Kedua, sengketa pilpres di MK jangan dijadikan topik pembicaraan. Semua pihak harus sepakat menghargai proses hukum di MK, sebagai lembaga yang telah diberi kewenangan oleh konstitusi untuk menyesaikan sengketa Pemilu, termasuk Pilpres.
Konsekuensinya, apa pun hasil putusan MK kelak diterima dengan legowo. Jangan ada lagi ungkapan-ungkapan miring atau seruan-seruan yang merendahkan siapa pun dan lembaga mana pun. Yang diperlukan ialah membangun semangat bersama untuk mendukung pemerintahan yang sah demi kemajuan bangsa dan negara.
Dengan demikian setiap kubu harus berkomitmen untuk tidak melakukan gerakan apa pun yang sifatnya menekan para hakim MK selama proses persidangan. Tak perlu mengadakan demonstrasi apa pun yang mengganggu konsentrasi para hakim MK.
Itu artinya, poin-poin pembicaraan lebih fokus pada apa yang sebaiknya dilakukan oleh semua pihak pasca keputusan MK. Termasuk misalnya penegasan sikap bahwa pihak yang kalah akan menempatkan diri sebagai oposisi guna membantu DPR mengontrol kinerja pemerintah.
Ketiga, untuk menegaskan komitmen bersama dalam memertahankan keamanan nasional kedua belah pihak mungkin perlu mendiskusikan upaya-upaya strategis dalam memertahankan ideologi negara. Salah satu di antaranya ialah mendukung proses hukum terhadap individu-individu yang terindikasi hendak melakukan makar, baik yang sudah ditetapkan menjadi tersangka maupun mereka yang masih dalam penyelidikan polisi.
Contoh lainnya ialah meluruskan pandangan yang sengaja dibelokkan atas proses hukum terhadap pelaku kejahatan apabila pelakunya pemimpin agama seperti ulama atau ustadz.
Selama ini narasi yang selalu dibangun oleh individu atau kelompok tersentu untuk memanas-manasi situasi ialah kriminalisasi ulama. Penetapan Habib Rizieq sebagai tersangka kasus pornografi atau penghinaan terhadap Pancasila umpamanya, banyak yang bilang pemerintah atau polisi mengriminalisasi ulama. Padahal yang diperoses bukanlah ulama atau ustadz, tetapi Habib Rizieq sebagai individu, pelaku perbuatan melawan hukum. Individu itulah yang  dituntut bertanggung jawab atas perbuatannya. Bukan ulama.
Bahwa Habib Rizieq berprofesi sebagai ulama, bahkan oleh kelompok FPI disebut sebagai ulama besar, tak perlu dimasalahkan. Polisi tidak menetapkannya sebagai tersangka dikarenakan keulamaannya, melainkan dikarenakan perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh individu bernama Habib Rizieq. Pembelokan pemahaman inilah yang kerap membakar emosi sehingga perlu diluruskan oleh semua pihak yang memiliki komitmen untuk menjaga keamanan hidup bersama.
Okey, itu dulu dari saya. Kalau ada hal lain yang dianggap lebih baik dan perlu tentu saja boleh. Yang penting niat baik Prabowo ini jangan ditafsirkan macam-macam hanya karena sikapnya yang terkesan kurang familiar selama ini. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H