Mohon tunggu...
Yordin Seni
Yordin Seni Mohon Tunggu... Freelance -

Murid Baru

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Belajar Melepaskan

29 April 2019   17:49 Diperbarui: 29 April 2019   18:20 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Eksistensi manusia terpola oleh ambisi yang sama. Ambisi yang bersifat primordial: Kekuasaan. Eksistensi berdasarkan ambisi akan kekuasaan telah membentuk peradaban manusia menindas dan tertindas. Manusia menindas, tidak berarti kuat. Manusia tertindas, tidak berarti lemah. 

Manusia menindas, seolah-olah kuat. Demi menutupi kelemahan, manusia pun menindas. Kelemahan tersebut ialah kesepian. Manusia menindas demi menambal kesepian yang memberi lubang pada eksistensinya. 

Eksistensi manusia menindas akan mengeras di kulit, tetapi rapuh di daging. Eksistensi tersebut berlubang oleh kesepian. Rongga yang kosong, diisi dengan menindas.

Manusia tertindas, seolah-olah lemah. Kelemahannya ada pada keraguan. Keraguan pada potensi untuk menyeimbangkan skor. Eksistensi manusia tertindas, lunak di kulit, kenyal di daging. Keraguan melenturkan eksistensi yang sebenarnya keras. 

Manusia menindas menuliskan peradaban. Peradaban manusia lebih banyak mengagungkan karya manusia menindas, tanpa menyebut eksistensi manusia tertindas. 

Eksistensi manusia-manusia tertindas hilang dalam buku peradaban. Statistik pun tidak akan menghitung jumlah eksistensi tersebut.

Peradaban manusia menindas, peradaban yang telah mengkhianati eksistensi manusia tertindas, padahal eksistensi manusia tertindas adalah balok penyangga peradaban itu sendiri.

Peradaban bergerak mengikuti arah kekuasaan. Kekuasaan sejatinya adalah milik purba. Kekuasaan memaksa peradaban untuk meninggalkan eksistensi manusia tertindas.  Peradaban memang bergerak pada rel perubahan, tetapi lokomotif yang dipakai adalah lokomotif milik purba.

Manusia menindas dengan kekuasaan di tangan kanan, menindas manusia tertindas. Manusia tertindas pasrah pada kekuasaan. Manusia menindas senang mengisi rongga kesepian dengan bunyi teriak manusia tertindas. Manusia tertindas sebenarnya sedang melakukan dosa, sebab keraguan terhadap potensi dari eksistensi manusia, memunculkan penindasan oleh manusia-manusia penindas yang sebenarnya lemah. Menghadirkan penindasan terhadap diri, bisa disebut sebagai dosa.

Menjadi dosa, apabila manusia tertindas pasrah terhadap peradaban manusia menindas. Keraguan terhadap potensi sebagai manusia merdeka, sama artinya dengan menyangkal eksistensi diri. Penyangkalan eksistensi diri membuahkan dosa.  Dosa oleh karena menyiksa eksistensi diri. 

Manusia menindas pun berdosa. Dosa karena kesepian, kesepian menghadirkan penindasan, penindasan mengakibatkan eksistensi manusia menindas memonopoli setiap lembar halaman kisah peradaban. Manusia menindas bertanggung jawab atas pelenyapan kontribusi manusia tertindas bagi peradaban. 

Demi terwujudnya peradaban yang menyehatkan, walau masih bergerak menggunakan lokomotif purba. Kuncinya: prinsip kesetaraan.

Prinsip kesetaraan akan menyingkirkan prinsip dominasi oleh manusia menindas. Kesetaraan bukanlah anugerah. Kesetaraan adalah sebuah proses melepaskan. Kesetaraan membutuhkan manusia menindas untuk melepaskan kesepian dan manusia tertindas untuk melepaskan keraguan. 

Mari belajar melepaskan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun