Rabu, 22 Mei 2019 adalah pengumuman hasil Pemilu 2019 mencakup Pileg, Pil-DPD, dan Pilpres. Dari situ, bangsa kita mengetahui siapa-siapa yang menjadi wakilnya di legislatif dan Paslon mana yang sah menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024
Sedetik setelah pengumuman itu, semua wacana Prabowo tentang klaim kemenangan, tuduhan keruncangan kepada siapa saja dan lembaga apa saja, menolak hasil Pilpres, menolak bayar pajak, dan lainnya, perlu diakhiri. Prabowo tak perlu berteriak-teriak lagi dengan menggunakan media apa pun. Selain tidak berguna, baik bagi Prabowo sendiri maupun bangsa dan negara, akibatnya selalu tidak menyenangkan.
Apabila diteruskan, maka Prabowo akan berhadapan dengan hukum. Penegak hukum, utamanya pihak Kepolisian RI, berkewajiban menangkap Prabowo pada kasus berciri pidana delik formil dan segera merespon delik aduan.
Menggapa? Karena deklarasi kemenangan adalah hoax, dan hoax merupakan tindak pidana kategori delik formil, yang tak menunggu adanya akibat dari perbuatan. Menolak hasil Pilpres sama sekali tidak mendidik. Cenderung menyuburkan sikap bermusuhan dan perpecahan dalam masyarakat. Tuduhan kecurangan bisa masuk kategori fitnah atau perbuatan tidak menyenangkan. Menolak bayar pajak termasuk katgori melawan hukum.
Semua tindakan tersebut sama sekali tidak mengandung niat baik. Malahan menyiratkan niat menghasut agar orang lain bertindak melawan hukum, membentuk opini agar Presiden dan Wakil Presiden terpilih dipersepsi negatif oleh masyarakat. Tulisan berikut secara khusus menyoroti kasus hoax.
Sama dengan kasus Ratna Sarumpaet
Deklarasi kemenangan tanpa dukungan data dan fakta sama dengan hoax Ratna Sarumpaet (RS) yang mengantarnya menjadi pesakitan. Ia mendeklarasikan kepada publik bahwa ia dianiaya, padahal tidak. Dia operasi plastik untuk memercantik diri. Niatnya jelas jahat. Sebagai salah seorang tim sukses Paslon 02, RS diduga memanfaatkan benjolan-benjolan di wajahnya untuk memercantik diri seolah-olah bekas penganiayaan untuk menyerang Pemerintah RI dan/atau Paslon 01.
Atas perbuatan itu, RS dijerat dengan Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Ketentuannya: "Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun."
Hal yang mirip dilakukan Prabowo. Dia mendeklarasikan diri menang, padahal tidak. Tidak ada data pendukung selain karangan para pendukung yang mungkin hendak menjerumuskan Prabowo. Oleh sebab itu ancaman pidananya sama dengan RS.
Selain itu, Prabowo bisa dijerat dengan ketentuan Pasal 28 Ayat (2) UU No 11 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) seperti yang diterapkan kepada RS.
Perbuatan itu termasuk delik formil. Oleh sebab itu, tanpa menunggu adanya korban Prabowo bisa langsung ditangkap oleh polisi seperti RS. Batas toleransi klaim itu berakhir atau harus diakhiri sedetik, ya, hanya sedetik, setelah KPU mengumumkan hasil Pemilu.