Bagaimana mendefinisikan kebenaran?
Kebenaran bersifat tergantung, atau kebenaran karena ada kepuasan, atau ada suatu pemaksaan halus, terstruktur, dan berulang terhadap pikiran demi menerima kebenaran.
Manusia mempercayai kebenaran terkadang berdasarkan kepuasan, tanpa terlebih dahulu mengolah informasi, kepuasan tercapai, berarti kebenaran informasi tersebut bersifat mutlak.
Kepuasan menihilkan rasionalitas, pada tahap ini, kepuasan tersebut beraroma kebencian. Demi kebencian terhadap seseorang, lalu mendengar informasi tentang kejelekan seseorang yang dibenci (bukan melihat dengan mata), dan demi kepuasan pula, kita menganggap informasi tersebut sebagai kebenaran.
Apa masih bisa disebut sebagai kebenaran?
Kebenaran informasi tentang kejelekan seseorang yang dibenci tersebut, disebarkan secara berulang-ulang, masif, dan tersistematis. Pendengar yang ingin puas oleh informasi tersebut, ingin membenarkan kebenaran informasi tersebut. Kebenaran pun menjadi milik sekelompok orang.
Ada juga kebenaran berdasarkan kepuasan oleh sebab kesukaan terhadap seseorang. Informasi yang dilebih-lebihkan tentang kebaikan seseorang, dianggap sebagai kebenaran. Sama bermasalahnya dengan kebenaran didasarkan oleh kebencian.Â
Apa kebenaran tersesat?
Status kebenaran berdasarkan kepuasan oleh kebencian dan kepuasan oleh kesukaan, bisa dianggap sebagai status sementara. Bersifat sementara, sebab kepuasan dapat berubah oleh keinginan, lingkungan, dan lain-lain.
Mungkin kebenaran itu dinamis, berubah sesuai keinginan. Lebih tepatnya kebenaran menanggapi keinginan, atau justru keinginan mewujudkan kebenaran.Â
Kita, sebagai makhluk berakal dan berkeinginan, terlalu cepat mengolah informasi yang dibaca, didengar, dilihat, dirasa, dan disentuh. Tanpa mencari tahu, informasi sudah dianggap sebagai kebenaran. Kelemahan dasar kita sebagai manusia rata-rata, terpuaskan atau dipuaskan oleh kebenaran, bukan memuaskan kebenaran.