Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Apakah Engkau Masih Bisa Disebut Manusia?

1 Mei 2019   11:42 Diperbarui: 1 Mei 2019   14:23 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Bukan main semangat kubu Paslon Presiden 02 untuk membentuk opini sesat di tengah-tengah masyarakat tentang Pilpres. Cuitan di twitter, orasi-orasi di youtube, pernyataan di berbagai kesempatan yang diliput media terus saja mengkalim kemenangan Prabowo Sandiaga Uno. Di sisi lain, tak henti-hentinya mereka menyerang KPU karena dinilai curang, lembaga survey yang dianggap melegitimasi kecurangan. Namun, ketika ditantang menunjukkan data yang mereka miliki untuk membuktikan kebenarannya, mereka selalu mengalihkan pembicaraan.

Singkatnya, mereka terus bicara seperti orang sempoyongan karena mabuk minuman beralkohol oplosan. Sekalipun sudah melaksanakan deklarasi kemenangan berkali-kali, syukuran bertubi-tubi, tapi tetap saja ngoceh karena mereka sendiri masih ragu atas klaim kemenangan Prabowo-Sandi yang tak berdasar itu.

Apakah itu salah? Tentu saja tidak selalu. Mau berbicara atau menulis apa saja, boleh. Mau menyampaikan kritik kepada pemerintah, kepada KPU, lembaga survey, atau siapa saja, boleh. Seraya salto atau berguling-guling di jalan raya maupun di kubangan kerbau pun tidak ada larangan. Bebas.

Semua hal itu dilindungi oleh undang-undang. Tak ada hambatan bagi siapa pun untuk mengekspresikan diri dan pandangan tentang apa pun. Entah sekedar uneg-uneg, rasa kesal, guyonan, berbagi kebahagiaan, kegembiraan maupun hal-hal serius terkait perbaikan kehidupan sosial, hukum, ekonomi, politik, pendidikan, pembangunan demi kebaikan diri, keluarga, teman, bangsa dan negara pasti terwadahi.

Tapi, jangan asal bicara. Apalagi asal bunyi. Jangan sembarang membuat meme di media sosial. Jangan sebarkan hoax, apalagi menghina, merendahkan, memfitnah orang lain. Jika itu dilakukan, maka pasti ada resiko yang perlu ditanggung. Pepatah bilang, "mulut  kamu harimau kamu", atau "jari-jarimu harimau kamu".

Jangan sampai atas nama kebebasan, akal sehat dilumpuhkan. Jangan sampai membiarkan diri digagahi emosi dan hasrat rendah. Jangan sampai berbicara suka-suka dan mengabaikan etika, norma-norma moral, norma kelimuan, atau norma hukum. Juga memposting hal-hal yang tak senonoh untuk mengekspresikan apa yang ada di benaknya. Jangan terus-menerus menumpahkan sampah yang ada di kepala sendiri ke kepala orang lain dengan ungkapan merendahkan, menghina, memfitnah, termasuk presiden, menyebar hoax, mendiskreditkan lembaga karena kebelet menjadi Presiden.

Sesat memaknai Kebebasan Berekspresi

Apa yang dilakukan musisi flamboyan, Ahmad Dhani, adalah contoh kesesatan memahami kebebasan berbicara dan menulis. Ratna Sarumpaet contoh tokoh hoax tak bermutu yang memasung kaki sendiri. Contoh lainnya, Habib Bahar yang gemar mengancam Presiden Jokowi atau Amien rais, Rocky Gerung, Fadli Zon, Fahri Hamzah, dan lainnya yang kerjanya lebih banyak memuntahkan sampah kata-kata dan ungkapan yang sudah lama mengendap dari hati dan pikirannya sendiri untuk menghina, memfitnah, dan mendiskreditkan siapa saja yang tak sesuai dengan keinginannya.

Contoh lainnya lagi adalah Bachtiar Nasir, tokoh FPI, yang bilang sains sudah error. Bagi dia, hasil Quick Count (QC) dan real count yang menunjukkan kemenangan Paslon 01 adalah sains yang error. Mengapa error? Karena jumlah suara pemilih Paslon 02, Prabowo-Sandiaga Uno, lebih sedikit, tetapi mereka klaim menang.

Nah, yang error yang mana? Jawab sendiri ya!

Politisi Adhie Massardi juga begitu. Hasil QC malahan disebutnya sebagai alat melegitimasi kecurangan KPU. Lucunya, keduanya tak pernah menunjukkan data yang mampu membuktikan kebenaran ungkapannya kepada publik. Padahal kalau bukan pikirannya yang error, semestinya data KPU dan lembaga survey harus disanggah dengan data. Bukan dengan cuap-cuap, atau orasi, propaganda, yang menghasut publik untuk menentang hasil Pilpres.

Pertanyaanya, apakah salah bila orang-orang semacam itu, dan sejumlah tokoh pendukung 02, dikatakan hanya mampu dan gemar menyesatkan masyarakat? Mampukah mereka berlaga di atas ring sains?

Semua Orang Memiliki Hak yang Sama

Benar bahwa kebebasan berbicara, berpendapat, adalah bagian dari hak asasi. Hak setiap dan semua orang, yang muncul bersamaan dengan lahirnya seseorang di dunia. Bukan pemberian negara maupun pemerintah.

Oleh sebab itu, hak tersebut tak bisa dicabut atau dipindahkan ke pihak lain oleh siapa pun. Ini sudah diamanatkan pada Pasal 28 UUD 1945. "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang."

Selanjutnya pada Pasal 28F dikatakan "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."

Itu artinya, bukan hanya mereka yang memiliki hak tersebut, tetapi orang lain juga. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat..." seperti diatur pada Pasal 28G ayat (1). Ditegaskan lagi pada Pasal 28J: (1) "Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara."

Dari situ jelas, bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Tidak boleh ada yang mengekspresikan dirinya sesuka hati dalam bentuk apa pun atas nama kebebasan sehingga menindas hak orang lain. Sebab kalau hal itu dilakukan, benturan-benturan yang tak perlu pasti terjadi. Bisa berupa pertengkaran, perkelahian, sampai pada perang semua melawan semua, chaos.

Untuk mencegah hal itu maka jalan yang patut ditempuh ialah menyadari diri sebagai manusia. Mampu dan mau menyadari bahwa perlakuan yang diharapkan dari orang lain untuk diri sendiri, diri sendiri pun wajib melakukannya kepada orang lain. Kalau mau dihargai, hargailah orang lain. Kalau tidak mau dihina, difitnah, janganlah sekali-kali menghina, memfitnah orang lain.

Ungkapan bijak mengatakan, "Katakanlah apa yang engkau ingin orang lain katakan kepadamu." Selanjutnya, "Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni." Tanpa kesadaran dan kemauan melaksanakan hal itu, apakah engkau masih bisa disebut manusia? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun