Mohon tunggu...
Yordin Seni
Yordin Seni Mohon Tunggu... Freelance -

Murid Baru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sila Ketiga

20 April 2019   18:58 Diperbarui: 20 April 2019   19:37 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Pancasila.. Satu!! Ketuhanan Yang Maha Esa... Dua!!! Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab... Tiga!! Kerakyatan..." teriak lantang Hans dalam kamar mandi berukuran 4 kali 6 meter.

 "Ah, aku lupa sila ketiga" ujar Hans, sambil menepuk jidat keras-keras. Hans meringis kesakitan karena tanpa sadar telah menepuk jidat dengan gayung plastik yang cukup tebal.

Hans, anak berumur 12 tahun, ditugaskan oleh gurunya, sebagai pembaca teks Pancasila, saat upacara Senin nanti. 

"Kamu! Ya, kamu yang keriting itu! Kamu bertugas membaca teks Pancasila" tunjuk gurunya dengan nada tegas. Tanpa melalui voting terlebih dahulu, selayaknya sistem demokrasi yang dianut, Hans terpilih nyaris secara aklamasi sebagai pembaca teks Pancasila. 

Jangan tanya berapa liter keringat yang mengalir. Jika, baju seragam Hans diperas, maka akan menghasilkan 5 jerigen keringat. 

Kegugupan Hans, bukan karena tampil pertama kali di depan khalayak ramai, tetapi karena Hans sama sekali tidak mengingat Pancasila. 

Sebagai Gen Z yang hakiki, Hans lebih mengingat daftar 10 game yang paling banyak diunduh di Google  Play atau Youtuber dengan subscriber terbanyak, daripada menghafal teks Pancasila. Maklumi saja, Gen Z.

Sambil mengguyur badannya dengan air, Hans berkali-kali menabrakan kepalanya ke tembok kamar mandi. Keras.

Perkara Pancasila ternyata lebih ribet daripada menghafal lagu-lagu Ed Sheeran, yah!! Walaupun, nilai Bahasa Inggrisnya selalu dibawah 5, Hans menghafal secara lengkap lirik lagu berbahasa inggris tersebut.

Seekor kecoak yang hendak melintas, terhenti sejenak, enggan mati oleh hantaman jidat Hans. Ragu-ragu untuk maju.

Jidatnya benjol kebiruan sedikit. Sambil membayangi wajah guru yang killer, guru yang pantang mendengar kata tidak dari muridnya, Hans mencoba mengingat Pancasila. Hans berpikir, dengan ketakutan bisa memicu otak untuk bekerja lebih. Tetapi nihil, tetap saja ia tidak mengingat Pancasila, sila ketiga.

"Lebih baik, aku membolos saja" Hans berkata dalam hati. Tetapi demi membayangkan hukuman yang akan didapatkan, ia menyingkirkan rencana tersebut. Gurunya yang killer itu, akan menunjukan wujud siksa neraka yang sebenarnya, jika Hans kedapatan membolos. Mungkin saja, Hans akan dilempar ke Pulau Buru.

"Oiiii!! Siapa yang mandi di dalam? Lama banget sih!!" Teriak kakaknya, Albert, sambil menendang-nendang pintu kamar mandi. Dia hendak mandi rupanya, tetapi karena Hans kelamaan. Kesabarannya habis. Kesabarannya sudah terkuras, saat debat membela capres jagoannya.

"Ketigaaa!!! Eh!! Ia, Kak!! Aku keluar semenit lagi" balas Hans sambil melingkarkan handuk hitamnya di pinggangnya yang kecil seperti gagang sekop. Ia pernah diduga busung lapar oleh petugas Puskesmas.

Bergegas Hans keluar dari kamar mandi, demi menghindari amukan kakaknya. Sambil berjalan pelan ke kamar, ia terus merapalkan Pancasila berulang-ulang kali, tetap saja ia tidak mengingat sila ketiga.

Sesampai di kamar, belum juga berpakaian, Hans rebahan di atas kasur. Ia menggapai smartphonenya, lalu membuka pola kunci, dan membuka aplikasi Google Chrome. Ia mengetikan pada form pencarian Google, "BUNYI SILA KETIGA DARI PANCASILA".

Ups! Capslocknya menyala.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun