Kivlan Zen ternyata sama dengan manusia lain. Dia bukan batu karang yang tak tergoyahkan banjir maupun angin keras. Berdiam dalam tahanan ternyata dirasakan tidak nyaman. Semua gerak fisik terbatas. Bertemu dan bicara di depan publik menjadi terkekang. Satu hari terasa seperti bertahun-tahun. Beda jauh tinggal di rumah sendiri.
Perasaan itu membuat Kivlan bergegas menyurat kepada banyak pihak. Salah satunya kepada Menko Polhukam, Wiranto, salah seorang target yang hendak dienyahkan Kivlan lewat tangan pembunuh bayaran. Lainnya, dikirim kepada Menteri Pertahanan, Pangkostrad, Kepala Staf Kostrad, dan Danjen Kopassus. Hal ini diketahui dari pengacaranya, Tonin Tachta, sebagaimana diwartakan Kompas.com.
Menurut Tonin, surat tersebut dikirim pada 3 Juni 2019 kepada dua menteri dan tiga pejabat militer tersebut. Tujuannya ialah meminta perlindungan hukum dan jaminan penangguhan kepada polisi.
Apakah permintaan ini dikabulkan? Belum jelas. Ketika hal itu dikonfirmasi kepada Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, beliau malah bilang belum menerima surat tersebut. Juga belum mengetahui kebenaran akan adanya surat yang dikirim kepadanya.
Andaikan itu benar, Ryamizard sendiri belum mau berkomentar lebih lanjut apakah ia bisa memberikan perlindungan hukum dan jaminan penangguhan penahanan di kepolisian atau tidak. Sebelum bertindak, Ryamizar menyatakan perlu meminta saran dari Biro Hukum lembaga Pertahanan.
"Pertama, saya belum baca. Akan saya baca masalahnya dan lain-lain. Saya akan panggil Kepala Biro Hukum saya, ini bagaimana, bagaimana. Apa yang harus dilakukan," ujar Ryamizard di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, Rabu (12/6/2019).
Kalau biro Hukum bilang bagus, bisa saja dilakukan. Tetapi kalau tidak, Ryamizard mengaku tidak akan mengabulkan permintaan Kivlan.
Permintaan yang tak masuk akal
Sebagai tersangka, Kivlan memang memiliki hak untuk meminta penangguhan penahanan. Hak-hak tersebut sudah diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) KUHAP yang berbunyi:
- Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat  mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan;
- Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "syarat yang ditentukan" ialah wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota. Masa penangguhan penahanan dari seorang tersangka atau terdakwa tidak termasuk masa status tahanan.
Polisi sudah sangat paham ketentuan tersebut. Itu artinya kendati ada surat permohonan penangguhan penahanan dari pihak mana pun, polisi tetap memiliki kewenangan subyektif untuk menentukan apakah permohonan dapat dikabulkan atau tidak.
Yang mungkin mengkhawatirkan polisi adalah pernyataan Tonin tentang tujuan Kivlan meminta penangguhan penahanan. Ternyata bukan sekedar meminta perlindungan hukum dalam arti menegakkan hak-haknya sebagai tersangka agar tidak diperlakukan tak wajar.
Ia malah bilang tujuannya meminta penangguhan penahanan ialah Kivlan hendak memberikan keterangan secara langsung terkait kasus yang melibatkannya.
Pertanyaannya, memberi keterangan langsung kepada siapa? Kepada publik atau polisi. Kalau kepada polisi, tentu tak perlu meminta penangguhan penahanan. Cukup dijelaskan sejelas-jelasnya saat pemeriksaan.
Uraikan sedetail-detailnya benar tidaknya sangkaan kepemilikan senjata ilegal dan rencana pembunuhan kepada empat tokoh nasional sebagaimana dikemukakan oleh H Kurniawan alias Iwan dalam kesaksiannya saat diperiksa penyidik.
Kalau yang dimaksudkan hendak memberikan keterangan kepada publik, mustahil diberikan. Untuk apa seorang tersangka memberikan keterangan kepada publik. Mau membangun opini lagi agar dinilai tidak salah? Atau agar polisi dinilai gegabah mengkriminalisasi orang yang tak bersalah?
Secara pribadi, saya setuju kalau Menko Polhukam menolong Kivlan. Memberikan jaminan agar penahanannya ditangguhkan. Jika ini dilakukan tentu menunjukkan kebesaran jiwa Wiranto yang sekaligus memaafkan Kivlan.
Sayangnya, saya bukan apa-apa. Lagi pula, permintaan Kivlan bukan tak berisiko. Kalaupun dia tidak lagi menggerakkan massa, namun bukan tidak mungkin ia melakukan hal konyol, misalnya bunuh diri, untuk menghilangkan jejak. Termasuk melindungi teman-temannya yang sudah lama merencanakan makar.
Hal inilah antara lain yang bisa mencegah banyak pihak mengabulkan permintaan Kivlan.
Saran saya, ada baiknya jalani saja penahanan seperti Eggi. Merasakan ketidaknyamanan dalam tahanan dapat menjadi pelajaran berharga untuk mengoreksi diri, melakukan perenungan tentang makna hidup, kemudian mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Kalau sudah sampai waktunya, toh akan dibebaskan juga, bukan? ***
Artikel terkait:
Adakah Orang Indonesia di Sini?
Strategi Kivlan Zen Menjerat Leher Sendiri, Amien Rais Cuci Tangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H