Dengan istilah TS dan keluarga Cendana, dalam pikiran pendengar wawancara S. Pane di TV dan membaca di berbagai media, pasti akan muncul nama Tommy Suharto karena dalam keluarga Cendana, tidak ada nama lain yang memakai inisial itu.
Bagi polisi, nama Tommy bukan orang asing. Juga bukan orang sembarangan. Ia adalah anak Presiden RI ke-2 yang sudah pernah dihukum karena mendalangi pembunuhan Hakim Agung, Ketua Muda Bidang Pidana Mahkamah Agung RI, Syaifuddin Kartasasmita. Ia juga pengusaha besar yang uang dan asetnya triunan di bank maupun di badan usaha. Kendati uang dan usaha itu kerap disebut sebagai hasil KKN ayahnya semasa menjadi Presiden RI.
Jika bukan orang sekaya dia, bagaimana mungkin preman dari Surabaya bisa didatangkan ke Jakarta hanya sekedar membuat kerusuhan dengan fasilitas transportasi pesawat udara dan menginap di hotel mewah.
Sampai di sini, dapat dikatakan polisi tidak kesulitan. Nama sudah diketahui secara jelas. S. Pane tidak main-main. Kalau ia bicara tanpa data, pasti ia bisa dituduh fitnah dan Tommy Suharto bisa menjebloskannya ke penjara. Namun, itu tidak terjadi. Hal ini membuktikan bahwa apa yang dikatakan S. Pane benar.
Yang masih menjadi persoalan menurut saya adalah Polisi tengah melakukan pencarian bukti yang lebih cermat agar penetapan Tommy sebagai tersangka tidak bisa dibantah secara hukum.
Masih mencari aktor lain
Bagi polisi, Tommy bukanlah aktor satu-satunya. Mengingat kerusuhan menyebar di beberapa tempat di luar Jakarta, ada dugaan bahwa tembakannya bukan sekedar melenyapkan empat tokoh nasional dan pimpinan lembaga survey tadi.
Lebih besar dari itu. Bahkan sangat mungkin terkait dengan rencana besar merebut kekuasaan atau paling tidak mengacaukan negara untuk tujuan menggagalkan keterpilihan Jokowi-Ma'ruf Amien menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024.
Boleh saja mereka berjalan sendiri-sendiri atau berkolaborasi dalam cara tetapi dengan tujuan masing-masing. Boleh jadi juga terpisah dengan rencana peserta demo yang digagas oleh para pendukung Paslon 02, tetapi bukan tidak mungkin juga mereka berkolaborasi semuanya dengan tujuan yang sama maupun dengan tujuan yang berbeda-beda.
Untuk membedah kerumitan itu, polisi butuh waktu yang cukup dan keahlian menganalisis setepat-tepatnya sehingga kesimpulan yang diambil tidak sembarangan.
Yang jelas, bahwa dengan keterlibatan beberapa oknum mantan pejabat TNI dan Polri, bukan tidak mungkin rencana makar memang ada. Cuma bukan makar yang lazim dengan kekuatan senjata melainkan makar untuk menggalang kekuatan massa yang bisa melemahkan dan mendelegitimasi pemerintahan yang ada. Pemastian ini butuh kehati-hatian, ketelitian, kecermatan menggali informasi untuk dianalisis.
Untuk mengungkap hal itu, mustahil polisi bisa bekerja sendiri. Karena terkait dengan TNI, mau tidak mau perlu ada kesamaan sikap dan komitmen antar kedua lembaga.