Sesungguhnya perlu disadari bahwa pemimpin sejati adalah pribadi siap berkorban demi rakyat. Tanpa istirahat yang cukup sekalipun, ia rela hidupnya susah demi kepentingan bersama. Target praktisnya, mencegah adanya korban dalam bentuk apa pun dalam masyarakat.
Menyia-nyiakan momentum
Kehadiran itulah sesungguhnya momentum yang tepat bagi Prabowo untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya adalah pemimpin sejati. Tidak membiarkan rakyat, pendukungnya, untuk melakukan apa saja demi kepentingan politiknya. Mencegah adanya korban demi ambisi pribadi dan kelompoknya.
Kenyataannya? Tidak begitu. Pada saat terjadi unjuk rasa seusai KPU mengumumkan hasil perhitungan suara, 21 Mei 2019, Prabowo tidak kelihatan di lapangan. Sandiaga Uno juga tidak.
Tak ada kabar pasti mereka di mana dan apa yang dikerjakan. Apakah sedang menonton aksi-aksi brutal seperti pembakaran puluhan mobil yang terparkir di depan Asrama Brimob di Jakarta Barat, perusakan Asrama Brimob, bentrokan dengan petugas polisi karena ada yang hendak merusak pagar besi di depan kantor Bawaslu, atau ratusan korban luka, bahkan meninggal? Sama sekali tak jelas.Â
Dengan sikap seperti itu, makin jelas kepada kita bahwa Prabowo tidak layak menduduki jabatan Presiden. Klaim-klaimnya tentang dirinya sebagai nasionalis, negarawan, TNI sejati yang mengedepankan kepentingan negara daripada kepentingan diri, gagal ia buktikan pada saat yang tepat.
Berdasarkan kejadian itu, teralu sulit untuk tidak mengatakan bahwa Prabowo sudah selesai. Cita-cita besarnya untuk mendapatkan jabatan Presiden barangkali akan berakhir sebatas cita-cita.
Oleh sebab itu, acungan dua jempol yang sempat saya berikan sebelumnya, saya batalkan! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H