Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kapitalisme, Coronavirus, dan Omnibus Law

18 April 2020   01:54 Diperbarui: 18 April 2020   02:29 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembukaan paksa hutan tropis untuk perkebunan monocropping skala besar memutus rantai ekologi (sumber: phys.org)

Sambil menuliskan ini, dengan kerendahan hati saya menyampaikan respek setinggi-tingginya pada pihak-pihak yang tengah berjuang menyelamatkan umat manusia dari ancaman pandemi Virus Corona, sehormat-hormatnya.

Namun di sisi lain terbersit kegundahan, jika semua pageblug ini berakhir (dengan penuh harap!.pen) saya bertanya-tanya, apakah kemudian dunia akan berjalan seperti biasa? 

Jalanan akan kembali macet, sawit-sawit bermunculan di hutan-hutan tropis, alat berat kembali menghempaskan debu dari lubang-lubang tambang, mall akan penuh sesak kembali, perdagangan satwa liar kembali marak, tsunami investasi akan kembali dipuja-puja untuk masuk? Seperti jamaknya  yang terjadi pasca bencana besar di negeri ini, semua akan lupa apa yang menjadi pangkal bencana. 

Apakah para ekonom dan politisi akan bahu-bahu ngotot berargumen bahwa bencana adalah eksternalitas dari pembangunan, bencana tidak ada hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi, dan bahwa teknologi modern sekali lagi menang atas alam?

Herman Daly, seorang ekonom ekologis  mengatakan bahwa manusia saat ini hidup dalam dunia yang sudah penuh sesak oleh kepentingan antropogenik sehingga ruang bagi sistem lain yakni ekologi  (nature) terampas. Ketidakseimbangan ini memunculkan ketegangan karena alam juga menuntut ruang, dan Corona Virus bisa jadi satu indikasi bahwa saat ini alam sedang melakukan kickback atau memukul balik manusia untuk mengambil kembali hak atas ruangnya. 

Secara kebetulan, saya mendapat bacaan dari buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme karya Fred Magdoff dan John Bellamy Foster (2017) yang pada bagian pengantarnya juga menyitir "Teorema Ketidakmungkinan" dari Herman Daly yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mungkin bisa tumbuh secara tidak terbatas dalam lingkungan yang terbatas. 

ini berangkat dari kritiknya terhadap mustahilnya memperluas modus produksi  dan konsumsi rakus gaya AS ke wilayah lain dunia karena dunia telah berada di di ambang batas daya dukungnya. 

Namun apa yang terjadi di dunia saat ini, baik di negara kapitalis utama (core capitalism) sampai kapitalisme pinggiran (peripheral capitalism) seperti Indonesia dan negara miskin lain, pertumbuhan justru digenjot, eksploitasi sumber daya ditingkatkan, atau neraca ekspor harus dipacu. Mitos pertumbuhan diabaikan seolah dunia masih penuh dengan sumber daya bagi 7 milyar orang lebih saat ini.

Sulit sekali untuk mengingatkan kembali bahwa kapitalisme yang memuja produksi dan konsumsi tanpa batas (bukan berdasarkan kebutuhan) dan akumulasi kapital sebesar-besarnya adalah sumber masalah pada lingkungan dan manusia saat ini, bukan solusi. Harari dalam bukunya Homo Deus (2018) menyampaikan kembali bahwa salah satu ancaman terbesar bagi ras manusia saat ini adalah virus-virus baru yang tak diketahui dari mana asalnya. 

Dan kita telah menyaksikan bahwa makin lama, kekuatan virus ini makin kuat, pun globalisasi semakin memudahkannya karena interaksi ruang antar negara sudah sangat tipis bahkan hampir tidak ada. Sejak SARS, Flu Burung, Ebola, dan Flu Babi kekuatan mematikannya makin besar, dan saat ini Corona menelanjangi manusia bahwa kita tidak siap dan tidak mampu mengatasinya (setidaknya menghabiskan energi besar secara global kalaupun bisa ditangani) dan kesemuanya berhubungan dengan satwa. 

Artinya, ada interaksi antara manusia dan non-manusia yang seharusnya tidak terjadi, seperti layaknya pada masa sebelum ada domestikasi satwa dan perdagangan satwa.

Saat ini satwa tak hanya berinteraksi dengan manusia melainkan berebut ruang dengan manusia. Alokasi modal alam yang seharusnya untuk satwa liar terserap habis untuk ekonomi manusia (Zcech dan Daly 2017) dan karena seluruh elemen ekologi saling terhubung, hilangnya satu rantai dalam siklus alami satwa akibat campur tangan manusia menciptakan celah yang akhirnya memukul balik manusia. 

Kekhawatiran saya, bila Corona mampu teratasi, manusia kembali jumawa seolah telah menang berkat teknologi dan sains. Padahal sains selalu berada di belakang nature, sains hanya menemukan rahasianya, sumber pengetahuannya ada di alam. 

Merusaknya tanpa memahaminya terlebih dahulu adalah awal kehancuran, dan apabila di medan perang, menghadapi musuh yang kita tidak ketahui sebelumnya adalah bencana, setidaknya ilustrasi Sun Tzu dalam Art of War telah mengajarkan itu. 

Ke depan entah apa lagi yang akan muncul (dengan asumsi kelakuan manusia tidak berubah), dan apakah sains sudah tahu bagaimana akan menghadapinya?

Saatnya mawas diri dan berhenti sejenak

Momen perang global melawan pandemik ini mestinya jadi kesempatan bagi para pemimpin dunia dan kita selaku ras manusia untuk berhenti sebentar, merendahkan hati di depan alam, untuk tidak berlaku business as usual seperti tidak terjadi apa-apa. Jumlah 5000 atau 8000 yang tewas bukan hanya statistik, mereka korban dari kerakusan global dari sistem produksi kapitalisme dan konsumerisme gila-gilaan di seluruh dunia. Saatnya untuk menanggalkan keangkuhan kita dan meninggalkan mitos pertumbuhan yang sesat. 

Tentu suatu hal yang konyol ketika negara miskin harus meningkatkan angka pertumbuhannya sementara negara-negara yang sudah maju dan menghabiskan energi maksimal juga ikut meningkatkan (atau setidaknya mempertahankan) angka pertumbuhan ekonominya. 

Ini ibarat sebuah balapan antara becak melawan Formula 1 yang pemenangnya niscaya sudah kita ketahui, jikapun becak akan menang, entah kapan dan (sementara itu) selama balapan itu, sumber daya dunia sudah defisit. Ini baru dinamakan kiamat sudah dekat.

Dengan kegundahan seperti itu, di tengah begitu risaunya kita di Indonesia dengan tingkat persebaran virus yang makin meluas tak terkendali, sistem pelayanan kesehatan sudah limbung, ketidakpercayaan pada pemerintah, rekan sosial melemah, dan ekonomi akar rumput roboh,terindikasi bahwa salah satu menteri utama di kabinet justru sedang wakuncar dengan Bank Dunia dan IMF untuk mendukung percepatan implementasi Omnibus Law (bisnis.com 16 Februari 2020). 

Seperti telah dibahas oleh banyak pihak dari beragam disiplin, omnibus law adalah instrumen untuk percepatan pertumbuhan, akumulasi investasi berbasis industrial dan cara cepat untuk mendapatkan pendapatan bagi negara. Watak regulasi ini adalah pro-modal dan pro-utang yang berimplikasi langsung pada sumber daya alam baik di darat maupun di laut. 

Jika Omnibus Law tetap dilaksanakan, maka sumber daya alam kembali akan diusik, ketegangan antara human-nature akan kembali menguat. Di sisi lain sistem layanan kesehatan masih lemah, sistem mitigasi risiko lemah, penegakan hukum timpang, legitimasi terhadap pembuat kebijakan rendah,dan sistem integrasi sosial masyarakat gampang retak.

Dari kacamata studi bencana, ini sama saja dengan membesarkan ancaman dan meningkatkan kerentanan. Rumus bencana relatif sederhana, cukup tingkat ancaman dikalikan tingkat kerentanan, lalu dibagi kapasitas. 

Ancaman dari terusiknya alam sudah jelas meningkat karena Omnibus Law, kerentanan dari tata laksana mitigasi dan respon bencana tinggi karena sejak lama kita tidak pernah membangunnya secara serius, serta kapasitas yang entah ada di mana, ujungnya sudah pasti bencana yang berdampak besar yang akan meruntuhkan konstruksi ekonomi kapitalis berbasis investasi dan utang, dan (apesnya) utang akan tetap ada. Kapitalisme bencana seperti dikonsepsikan oleh Naomi Klein  dalam Shock Doctrine (2007) menemukan momentum yang tepat,di tengah semua orang terfokus energi dan perhatiannya, Omnibus Law justru jalan tanpa koreksi,  bencana akan menjadi alasan untuk kapital untuk masuk lebih deras dan menghancurkan manusia dalam struktur kelas rendah dan negara terlemah.

Oleh karena itu, setidaknya terdapat empat hal yang mesti dilakukan pasca tertanganinya pandemi ini. Pertama, secara berani menetapkan untuk menghentikan pertumbuhan sebagai acuan ekonomi. Saatnya Indonesia mempertimbangkan opsi economic -degrowth  atau  tidak mengejar pertumbuhan ekonomi sebagai acuan dengan mengoptimalkan kembali pemenuhan kebutuhan sumber daya secara lokal-nasional sesuai kebuhan dalam negeri dan surplus sebagai bahan ekspor, singkatnya mengimplementasikan ekonomi berbasis keberlanjutan sumber daya.  

Sejak pandemik terjadi, secara tidak sengaja dunia memberlakukan economic de-growth dan hasilnya sebagian kualitas lingkunga membaik. 

Dalam tingkat praktis yang paling kontekstual bagi Indonesia, tidak memaksakan penetapan Omnibus Law sebelum ada kajian akademis multidisiplin yang memadai  dan bermuatan risk-based mitigation untuk dijadikan kebijakan dan produk hukum. Kedua, lebih melakukan praktik conserve terhadap sumber daya alam hayati di seluruh wilayah Indonesia daripada eksploitasi besar-besaran. Seluruh dunia mengalami goncangan, negara yang masih memiliki tingkat keamanan pangan dan sumber daya lah yang akan mendapat  kekuatan dalam ekonomi politik, dan Indonesia berpeluang membangun competitiveness dari sini tanpa harus mendasarkan diri pada indsutri ekstraktif berbasis investasi dan utang.

Ketiga, belajar dari Cina, Vietnam  dan Kuba bahwa kunci sukses mereka keluar dari krisis adalah kepercayaan yang tinggi pada pemerintah,  tindakan yang cepat oleh penguasa sebelum keresahan sosial terjadi, dan kepercayaan pada sains untuk menyelesaikan masalah. Indonesia pasca pandemik diharapkan memperbaiki tata laksana mitigasi risiko masif seperti ini secara terlembaga. 

Keempat, dalam periode terakhir kepemimpinan, suatu penghargaan dan citra positif pada pemimpin adalah jika mampu mengantar seluruh bangsa keluar dari krisis pandemi dan bencana dan mengajak bangkit di atas kekuatan sendiri, bukan dengan gelimang infrastruktur dan tabungan negara yang besar namun rapuh karena utang luar negeri. Harapan kita tak ada beban bagi negara dan warga negara harus menanggung utang besar sementara sumber daya habis.

Namun jika tetap berkeras dan tidak belajar dari Corona secara rendah hati Indonesia sedang menggali kuburnya sendiri. Semoga bangsa ini dilindungi dan dijauhkan dari keputusan-keputusan yang salah oleh pemimpin negeri (ll)

Note: Tulisan ini merupakan versi pertama dari artikel yang dimuat di Koran Tempo 31 Maret 2020 di https://kolom.tempo.co/read/1325841/kapitalisme-rakus-dan-wabah-corona/full&view=ok 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun