Bahayanya, tidak terbatas dalam dua kubu Paslon. Bisa berkembang luas di kalangan masyarakat. Sikap, cara berpikir, bahasa, dan kata-kata yang sama terduplikasi secara massif, dan pada gilirannya meracuni banyak orang sehingga membentuk dua kubu yang saling bermusuhan.
Jika hal ini tak dikendalikan, termasuk oleh media cetak, maka pada saat tertentu, tanpa bisa diprediksi kapan, bahasa dan kosa kata publik menjadi rusak. Secara perlahan juga bisa merusak kepribadian bangsa.
Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikenal ramah dengan kosa kata santun, bersahabat, berubah menjadi kasar, tidak sopan, tidak bersahabat, dan penuh kebencian kepada yang lain.
Perhatikan misalnya teriakan anak-anak dengan melodi lagu anak-anak Menanam Jagung di Kebun Kita, pada pawai obor menjelang bulan Ramadhan tahun 2017 di Jakarta. Anak-anak polos berusia SD itu dengan penuh semangat meneriakkan "Bunuh Si Ahok, Bunuh Si Ahok". Yang dimaksud ialah Basuki Tjahaja Purnama, mantan Gubernur DKI, yang secara bergelombang didemo atas tuduhan penistaan agama.
Mungkin saja mereka tidak paham makna dan dampak teriakan itu karensa bukan inisiatif mereka sendiri. Mereka hanya diperalat oleh orang tuanya atau orang yang ingin menumbangkan Ahok pada Pilkada DKI. Namun, disadari atau tidak, efek buruk dan emosi yang dibangun oleh kata-kata tersebut dapat menjalar kepada siapa saja. Kosa kata "bunuh" bisa dianggap wajar. Melanggar hukum, moral, dan etika, bisa dianggap lumrah. Orang yang tak disenangi seolah harus dihabisi dengan dibunuh.
Bisa dibayangkan betapa buruknya masa depan bangsa ini bila sikap dan watak semacam itu terus dikondisikan dalam Pilpres maupun Pilkada. Hanya untuk kepentingan lima tahun, masa depan bangsa dikorbankan. Predikat bangsa ramah dan santun rela diubah menjadi bangsa beringas, tidak mengenal persahabatan selain kelompoknya. Inikah yang kita mau?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H