Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Selamatkan Prabowo dari Cengkeraman para Pecundang

16 Mei 2019   11:23 Diperbarui: 16 Mei 2019   12:56 3528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://geotimes.co.id

Seruan-seruan kubu Paslon 02 pasca pemungutan suara Pemilu 17 April 2019 sudah tidak lucu lagi. Makin menyesatkan dan cenderung melawan negara. Bukan hanya Presiden terpilih, KPU, Bawaslu, tetapi juga Undang-undang yang mengatur segala kegiatan lembaga dan pejabat negara.

Ajakan melakukan people power, menolak hasil Pemilu, menolak mengakui pemerintahan hasil Pilpres 2019, menolak membayar pajak bila Jokowi-Ma'ruf Amin dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024 adalah beberapa contoh yang konsisten digaungkan.

Ditinjau dari latar belakang Prabowo sebagai mantan petinggi TNI dengan sumpah Prajuritnya, pernyataan resmi yang kerap dikemukakan di berbagai forum, termasuk saat debat Pilpres, sangat jelas bahwa ajakan-ajakan itu bukanlah cita-citanya. Bukan inti perjuangannya.

Darah TNI dalam tubuhnya diyakini masih mengalir segar. Ia sangat paham semboyan TNI tentang NKRI harga mati. Pasti paham bahwa Pancasila dan UUD 1945 sudah final, tak perlu dipesoalkan lagi.

Prabowo mungkin sadar lahir-batin bahwa itulah misi utama para pejuang dan pendiri bangsa dan negara RI yang diperjuangkan berdarah-darah kemudian dikukuhkan pada tanggal 18 Agustus 1945 ketika menetapkan Pancasila ideologi negara dan UUD 1945 sebagai hukum dasar negara.

Memertahankan NKRI dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945 itulah yang mungkin merupakan pribadi asli Prabowo. Mungkin juga itulah inti perjuangannya. 

Efek Ketelodoran

Dari situ tampak bahwa apa yang saat ini terjadi bukanlah gambaran kepribadian Prabowo. Boleh jadi tak lebih dari efek ketelodorannya dalam mengelola berbagai kepentingan kelompok pendukung yang berlatar belakang FPI, HTI yang sudah dibubarkan itu, GNPF, kelompok yang menamakan diri PA 212, dan mungkin juga PKS, yang dipaksakan bersatu untuk berlaga pada Pilpres 2019.

Mungkin ia berpikir bahwa yang penting dapat dukungan dulu. Persoalan manajemen kepentingan bisa diurus sambil jalan. Dugaan Prabowo ternyata keliru. Para pemimpin kelompok tersebut tidak mau diajak kompromi. Mereka menolak hanya dimanfaatkan untuk mendulang suara. Usaha mereka tidak boleh sia-sia. Prabowo-Sandi harus menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI dengan cara apa pun.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Tentu bisa ditebak. Saat meminta dukungan dari kelompok-kelompok itu mereka pasti meminta ganjaran, balas jasa yang setimpal dari Prabowo.

Itulah sebabnya para pemimpin kelompok itu selalu menempel Prabowo ke mana pun ia pergi. Saat deklarasi kemenangan semu tanggal 17 April dan sesudahnya mereka itulah yang selalu berada di sekeliling Prabowo. Bukan para pemimpin partai pendukung.

Kalau satu persatu partai pendukung keluar dari koalisi sangat mungkin bukan karena sekedar mengincar jabatan dalam gerbong pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin, seperti Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan. Tetapi mereka baru sadar, bahwa Prabowo sudah jauh teledor.

Kendali kubu Paslon 02 sudah bukan di bawah kendali Prabowo lagi. Ia malah dikendalikan oleh para pemimpin dari kelompok-kelompok tersebut setelah pemungutan suara.

Merekalah yang sangat bersemangat mendorong Prabowo untuk terus mendeklarasikan kemenangan disertai doa syukur. Merekalah yang getol menyerukan people power, menolak hasil Pemilu, menolak pemerintahan hasil Pilpres, dan menolak membayar pajak. Tanpa disadari, mereka terus menjerumuskan Prabowo ke jurang kebinasaan diri dan negara.

Pimpinan partai sekaliber SBY jelas sadar hal itu. Itulah sebabnya SBY mengutus AHY menemui Jokowi beberapa saat setelah pengumuman hasil quick count yang menunjukkan kemenangan Paslon 01.

Kesadaran tersebut sudah diperlihatkan SBY jauh-jauh hari sebelumnya. Protesnya atas konsep kampanye akbar Prabowo di Stadion Utama Gelora Bung Karno yang dimulai dari Salat Subuh dinilai tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif, tulis SBY dalam suratnya dari Singapura. (Kumparan).

Berjuang bersama

Dari kenyataan-kenyataan tersebut, tidak selayaknnya Prabowo terus disalahkan atau diserang dengan rupa-rupa narasi yang menciutkan nyali. Publik perlu paham posisi Prabowo. Ia terjepit. Ia butuh ditolong.

Publik perlu berjuang bersama menyelamatkan Prabowo dari cengkeraman FPI, HTI, GNPF, dan PA 212. Merekalah yang terus mendesak dan menekan Prabowo untuk melawan negara. Bagi mereka, Prabowolah tumpuan terakhir untuk bisa tetap berjuang mewujudkan ideologi khilafah dan syariat Islamiyah, atau setidaknya bisa bertahan di negeri bernama Indonesia.

Pertanyaannya, apa benar Prabowo masih memegang teguh jiwa TNI yang ada di dalam tubuhnya? Masih memegang teguh Sumpah Prajurit TNI yang pernah merasuk ke dalam jiwanya, antara lain: 1. Setia Kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945; 2. Tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan? Jika ya, maka tidak ada alasan untuk tidak menyelamatkan Prabowo dari keterjepitannya.

Sebaliknya, bila Prabowo tidak begitu, bahkan telah melebur dirinya dengan kelompok pecundang, maka jalan yang perlu ditempuh ialah "mengamankan" Prabowo bersama kelompok-kelompok pecundang tersebut berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Rakyat pendukung NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 perlu bersatu bahu-membahu dengan TNI dan Polri menyelamatkan negara.  ***

Artikel terkait:

Satu Kata yang Membuat Kegarangan Eggi Sudjana Mengkeret

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun