Mungkin terlalu berlebihan kalau dikatakan momentum lebaran tahun ini milik Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Namun, yang sulit dibantah AHY telah menyedot perhatian publik selama beberapa hari. Ia menjadi bahan perbincangan publik berkat sorotan media. Tak kalah dengan para selebritis papan atas nasional dan dunia yang kerap menghiasi media karena prestasi maupun tampilan fisik yang selalu mengundang decak kagum. Nyatanya memang begitu. Ia masih muda, tempan, dan juga cerdas.
Lihat saja apa yang dilakukannya pada hari pertama lebaran, tanggal 5 Juni 2019. Bersama adiknya Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dan istri masing-masing, ia mendatangi empat keluarga Presiden RI secara berturut-turut untuk berlebaran sekaligus membangun silaturahmi. Diawali kunjungan di keluarga Presiden RI ke-7, Jokowi, disusul ke Presiden RI ke-5, Megawati Sukartno Putri, kemudian Presiden RI ke-3 B.J. Habibie, dan diakhiri di keluarga Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Apa artinya? Ia menunjukan sikap hormat kepada keluarga dari individu yang pernah memimpin negara. Melakukan hal yang tak biasa dilakukan oleh anak-anak Presiden sebelumnya. Pun oleh banyak tokoh politik. Di saat para tokoh, apalagi yang berlainan pilihan politik, enggan bersilaturahmi, AHY malahan melakukan dobrakan. Perbedaan pilihan politik tidak ia lekatkan terus di atas bahunya untuk dibawa ke mana-mana. Tidak dijadikan hambatan untuk membangun atau mengeratkan tali silaturahmi.
Dari situ tampak AHY lebih mementingkan hubungan persaudaraan di saat lebaran. Sampai-sampai ia mewajibkan dirinya mengawali suka cita Idul Fitri dengan mendatangi mereka dalam suasana kekeluargaan.
Dengan tindakan itu, AHY bukan cuma berhasil mencuri perhatian publik. Malahan memberi sinyal bahwa dirinya bukan tokoh muda sembarangan, yang bisa tampil karena ia seorang anak Presiden RI ke-6 atau mengandalkan ketampanan dan kecerdasan. Ia adalah tokoh muda yang tahu memosisikan diri menurut kebutuhan situasi.
Semestinya, AHY juga berkunjung pada keluarga Presiden RI ke-2, Suharto. Tapi, tidak dilakukan. Boleh jadi karena domisili anak-anak Suharto yang terpencar-pencar, atau tidak adanya tokoh yang menyimbolkan keutuhan dalam keluarga tersebut, atau mungkin ada faktor lain yang kita tidak tahu.
Tentu saja bisa dipahami bila AHY tidak mengunjungi Prabowo. Bukan karena Prabowo tidak penting, tetapi karena Prabowo memang belum pernah menjadi Presiden RI. Lagi pula, keluarga Prabowo sudah bubar. Tidak inspiratif, dan tidak bisa dijadikan teladan untuk ditiru.
Memanfaatkan momentum
Dalam "kaca mata" lebaran, kunjungan tersebut memang bisa dianggap biasa. Hal rutin bagi umat Islam. Mengunjungi atau saling mengunjungi dan bermaaf-maafan untuk membangun, merawat, atau menguatkan tali silaturahmi.
Namun, karena suasana politik belum sepenuhnya stabil, tentu tidak keliru kalau dikatakan kunjungan tersebut bernuansa politik. Selain mengucapkan terima kasih atas perhatian yang diberikan pada kepergian ibunya, Ani Yudhoyono, ia memiliki misi politik. Pertama, hendak membantu menurunkan suhu politik yang masih panas gara-gara sengketa hasil Pilpres, yang langsung atau tidak melibatkan dirinya sebagai anggota partai pendukung salah satu Capres.
Kedua, hendak menunjukkan bahwa ketegangan politik dapat dicairkan dengan pendekatan kekeluargaan, persahabatan. Tampaknya, inilah antara lain yang mendorong banyak pihak mendesak Prabowo dan Jokowi bertemu saat lebaran.
Sayang sekali, momentum tersebut dilewatkan oleh Prabowo. Ia tak mau memisahkan urusan politik dan urusan persahabatan pribadi. Posisi dirinya sebagai penggugat hasil Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK) dibawa terus ke mana-mana sampai di ruang pribadi, dalam suasana lebaran. Padahal, kalau silaturahmi itu dilaksanakan tidak otomatis gugatannya di MK gugur. Urusan gugatan Pilpres adalah urusan MK, sedangkan persahabatan adalah urusan pribadi Prabowo dan Jokowi.
Di sinilah kelebihan AHY. Ia pandai menggunakan momentum untuk menampilkan sikap seorang tokoh. Bukan saja di kalangan anak-anak muda seusianya, tetapi juga di kalangan para tokoh mana pun, terutama Prabowo, sebagai Capres dukungannya yang sekaligus kompetitor Jokowi.
AHY memeragakan sikap profesional dalam berpolitik. Memisahkan urusan politik dari urusan lain. Ketegangan politik tak perlu dijadikan persoalan hidup untuk dibawa ke mana-mana. Perlu dicairkan dengan menggunakan momentum apa pun yang memungkinkan. Salah satunya adalah lebaran. Dengan begitu, kesalahpahaman, kekhilafan, atau sakit hati dapat diluruskan dan diperbaiki demi kebaikan bersama.
Boleh jadi, tindakan AHY tersebut terinspirasi oleh buku SBY berjudul "Selalu Ada Peluang". Saya sendiri belum membaca buku itu. Saya hanya menduga-duga isinya sarat dengan gagasan-gagasan positip-optimistik yang dapat merangsan pembaca berkreasi dalam menghadapi berbagai situasi.
Pesan implisit
Namun, apa pun yang menginspirasi AHY bukan jadi soal. Yang mungkin lebih penting ialah kecerdasannya memanfaatkan dan/atau membuat momentum. Di sini AHY menyebar beberapa pesan secara implisit. Pertama, dirinya adalah individu yang lebih mengedepankan pencarian solusi. Ia tidak mau berlama-lama dalam situasi konflik. Ia berusaha menjadi solusi atau setidaknya menjadi bagian dari solusi.
Kedua, AHY menunjukkan kepada publik bahwa dirinya bukan sekedar penggembira politik seperti anggapan banyak orang ketika ikut bersaing dengan Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Pilgub DKI tahun 2017.
Ia bisa tampil, walaupun meninggalkan karirnya di TNI, bukan karena ia anak SBY sebagai Presiden RI ke-6. Bukan juga karena rasa sungkan sehingga bersedia menjadi korban ambisi ayahnya tercinta, SBY, seperti dugaan banyak orang sebelumnya.
Ketiga, AHY menunjukkan bahwa dirinya memiliki potensi yang dibutuhkan pada saat-saat genting. Dirinya bukanlah pribadi yang mudah putus asa, berpikiran pendek, mudah buntu dan mutung. Selalu ada peluang, kata SBY pada judul bukunya.
Boleh saja orang bilang bahwa AHY tengah membangun citra diri untuk kepentingan Pilpres 2024. Sampai-sampai ia membakai mobil berplat "B 2024 AHY" ke mana pun ia pergi. Anggapan semacam ini tidak salah. Sama tidak salahnya kalau tujuan AHY seperti itu. Untuk membangun citra boleh saja dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dengan cara apa saja asalkan tidak melanggar hukum dan tidak menyesatkan.
Bagi saya, terlepas dari saya mau memilihnya menjadi Capres pada Pilpres 2024 atau tidak, apa yang dilakukan AHY mirip dengan cara berpikir yang ditawarkan Stephen R. Covey dalam bukunya "The 3rd Alternative".
Ia menembus kebuntuan komunikasi dan sikap berhadap-hadapan antar dua kubu dalam Pilpres. Ia keluar dan meninggalkan jalan yang biasa ditempuh dari dua pola pikir "cara saya" dan "cara Anda", kubu saya dan kubu Anda. Ia memeragakan cara di atas keduanya, dengan "cara kita". Terminologinya bukan lagi "aku" - "kamu", melainkan "kita". ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H