Jokowi sudah mengambil keputusan tidak mau menghabiskan energi untuk hal-hal yang tak perlu. Strategi pembangunan dengan "Nawa Cita" pasti diteruskan. Menghadirkan negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara pilihan pertama.
Maka upaya peneguhan kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia yang cenderung sudah dirusak oleh politik identitas sejak Pilkada DKI merupakan salah satu implikasi kehadiran negara.
Jadi, jangan coba-coba memosisikan diri sebagai lebih Indonesia dari warga negara lainnya. Jangan lagi klaim diri anda lebih asli dari warga negara lain. Anda akan dilibas. Jangan bilang kami asli, pribumi, dan anda adalah pendatang yang tak layak hidup berdampingan dengan kami. Terminologi yang patut patut, layak, dan paralel dengan Nawa Cita adalah : KITA.
Pembangunan dari pinggir juga tak ditinggal. Jawa dan Indonesia bagian barat sudah terlalu lama dianakemaskan. Sekarang giliran warga negara di pinggir, di perbatasan dengan negara lain perlu diberi porsi lebih besar. Penduduk di Jawa jangan iri. Jangan marah. Mereka adalah saudara-saudara kita juga. Mereka adalah tembok terdepan menghalau para pecundang dari negara lain.
Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional guna mewujudkan kemandirian ekonomi, antara lain dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, pasti akan digenjot. Dan masih banyak lagi.
Untuk periode ini, penekanan diletakkan pada pembangunan sumber daya manusia selain tetap meneruskan dan merawat pembangunan infrastruktur. Pembangunan manusia jangan disempitkan dengan sekedar memerbanyak gedung sekolah. Lebih luas dari itu. Selain fisik, juga jati diri. Istilah yang kerap dipakai untuk ini adalah revolusi mental.
Mental malas, mengemis dari orang atau negara lain, mental KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) untuk mendapatkan jabatan atau proyek, suka menyalahkan orang lain, menunggu perintah, mental birokrasi panjang dan berbelit-belit, banyak omong sedikit kerja, suka main hakim sendiri untuk menegakkan hukum, menang sendiri, dan seterusnya, akan dilibas habis.
Mengapa? Karena memajukan negara hanya bisa dilakukan oleh individu dan kelompok yang berkualitas dan berintegritas. Individu dan kelompok yang mampu menyempitkan jarak antara perkataan dan perbuatan. Bukan oleh orang yang pendidikannya setingi langit tetapi mampunya memrovokasi. Gelar akademik seabrek, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena skripsi, tesis atau disertasi dibeli atau dikerjakan orang lain.
Bukan pula oleh orang bersuara keras teriak-teriak membela Tuhan dan agama, atau mengkafirkafirkan orang yang tak sealiran. Tuhan tak perlu dibela. Tuhan Maha Kuasa. Agama tak perlu dibela. Ajaran agama dapat menunjukkan kebenaranya sendiri.
Ada bebrapa srikandi yang sudah memenuhi kriteria itu pada periode pertama. Di antaranya yang banyak disorot media ialah Menteri Keuangan - Sri Mulyani Indrawati, Menteri Luar Negeri - Â Retno Lestari Priansari, Menteri Kelautan dan Perikanan - Susi Pudjiastuti, Menteri BUMN-Rini Mariani Soemarno, dan Menteri Sosial -- Khofifah Indar Parawansa (saat ini menjadi Gubernur Jawa Timur). Kita berharap pribadi-pribadi seperti itu makin banyak pada periode kedua.
Oleh sebab itu, kalau mau maju bersama, memberi andil menjadikan negara ini berdiri tegak di antara negara-negara di dunia, tinggalkan semua sikap dan perilaku yang tak perlu. Jika tidak, maka dalam periode kedua Jokowi, anda akan hidup seperti di neraka dengan panas api abadi. ***