanya SKL (Surat Keterangan Lulus) yang dibuat sopirnya atas perintah Qomar. Dia kemudian dilantik menjadi Rektor UMUS pada 9 Februari 2017.

Sayangnya, banyolan yang tak lucu itu hanya bertahan sembilan bulan. Ketika UMUS hendak menggelar wisuda mahasiswanya pada November 2017, ulah Qomar terungkap. Pihak Kopertis meminta Yayasan UMUS agar mengirim copy ijazah Qomar.

Qomar tak bisa banyol lagi. Permintaan tersebut tak bisa dipenuhi. Ijazah S2 dan S3 banyolan gagal ia tunjukan. Akibatnya, pihak Yayasan dan UMUS memintanya hengkang. Kasus dugaan pemalsuan ijazah pun dilaporkan ke polisi.

Mendengar kejadian itu, banyak yang kaget. Sama sekali tak menduga kalau mantan anggota grup lawak "Empat Sekawan" yang dua kali menjadi anggota DPR RI itu berani bermain-main dengan hukum. Tapi, itu kenyataannya. Qomar tengah diproses kendati tidak ditahan polisi karena alasan kesehatannya.

Banyolan bentuk lain

Pertanyaannya, apakah pembanyol dalam dunia pendidikan hanya Qomar? Ternyata bukan. Banyak dan bertumpuk-tumpuk.

Tidak percaya? Mari kita lihat empat hal berikut. Pertama, perhatikanlah sikap kebanyakan orang tua terhadap pendidikan anak sendiri. Semua hal seolah diserahkan kepada sekolah dan guru. Pembentukan sikap, mental, dan moral dianggap bukan tugas mereka.

Sikap itu jelas keliru. Sekolah dan guru bukanlah penanggung jawab utama pendidikan anak. Mereka hanya sekedar membantu. Pendidikan dasar tersebut merupakan tanggung jawab utama orang tua, selain memenuhi kebutuhan fisik dan biaya pendidikan anak.

Alhasil, ketika anak bertingkah, seperti malas atau bolos sekolah, tidak mau mengerjakan PR (pekerjaan rumah), maka yang disalahkan pihak lain. Kadang lingkungan, teman-teman sang anak, atau guru.

Kedua, perhatikan kecenderungan di sekolah di semua level. Sekolah dan guru menghendaki agar siswa rajin dan tekun belajar. Tapi banyak guru yang kurang tekun mengajar. Siswa lemah malah disuruh ikut les di luar sekolah supaya berprestasi demi nama baik sekolah.

Ini jelas banyolan juga. Lempar tanggung jawab. Sesungguhnya les itu hanyalah tambahan bila diperlukan. Pada masa saya sekolah dulu begitu. Andalan utama adalah pengajaran guru dan belajar sendiri. Sekarang malah dibalik. Yang seharusnya tambahan dijadikan pokok, sedangkan kegiatan pokok di kelas dijadikan komplemen.

Ketiga, dan ini lebih parah lagi, yaitu kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif kayak Pemilu yang dilakukan sekolah. Dengan makin ditinggikannya standar kelulusan siswa, maka banyak sekolah yang membanyol. Mereka mengatrol nilai rapor siswa secara merata di tiap semester.

Mengapa hal itu dilakukan? Penyebabnya ada dua. Satu, adanya ketentuan laporan bulanan satuan pendidikan kepada Diknas secara on line. Terkait dengan nilai siswa, ketentuan tersebut mengandung banyak resiko. Jika nilai asli siswa dilaporkan, maka kemungkinan banyaknya yang tidak lulus atau tinggal kelas lebih besar. Sebab nilai yang sudah dilaporkan tak bisa ditarik lagi atau diutak-atik untuk menaikkan persentase kelulusan atau kenaikan kelas.

Dua, adanya ketentuan standar KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang dibuat tinggi, misalnya di atas 70, sementara kondisi siswa tidak memungkinkan. Kontrak prestasi ini kerap membuat sekolah membanyol. Sebab, bila nilai siswa pada aspek pengetahuan dan ketrampilan di bawah KKM kemungkinan besar tidak lulus atau tinggal kelas. Terlebih kalau jumlah siswa tersebut lebih 50% dari populasi siswa.

Ketika hal itu saya tanyakan, salah seorang wali kelas SMPN di Kediri, Jawa Timur, mengatakan pihak sekolah melakukan hal itu untuk mencegah banyak siswa yang tidak lulus pada ujian nasional.

Keempat, perhatikan kecenderungan pemberian nilai mahasiswa di perguruan tinggi (PT). Adanya ketentuan indeks prestasi (IP) minimal 3,0 dalam menerima tenaga kerja, ternyata berefek pada cara PT dan para dosen dalam menentukan nilai mahasiswa. Begitu mudah PT dan dosen memberikan IP 3,0 bahkan banyak PT dan dosen yang menjadikannya standar minimal.

Dalam bincang-bincang dengan salah seorang dosen di salah satu PTS di Kediri mengatakan "tidak mungkin saya memberikan nilai rendah kepada mahasiswa. Kasihan mereka. Standar di mata kuliah saya minimal B," jelasnya. Beberapa dosen lain pun begitu. Yang penting, lanjutnya, mahasiswa hadir dan mengerjakan tugas.

Tentu saja keadaan itu bukanlah kesimpulan bagi semua PT. Tetapi, kebanyakan PTS di daerah, apalagi yang abal-abal, kecenderungannya sama.

Diakui atau tidak, hal itu jelas berbahaya. Bayangkan saja resikonya bila 10% saja dari 3.128 PTS yang ada tahun 2018 melakukan hal yang sama. Berarti ada 312 PTS. Kalau tiap PTS meluluskan mahasiswa rata-rata 100 orang saja per tahun, maka sarjana yang kualitasnya perlu diragukan rata-rata 31.200 orang tiap tahun.

Dikaitkan dengan kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan guru dan dosen terhadap (maha) siswa, wah, lebih rumit lagi. Terlalu panjang untuk dibahas.

Yang jelas, ulah Qomar bukanlah satu-satunya. Banyolan dalam bentuk plagiarisme banyak. Lima di antaranya ialah (1) Muhammad Zamrun Firihu, Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, yang melakukan plagiarisme atas tiga karya ilmiahnya; (2) Agito Abimayu, Ph.D, dosen FE UGM, dalam tulisannya di sebuah harian nasional 2014; (3) Profesor Anak Agung Banyu Perwira, dosen HI, UNPAR Bandung dalam tulisannya di The Jakarta Post November 2009; (4) Mochammad Zuliansyah dalam disertasi ketika menyelesaikan Program Doktoral STEI, ITB; dan (5) Felix Kasim, Rektor Universitas Kristen Maranatha Bandung, yang menjiblak beberapa karya mahasiswa untuk karya ilmiahnya yang dipublikasikan di prosiding (kumpulan dari paper-paper akademis yang dipublikasikan dalam suatu acara seminar akademis) di Yogyakarta pada pertengahan Mei 2011.

Itu semua merupkana banyolan yang tak lucu yang perlu ditangani serius. ***

Artikel terkait:

Kecurangan dalam PPDB dan Upaya Memperbaiki Pendidikan Nasional

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun