Usai mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK), tanggal 24 Mei, ketua tim kuasa hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto (BW) melontarkan pernyataan yang tak patut.
Pernyataannya bukan cuma merendahkan, tapi menjurus fitnah. Ia bilang, MK jangan berubah menjadi Mahkamah Kalkulator dan jangan menjadi bagian dari rezim korupsi.
Pernyataan pertama mungkin bisa saja dianggap wajar, normal. Dapat dianggap sebagai peringatan kepada para hakim MK agar tidak ceroboh dalam menangani perkara gugatan.
Pasalnya, keputusan MK adalah bersifat final, mengikat, dan harus ditaati oleh semua, baik kedua Paslon maupun masyarakat umum. Secara teknis hal ini dikenal dengan asas erga omnes (lihat Psl 10 ayat (1) UU MK).
Pertanyaannya, benarkah itu yang dikehendaki BW dan tim maupun BPN Pabowo-Sandi? Tampaknya, bukan! Yang terselip dalam pernyataan itu justru pengakuan tak langsung betapa tingginya kekhawatiran mereka terhadap kurangnya bukti-bukti pendukung gugatan. Mereka paham bahwa hasil perhitungan suara KPU terlalu sulit dipatahkan bila mereka diharuskan membuktikan adanya kecurangan TSM (terstruktur, sistematis dan masif).
Pernyataan kedua sudah jelas tendensius. Sama sekali tidak terkait dengan hukum. Tujuannya bisa ditebak. Mereka hendak membentuk opini masyarakat agar tidak percaya pada MK. Ini sama dengan narasi yang lama mereka bangun terhadap KPU dan Bawaslu sebelum pemungutan suara yang akhirnya memicu kerusuhan 21-22 Mei.
Selain itu, BW menuduh para hakim MK bukanlah pribadi-pribadi yang kredibel. Mudah ditekuk dengan uang seperti Akil Mochtar dan Patrialis Akbar yang saat ini dibui karena korupsi.
Yang menyesatkan adalah upayanya memfaming pemerintahan yang ada sebagai rezim korup. Ia seolah lupa bahwa dirinya sendiri pernah menjadi bagian dari rezim Jokowi-JK ketika menjadi Wakil Ketua KPK.
Kalau benar rezim ini korup mengapa diam pada saat menjabat wakil ketua KPK? Apakah dirinya juga sudah kecipratan atau malah telah melakukan korupsi secara diam-diam tetapi terlewat dari pantauan rekan-rekannya di KPK?
Semua tahu bahwa korupsi belum bisa dibasmi. OTT yang dilakukan KPK kepada para pejabat tenyata belum membuat para calon koruptor jera. Tetapi, keadaan itu tidak bisa dijadikan alasan untuk mengatakan pemerintahan korup.
Pentanyaannya, mengapa BW melontakan tuduhan tak berdasar itu? Tujuannya bisa ditebak juga. Hendak menciptakan opini dalam masyarakat, setidaknya di kalangan pendukung dan simpatisan Prabowo-Sandi, agar tidak percaya kepada pemerintahan karena dianggap kong kali kong dengan para hakim MK.
Dengan begitu, mudah bagi mereka memobilisasi para tukang demo untuk menekan para hakim MK maupun Jokowi. Mungkin dengan kembali melakukan demo besar-besaran seperti yang dilakukan kepada KPU dan Bawaslu. Mereka berharap agar para hakim MK takut sehingga mau tidak mau memenangkan gugatan mereka.
Kalau kalah pun, mereka tak peduli. Malahan bisa lebih berani. Para demonstran terus dimotivasi melakukan tindakan anarkis guna memancaing kemarahan aparat. Boleh jadi dalam hati mereka terselip keinginan munculnya korban dalam jumlah yang lebih banyak. Mereka hendak menarik perhatian dunia internasional untuk menekan pemerintah Indonesia, termasuk membatalkan putusan MK.
Kekuatan pendukung di belakang Prabowo-Sandi
Mungkin ada yang bertanya mengapa kubu 02 tak jemu-jemu memancing ketegangan dalam masyarakat? Tampaknya ada satu kekuatan dahsyat di belakan 02 yang sangat dipahami oleh tim kuasa hukum. Ada ideologi "cuci otak" yang telah merasuki begitu banyak orang di berbagai lapisan masyarakat.
Yang utama adalah ideologi khilafah dan syariah Islam yang telah lama disosialisasikan di berbagai komunitas pasca reformasi. Dua Ormas yang lebih dikenal terbilang gigih melakukan hal itu secara sistematis melalui dakwah di kampus-kampus dan mesjid-mesjid adalah HIT dan FPI.
Jangan dikira bahwa dengan dibubarkan HTI dan larinya Habib Rizieq di Arab, gerakan mereka berhenti. Tidak. Apa yang dikatakan mantan Kepala BIN, A.M. Hendro Priono pada acara Musyawarah Besar Kaum Muda Indonesia di Gedung Joeang 45, Menteng, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu, bukanlah isapan jempol.
Adanya 41 Mesjid milik negara yang disebut terpapar radikalisme dapat dikatakan merupakan buah perjuangan HTI dan FPI. Dalam ceramahnya di depan Badan Eksekutif Mahasiwa Perguruan Tinggi se-Indonesia di kampus Universitas Wahid Hasyim di Semarang, Kepala BIN, Budi Gunawan menyebutkan 39% mahasiswa di Indonesia terpapar radikalisme. Selain itu terdapat 24% mahasiswa dan 23,3% pelajar SMA dan sederajat, setuju dengan tegaknya negara Islam di Indonesia.
Hal itu seolah dimuluskan oleh tujuh PTN yang telah dimasuki gerakan tersebut. Mungkin saja pimpinan PTN tidak tahu menahu, tetapi dengan sistem kerja mereka yang rapi mereka bisa melakukan "pembinaan" kepada banyak mahasiswa. Para dosen pun banyak yang terlibat, bahkan beberapa sudah diberhentikan sementara waktu, seperti Profesor Suteki dari Undip Semarang.
Misi mereka adalah menolak keras yang namanya demokrasi, Pancasila dan UUD 1945 yang sekarang. Bagi mereka demokrasi menyesatkan. Alasannya, jika dalam musyawarah ada sembilan orang penjahat dan satu Ustadz, maka yang menang pasti penjahat. Inilah antara lain cara mereka "mencuci otak" kaum muda di berbagai kampus.
Selain itu, ada satu komunitas lain yang luput dari pantauan publik. Namanya MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia). Kelompok ini didirikan tanggal 28 Februari 2012 di hotel Grand Sahid, Jakarta. Dr Hamid Fahmy Zarkasyi, ditunjuk secara aklamasi sebagai ketua majelis dan H Bachtiar Nasir (BN) sebagai sekjen. Sehari-hari, beliau bekerja sebagai Wakil Rektor 1 Universitas Darussalam Gontor Ponorogo, yang juga ketua program kader ulama pesantren Gontor, Ponorogo.
Dewan pendiri dan anggota banyak dari kalangan tokoh organisasai dan akademisi, baik perguruan tinggi umum maupun keagamaan.
Ketika berdiri, Hamid Fahmy Zarkasyi sebagai ketua menjelaskan kepada pers bahwa organanisasi itu bukan menyaingi MUI, tapi justru memperkuat otoritas lembaga keulamaan setingkat MUI (Tempo.co).
Namun dalam pergerakannya, misi yang terus dibangun tampak berbeda dari misi MUI maupun Ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah. Mereka terus menggaungkan upaya mengintergarikan urusan agama Islam dan Negara. Usaha apa pun yang memisahkan urusan negara dan agama, mereka ditolak.
Hal tersebut kembali ditegaskan oleh BN pada konferensi pers 29 Januari 2019 guna menyatakan sikap MIUMI sekaligus menyiapkan umat menghadapi Pemilu 2019. (linknya ini)
Pada Pilpres, Pileg, dan Pemilihan DPD tahun 2019, BN berpesan tak boleh asal pilih. Hanya boleh memilih yang berpihak pada kepentingan Islam dan umat Islam.
Jangan sekali-kali memilih calon yang berasal dari kelompok dan organisasi atau pribadi yang anti Islam atau Islamfobia dan tidak memperhatikan kepentingan Islam dan bangsa. Misalnya, yang jelas-jelas mendukung LGBT, yang hendak memaksakan kehendak merealisasikan RUU Penghapusan Kekerasan seksual menjadi UU.
Narasi-narasi tersebut sama dengan HTI dan FPI. Mereka inilah yang ada di belakang Paslon 02 sekaligus tim kuasa hukum. Mereka sangat getol memerjuangkan kemenangan Prabowo karena yakin bahwa hanya Prabowo yang bisa menjamin keleluasaan mereka bergerak. Itu pula sebabnya mereka mati-matian membela Prabowo dengan cara apa pun.
Dengan mencermati hal-hal tersebut, maka dalam persidangan MK pergerakan  Ormas-Ormas tersebut perlu diwaspadai oleh pihak keamanan. Kalau gugatan Prabowo-Sandi kalah di MK, bukan tidak mungkin mereka nekat. Inilah yang perlu dicegah. Resikonya bagi bangsa dan negara terlalu besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H