Dari tahun ke tahun, aksi penyerbuan lokasi perjudian, tempat diskotek, gudang atau toko atau warung penjual minuman keras, warung makan saat bulan Ramadhan, tempat esek-esek, atau sweeping di berbagai super market atau mini market di berbagai daerah dengan melarang pemasangan atribut Natal, atau perkelahian di berbagai tempat seperti dalam kasus Ketapang, Gajah Mada, Jakarta Pusat, keributan di Pekalongan dengan preman seperti kasus Ketapang.
Dan banyak lagi. Masih ingat penganiayaan terhadap sesama anak bangsa di Monas? Mereka menyerang massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang akan memperingati hari kelahiran Pancasila 1 Juni 2008. Pada kejadian itu puluhan orang menjadi korban dan harus dirawat di rumah sakit. (Tempo). Masih ingat kericuhan yang berujung penganiayaan wartawan pada Malam Munajat 212 (Wikipedia)? Masih ingat penghinaan Presiden RI pertama, (alm. Ir. Sukarno) oleh Habib Rizieq? Kalau mau tahu lebih rinci silahkan browsing sendiri ya!
Dari kenyataan itu, niat baik yang selalu digaungkan menjadi tak berarti. Memerjuangkan kebaikan dengan menganiaya, merusak, menyakiti orang lain bukanlah cara-cara manusia normal. Menegakkan hukum dengan cara melawan hukum, jelas keliru. Mirip dengan mendidik anak nakal di rumah dengan menyiksanya, juga keliru. Mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan Syariah dan khilafah sama sekali tidak membuat bangsa tetap utuh dan langgeng.
Kekeliruan memosisikan diri dan pelanggaran hukum
Ada yang bilang bahwa FPI melakukan hal itu karena lemahnya penegak hukum, utamanya polisi, dalam menegakkan hukum. Dari pada bangsa ini menjadi rusak, maka FPI bertindak.
Kekeliruan cara berpikir itu ada tiga. Pertama, secara tidak langsung telah menghina lembaga kepolisian. Menganggap lembaga kepolisian tidak bisa berbuat apa-apa sekaligus menganggap dirinya lebih berkuasa.
Kedua, FPI telah menganggap diri lebih tinggi dari pada banyak aturan hukum. Bahkan menganggap hukum adalah dirinya sendiri. Atas pandangan itu, semua ketentuan hukum yang mengatur kewenangan ormas dan kewenangan Polisi dalam menangani berbagai kasus dalam masyarakat dianggap sampah.
Hal tersebut jelas melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (3) huruf d UU Ormas (UU No 16 Tahun 2017). FPI melanggar larangan untuk melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara khusus melanggar ketentuan Pasal 13 huruf a, b, c dan 14 ayat (1), huruf e dan i, UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Sebab hal itu merupakan tugas dan wewenang kepolisian.
Juga melanggar ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf a dan g, UU Â No 2 Tahun 2002 karena tidak melaporkan kasus yang dinilai melanggar hukum, malahan dan langsung mengambil tindakan, yang sesungguhnya merupakan tugas polisi.
Pelanggaran atas Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d UU Ormas dapat dikenakan sanksi adminsitrasi dan pidana (lihat Pasal 60 ayat (2) UU Ormas. Pelakunya dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.
Tetapi, yang lebih berat adalah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (4) huruf c, UU Ormas: "Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta. menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila." Ancaman pidananya pada Pasal 82A Â menegaskan "Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ..., dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun."