Pun yang pidatonya musyawarah mufakat, tetapi mau menang sendiri ketika mengambil keputusan. Ceramahnya keadilan sosial, tetapi di balik pintu ia menumpuk harta dengan menyalahgunakan jabatan, kong kali kong dengan para pengusaha maling. Yakinlah, tindakan itu semua tidak dikehendaki Tuhan.
Membangun tanggung jawab
Para orang tua dan guru juga begitu. Kepada anak atau anak didik bicara panjang lebar tentang karakter bangsa, tetapi diri sendiri merusaknya. Bicaranya di rumah banyak ngawur tak karuan. Bukannya memberi wawasan kepada anak tentang kemajemukan bangsa, malahan bicara soal fanatisme etnis, suku, dan agama seraya menjelek-jelekkan etnis tertentu atau penganut agama lain, lembaga, dan pemerintah.
Para guru di sekolah tak jauh beda. Bukannya memberi contoh kerja keras supaya berhasil. Guru malah malas-malasan mengajar dan lebih suka menyuruh siswa ikut les tambahan di luar untuk mendapatan nilai rapor yang baik. Bukannya memberi wawasan tentang identitas bangsa majemuk, malahan beberapa menjadi pelaku penyebar kebencian kepada etnis, individu, atau kelompok tertentu selama Pemilu.
Di kalangan pegawai dalam lingkungan pemerintah sama saja. Penonjolan identitas dan meminggirkan jati diri bangsa dalam kemajemukan seolah menjadi ritual harian. Sikut menyikut untuk mendapatkan jabatan dianggap hal biasa untuk mendapatkan posisi. Bisik-bisik di balik pintu untuk menjegal pegawai yang tidak seagama, tidak seetnis, tidak sesuku, sudah umum diketahui.
Gejala menenggelamkan budaya bangsa makin hari makin menggila. Contohnya saja soal pakaian. Bangsa kita seolah tidak memiliki identitas dalam berpakaian. Lembaga-lembaga pemerintahan, sekolah-sekolah, sampai pada perguruan tinggi makin kehilangan ciri khas kemajemukan. Model pakaian diatur berdasarkan latar belakang agama.
Ini bukan keberatan pada pakaian dengan ciri khas agama tertentu. Tetapi untuk dijadikan pakaian resmi negara, bukankah itu merupakan bibit diskriminasi dengan penganut agama lain? Bukankah itu menenggelamkan budaya kita sendiri. Semestinya, pakaian semacam itu dibatasi pemakaiannya dalam kegiatan keagamaan dalam lingkungan privat agama yang bersangkutan.
Namun, kalau hal ini dikemukakan, banyak yang keberatan. Malahan bisa dituduh anti agama tertentu. Padahal, maksudnya bukan begitu. Simbol-simbol yang dapat menimbulkan diskriminasi, simbol yang menurunkan gradasi kemajemukan semestinya dicegah.
Di kalangan anggota DPR malah lebih parah. Ada yang kerjanya hanya melihat sisi buruk, kelemahan pemerintah. Bahkan sampai-sampai menyinggung soal tampilan fisik Presiden.
Pertanyaannya, apakah sikap dan tindakan semacam itu manifestasi keberimanan kepada Tuhan? Adakah semangat kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, musyawarah mufakat, dan keadilan sosial di situ? Sama sekali tidak.
Kalau benar mau berjuang demi Indonesia, maka seharusnya tidak cuma mencecar dengan pernyataan menyalahkan, tunjuk hidung, tetapi turut mencari dan menawarkan solusi. Bagi anggota DPR saluran untuk itu terbuka lebar. Semua sudah diatur oleh undang-undang. Namun, jalur itu dipinggirkan. Maunya enak sendiri, menang sendiri.