Sebentar lagi keputusan MK terhadap sengketa Pilpres akan diketahui. Menurut mantan Ketua MK, Mahfud MD, keputusan itu hanya tiga kemungkinan. Satu, menerima permohonan pemohon; Dua menolak eksepsi terhadap termohon dan pihak terkait; dan tiga, mengabulkan atau menolak permohonan pemohon.
Bila dikabulkan, berarti Paslon 02, Prabowo-Sandi menang, lalu menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024. Jika sebaliknya, kalah, maka Jokowi-Ma'ruf Amin yang menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada periode itu.
Dalam suatu sengketa, hal tersebut sudah biasa. Putusan hakim di setiap sengketa memang begitu. Pasti ada yang menang dan kalah. Tidak mungkin seri berbagi angka seperti di pertandingan olah raga.
Itu artinya kedua Paslon dan para pendukung semestinya tak perlu neko-neko. Tak perlu ribut, apalagi bikin demo atas nama agama. Atau bikin jihad bila Paslon yang didukung dinyatakan tidak menang. Itu tidak relevan. Tidak bermanfaat. Buang-buang tenaga dan memboroskan waktu.
Yang menjadi soal sebenarnya, kalau misalnya menang kemudian ditetapkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden, lalu mau apa? Apakah masalah bangsa dan negara sudah selesai? Tentu saja tidak. Masalah yang ada tetap merupakan masalah yang harus diatasi.
Selama masa kampanye, kedua Paslon memang sudah mengemukakan apa saja yang hendak dikerjakan bila terpilih. Namun, apa yang dikemukakan itu masih bersifat umum. Janji-janji melakukan ini atau itu tidak dengan sendirinya terjadi. Masih harus ditetapkan menjadi program pemerintah untuk dijalankan melalui penetapan undang-undang oleh DPR.
Itulah semestinya yang perlu dipelototi oleh publik. Baik melalui lembaga, organisasi, maupun tuntutan para pendemo dalam orasi-orasi. Terus mengumbar tuduhan kecurangan dalam orasi yang tak terbukti dalam persidangan hanyalah buang-buang tenaga dan membosokan waktu.
Pelajaran yang dipetik
Namun, apa yang terjadi saat ini tidak melulu buruk. Pelajaran yang dapat dipetik dari padanya banyak.
Pertama, siapa pun yang nantinya keluar sebagai pemenang perlu sadar bahwa masyarakat kita ternyata belum sepenuhnya memahami makna dan konsekuensi negara hukum. Masih ada sebagian yang mencampur-aduk kebenaran dugaan, tuduhan, dengan kebenaran hukum. Ketika dugaan tidak bisa dibuktikan di depan pengadilan, masih ada yang tidak rela menerimanya sebagai konsekuensi mutlak bagi sebuah negara hukum.
Pemahaman ini diperlukan dalam upaya memantapkan penegakan hukum seperti dijanjikan oleh kedua Paslon pada saat kampanye. Bagaimana cara menerjemahkannya dalam bentuk program pemerintah bisa saja dipikirkan bersama para ahli hukum dan ahli pendidikan.