Pernyataan keras Prabowo untuk tidak menggugat hasil Pilpres di MK, secara resmi telah dicabut. Ini ditandai dengan didaftarkannya gugatan hasil Pilpres 2019 ke MK, Jumat (24/5/2019) pukul 22.44 WIB atau kurang dari 1,5 jam dari limit waktu pendaftaran permohonan.
Tindakan tersebut perlu diapresiasi. Merupakan bukti nyata bahwa beliau taat hukum, konstitusi.
Delapan kuasa hukum yang dipercaya mewakili Prabowo-Sandi. Dipimpin oleh Bambang Widjojanto, mantan Ketua KPK, yang juga merangkap jabatan sebagai Ketua Komite di bidang pencegahan korupsi dalam TGUPP (Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan) di DKI. Tujuh lainnya ialah Teuku Nasrullah, Zulfadli, Doler Almir, Iskandar Sonhadji, Iwan Satriawan, Lutfi Yazid, dan Denny Indrayana. Semuanya ahli hukum.
Target tim hanya satu: memenangkan gugatan. Inilah satu-satunya cara untuk mewujudkan cita-cita Prabowo menjadi Presiden RI yang sempat tertunda selama 15 tahun.
Kegagalan pertama terjadi tahun 2004 ketika tersisih dari Wiranto pada konvensi calon presiden dari Partai Golkar. Disusul tahun 2009 ketika gagal maju bersama Ketua Umum PAN kala itu, Soetrisno Bachir, karena tidak memenuhi persyaratan kursi pendukung. Prabowo pun terpaksa menjadi Cawapres dari Capres Megawati Sukarno tetapi juga kalah dari Pasangan SBY-Budiono. Pil pahit terakhir terjadi tahun 2014 ketika menggaet Hatta Radjasa sebagai Cawapres yang dimenangkan Jokowi-JK.
Respon kemenangan
Oleh sebab itu, jangan ditanya bagaimana respon beliau apabila tim memenangkan gugatan. Meluapkan kegembiraan, ya! Itu manusiawi. Mengadakan doa syukur diiringi pesta, potong tumpeng, juga, ya. Bahkan ada kemungkinan akan menghadirkan para penyanyi kenamaan seperti Ahmad Dhani dan Neno Warisman untuk menghibur para tamu. Ini wajar. Tak selayaknya diprotes, apalagi sinis.
Seluruh pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin tak perlu marah. Bahwa ada perasaan sedih, kecewa, tentu saja bisa dimaklumi. Itu juga manusiawi.
Yang penting jangan sampai rasa sedih dan kekecewaan diluapkan dalam betuk tindakan yang tak perlu seperti pada demonstrasi 21-22 Mei yang lalu.
Konsekuensi seperti itulah yang selalu muncul dalam memilih pemimpin. Kalau tidak menang, ya, kalah. Konstitusi kita mengaturnya demikian. Tak mungkin semua menang atau semua kalah. Hanya satu pasangan pemenang. Hanya satu pasangan presiden dan wakil presiden setiap periode.