Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

FPI, Macan Tinggal Sekandang dengan Kawanan Domba

11 Mei 2019   21:23 Diperbarui: 12 Mei 2019   06:50 1977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak mau kalah dengan pendukung petisi "Stop ijin FPI" di laman www.change.org sejak 5 Mei lalu, tiga hari sesudahnya para pendukung FPI pun meluncurkan petisi berjuluk "Dukung FPI Terus Eksis".

Sampai tulisan ini dibuat, jumlah penandatangan petisi stop izin FPI sudah mencapai angka 372.395 orang. Yang satunya mencapai 160.235 orang. 

Keduanya terus bertambah dari detik ke detik, walaupun kecepatannya berbeda. Entah mana yang akhirnya lebih banyak, kita masih menunggu.

Pertanyaan dasarnya, mengapa izin FPI perlu dihentikan, atau sebaliknya, perlu didukung agar terus eksis. Apa manfaatnya bagi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia? Mengapa banyak yang tak senang FPI di luar kelompok mereka?

Mari kita terlusuri idealisme FPI dan membandingkannya dengan fakta tindak tanduk mereka selama ini.

Bertemunya dua kepentingan
Perlu diingat bahwa FPI tidak muncul tiba-tiba. Ia lahir sebagai buah perkawinan dua kepentingan setelah Presiden Suharto lengser 21 Mei 1998. Di satu sisi, pihak keamanan memerlukan dukungan sipil untuk mengamankan situasi. Di sisi lain, banyak tokoh Islam merasa memerlukan dukungan penguasa untuk membela kepentingan Islam yang dinilai terzolimi cukup lama. Klop.

Setelah Suharto lengser, demonstrasi ternyata tidak berhenti. Sampai-sampai MPR merasa tergangu untuk melaksanakan Sidang Istimewa MPR, 10-13 November 1998 untuk melantik Presiden B.J. Habibie dan agenda mendesak lainnya.

Tujuannya demo tidak tunggal. Barmacam-macam dan berseliweran. Ada yang bertujuan menegakkan kepentigan negara menurut ide awal reformasi, ada yang sekedar memerjuangkan kepentingan kelompok maupun individu. Saling susup-menyusup, saling menunggangi, yang apabila tidak segera ditangani bisa saja terjadi konflik berkepanjangan yang mengancam keutuhan negara.

Pihak keamanan pusing. Mau menyerang demonstran, tidak mungkin.  Tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti dan puluhan yang luka pada demo tanggal 12 Mei 1998 dinilai cukup. Lagi pula, kenekatan mahasiswa memaksa Suharto lengser, sesungguhnya mewakili suara hati sebagian besar rakyat Indonesia, politisi, akademisi, para petinggi negara, termasuk TNI, dan Polri.

Di sela-sela kebingungan itulah muncul ide membentuk Pam Swakarsa (Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa), yang diharapkan meredam gelombang demonstran. Bahu-membahu dengan pihak keamanan untuk mengerem laju demonstrasi. Di antara anggota kelomppk itu banyak yang kemudian dikenal sebagai pendiri FPI. Itulah sebabnya, tak mengherankan bila di awal berdirinya FPI begitu mesra, dekat, dengan para petinggi ABRI (TNI) seperti Wiranto, Djadja Suparman, Zacky Anwar Makarim, Kivlan Zen, Fachrul Rozi, Suaidi M maupun dari Polri Nugroho Djayusman.

Melenceng dari tujuan awal
Menurut wikipedia, desakan mendirikan FPI dilatarbelakangi oleh tiga hal. Pertama, adanya penderitaan panjang ummat Islam di Indonesia karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer akibat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa. Kedua, adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan. Ketiga, adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta ummat Islam.

Didasarkan pada anggapan itu, maka FPI terus bergerak gencar. Gelora semangat FPI memerbaiki keadaan yang dinilai menyimpang selalu dijaga. Sayang, bahwa pergerakan yang dilakukan, dari waktu ke waktu melenceng dari tujuannya semula.

FPI malah terus menjadikan dirinya sebagai lembaga kontrol terhadap berbagai kebijakan negara atau tindakan-tindakan apa pun dan oleh siapa pun yang dinilai menyimpang dari apa yang mereka gariskan.

Semua hal yang dinilai tidak sesuai berdasarkan nilai dan ukuran-ukuran mereka jangan harap bisa bertahan. Pasti diserang, dilibas dihabisi. Hukum negara tidak dipedulikan. Seolah tidak berlaku bagi mereka. Atas nama pemberantasan kemungkaran dan kemaksiatan maupun yang dinilai merusak harkat dan martabat Islam dilibas tanpa rasa iba sedikit pun.

Mungkin karena dulunya dekat dengan petinggi TNI dan Polri, FPI merasa tak ada yang perlu ditakuti. Merasa diri berada di atas angin. Aksi-aksi mereka makin tak terkendali, menjurus liar. Mereka tidak segan-segan main hakim sendiri kepada siapa pun yang dinilai menghalang-halangi keinginan mereka. Petugas Polisi sekali pun.

Keganasan FPI sudah mulai diperlihatkan pada tanggal 13 November 1998. Saat itu mereka menyampaikan aspirasi ke Sidang Istimewa MPR tentang lima hal. Pertama, mencabut Pancasila sebagai asas tunggal; Kedua, menghentikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila; Ketiga,  mencabut Dwifungsi ABRI, Keempat, mendesak pertanggungjawaban mantan presiden Soeharto; dan Kelima, menuntut permintaan maaf Golongan Karya sebagai partai penguasa selama Orde Baru.

Bendera FPI yang dijual di Toko Pedia
Bendera FPI yang dijual di Toko Pedia

Sejak saat itu, dapat dikatakan FPI terus unjuk gigi. Lihat misalnya tuntutan FPI kepada MPR tahun 2002. Sambil membawa spanduk bertuliskan "Syariat Islam atau Disintegrasi Bangsa", mereka mendesak MPR agar kalimat "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pasal 29 UUD 1945 perlu ditambah "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" (Piagam Jakarta, yang dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945) dimasukkan dalam amandemen UUD 1945 yang sedang dibahas di MPR.

Syukur bahwa tuntutan ini ditolak MPR. Anggota Dewan Penasihat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Dr. J. Soedjati Djiwandono, berjasa mengingatkan MPR bahwa bila tujuh kata Piagam Jakarta itu dimasukkan ke dalam UUD 1945 yang diamandemen, maka perpecahan bangsa dan negara sangat mungkin terjadi.

Benar bahwa mereka juga melakukan tindakan positip seperti aksi kemanusiaan di Aceh 2004 pasca Tsunami. Pada saat itu, sekitar 400 orang anggota FPI dipimpin langsung oleh Habib Rizieq terjun ke Banda Aceh sebagai sukarelawan membantu korban tsunami. Juga menyeru-nyerukan semangat memberantas korupsi, dan lainnya.

Namun, aksi baik yang dilakukannya itu tidak ada apa-apanya dibandingkan perusakan-perusakan yang mereka lakukan sejak ia berdiri sampai saat ini. Tidak percaya? Bukalah link Daftar Aksi FPI di wikipedia atau buka youtube. Bentrokan demi bentrokan, kerusuhan, penyerangan kantor, penganiayaan, pembakaran, mengobrak-abrik rumah makan, rumah ibadah, kafe, toko, dan sebagainya dilakukan sesukanya.

Jangan bicara soal kata-kata dan ungkapan yang selalu keluar dari mulut anggota FPI. Selain kasar disertai pelototan mata, nyaris tak ada kosa kata yang mereka pakai selain menghina, merendahkan, mengutuk, memprovokasi, atau memancing kerusuhan.

Ini jelas aneh. Mau memberantas kemungkaran dengan angkara murka. Menegakkan hukum dengan main hakim sendiri. Membangun keimanan dengan melawan anjuran iman. 

Yang mengherankan, petugas polisi kerap dibuat tidak berkutik. Kendati penganiayaan dilakukan di depan petugas polisi, mereka tak peduli. Petugas juga diam. Seolah ada kerja sama antara FPI dan petugas. Entah takut disebut melanggar HAM atau jangan-jangan di antara petugas itu ada binaan FPI.

Yang jelas, apa yang selalu dilakukan FPI telah memosisikan negara di bawah telapak kakinya. Menempatkan dirinya sebagai ukuran kebenaran hukum dan moral. Cenderung menganggap dirinya lebih berkusa mengatur dan menjaga keamanan ketimbang polisi dan pejabat negara. Itulah sebabnya mereka tak pernah segan melakukan sweeping, mengobrak-abrik, tempat-tempat yang mereka anggap tidak benar.

Dari kenyataan-kenyataan itu plus niatnya mengganti dasar dan ideologi negara, semakin menegaskan bahwa memerpanjang izin FPI, tak ubahnya membiarkan macan hidup bersama dan sekandang dengan kawanan domba. Bukan saja tidak berguna, tetapi malah memakan, merusak, menghancurkan Indonesia. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun