Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Satu Kata yang Membuat Kegarangan Eggi Sudjana Mengkeret

15 Mei 2019   18:34 Diperbarui: 15 Mei 2019   22:41 2473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara soal kegarangan, orang pasti ingat Eggi Sudjana. Dialah salah satu dari sedikit yang bisa menyandang predikat tergarang di Indonesia. Kalau bicara, suaranya bukan cuma keras. Tapi juga ngebas menggelegar. Bisa membuat lawan kehilangan nyali. Tetapi bisa juga membuat semangat kawannya menyala-nyala.

Kegarangan suara Eggi makin lengkap dengan ekspresi wajah yang juga tampak keras sekeras batu karang. Hanya orang yang punya nyali besar seperti Adian Napitupulu yang tak gentar berhadapan dengan Eggi. Pasalnya, selain suara bass sebagai ciri lelaki tulen, kata Ahmad Dhani, lototan mata dan ekspresi wajah Eggi seolah menelan lawan bicaranya. Mirip harimau petarung yang tengah menghadapi singa atau sesama harimau.

Namun, kegarangan itu ternyata tidak langgeng. Apa yang dikatakan ketua PBNU, Said Aqil Siradj tempo hari ternyata terbukti. Ketika isu people power ramai digaungkan oleh Paslon 02, dengan yakin beliau berkata "Seandainya kita, selama kita ditolong Rasulullah, bersama Rasulullah Insya Allah harimau-harimau akan kelihatan tunduk, jinak. Insya Allah yang tadinya harimau jadi kucing," katanya kepada pers (Viva.co.id).

Said Aqil Siradj tentu tidak asal ngomong karena memang beliau tidak punya ciri asal ngomong. Sebagai Ketua PBNU beliau selalu hati-hati sehingga apa yang dikatakannya cenderung tepat.

Keterbuktian pernyataan Said dapat dilihat pada penampilan Eggi beberapa hari terakhir setelah ditetapkan menjadi tersangka makar. Bicaranya yang garang, menggebu-gebu tampak berbalik. Ia tampak ramah, suara agak lembut dan tatapan mata tampak sayu, lebih bersahabat.

Mengapa bisa tiba-tiba berubah? Kata kuncinya ternyata satu: kata "makar".

Memelintir makna

Dalam berbagai orasinya, nada makar kerap mewarnai pernyataan-pernyataan Eggi. Tantangannya agar rakyat, dalam hal ini pendukung 02, melakukan people power terkait hasil Pilpres yang dinilainya curang terbilang sangat berani. Bagi dia hal itu legal. Konstitusional. Ia sangat yakin tidak salah. "People power tidak melanggar hukum. Itu konstitusional," katanya pada satu kesempatan.

Fadli Zon, kawan kentalnya juga bilang begitu. Fadli bilang kalau Eggi dituduh makar, di mana makarnya? Itu bukan makar, kata Fadli. Eggi hanya menyampaikan pendapat di dempan umum. Itu dilindungi undang-undang, jelas Fadli di depan wartawan.

Di salah satu akun twitter, ada yang menulis begini: "Ok, kalau Fadli berkata pernyataan menghasut yang dilakukan Eggi bukan makar, berani gak Fadli mengatakan hal yang sama di depan publik? Kalau berani, ayo, jangan asal ngomel," tulis sang pemilik twitter.

Eggi tampak pura-pura tidak tahu bahwa orasinya di kediaman Prabowo tanggal 17 April 2019 bukanlah pendapat yang dilindungi konstitusi. Ia pura-pura lupa bahwa rangkaian pernyataannya sudah menghasut, bersifat ajakan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah atau Presiden terpilih pada Pilpres 2019.

Saat itu, Eggi bilang kepada massa, "Kekuatan people power itu mesti dilakukan. Setuju? Saya dengar tadi Insyaallah setelah jam 7 atau jam 8 akan diumumkan resmi apakah betul ada kecurangan yang serius, maka analisis yang sudah dilakukan oleh pemimpin kita juga, Bapak Prof Dr Amien Rais, kekuatan people power itu mesti dilakukan. Setuju? Berani? Berani?" seru Eggi dalam orasinya.(CNN)

Ia pura-pura tak paham bahwa pernyataan semacam itu telah melawan hukum. Melanggar ketentuan di banyak pasal KUHP. Ia bisa dijerat dengan Pasal 107 KUHP karena tujuan people power yang mereka gagas bersama Amien Rais jelas merebut kekuasaan dari presiden terpilih. Juga Pasal 110 angka 1 "Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104, 106, 107, dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut."

Juga ketentuan Pasal 110 angka 2, butir (1), "berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan." 

Menurut Pasal 87 KUHP, "dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53 KUHP", yakni "mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri."

Pernyataan-pernyataan dalam orasi tanggal 17 April itulah yang memerlihatkan niat Eggi. Kendati hal itu belum dilaksanakan, belum merebut kekuasaan atau menggulingkan pemerintahan yang sah, namun karena delik itu delik umum, maka ia tetap kena.

Mengacu pada ketentuan Pasal 107 KUHP, maka ancaman bagi pelaku ialah pidana penjara paling lama lima belas tahun. Bagi Eggi sebagai pemimpin atau pengatur makar, ancamannya lebih berat lagi.  Ia bisa dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun.

Atas dasar itu, polisi menahan dan menetapkan Eggi sebagai tersangka. Penahanan pun dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor SP.HAN/587/V/2019/Ditreskrimum, tanggal 14 Mei 2019. Surat perintah penahanan itu dibacakan di hadapan Eggi Sudjana sendiri tanpa protes garang seperti kebiasaannya.

Eggi memang coba protes dengan tidak menandatangi surat perintah penahanan dengan alasan dia sedang mengajukan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka makar. Ia juga bilang people power yang dia maksud adalah unjuk rasa biasa. 

Namun, polisi tidak ambil pusing. Pelintiran makna yang dilakukan Eggi tidak menyurutkan tekad polisi mengamankannya. Polisi tahu bahwa pelintiran itu hanyalah akal-akalan yang biasa dilakukaan saat terdesak.

Sesuai dengan pertintahkan undang-undang, Polisi tetap menahan Eggi. Ini pertimbangan subjektivitas penyidik agar Eggi tidak sampai menghilangkan barang bukti, memgulangi perbuatan atau melarikan diri," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono kepada wartawan. (detik.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun