Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Antara Status Bencana, Pakar, dan Media Sosial

22 Agustus 2018   02:14 Diperbarui: 22 Agustus 2018   18:24 3580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

a) pendidikan yang didapatkan;
b) bakat yang tumbuh dari pembelajaran dirinya selama menjalani suatu aktivitas tertentu;
c) pengalaman yakni jam terbang yang memadai untuk mengerti subjek yang ia bicarakan; dan
d) afirmasi atau pengakuan dari rekan yang bekerja atau beraktivtas di bidang yang sama. 

Kombinasi keempatnya akan memberikan keyakinan pada kita bahwa apa yang disampaikannya adalah "relatif" akurat dibandingkan orang lain yang tidak memiliki kombinasi keempat aspek tersebut. 

Maka apabila dalam beberapa waktu terakhir ada pendapat yang menyatakan bencana ini berhubungan dengan kehendak Yang di Sana, desakan menetapkan bencana nasional, atau yang terakhir, ajakan tobat nasional. 

Apakah pernyataan itu perlu kita masukkan pikiran kita dan tanggapi? Ya lihat saja dari keempat aspek tersebut, apakah memenuhi syarat untuk kita "percaya" omongannya? Terlebih apakah kita tidak malu menge-"share" pernyataannya ke publik lebih luas seakan Anda mendapat justifikasi dari orang besar, orang tahu, atau pakar?  

Jangan-jangan kita mengajak orang banyak menuju kesesatan yang lebih parah.Lalu bagaimana dengan pernyataan pejabat BNPB misalnya sebagai agensi utama negara dalam manajemen bencana, BMKG dengan peringatannya, LIPI dengan prediksinya, atau para pakar-pakar geologi, hidrologi maupun vulkanologi yang tersebar di kampus-kampus bereputasi, atau bahkan dari NGO yang sudah berjibaku dengan ratusan bencana di dunia? 

Apakah mereka memenuhi empat pembeda  di atas? Jika iya, kenapa masih berpolemik? Jika tidak, apakah ada yang lebih dalam empat indikator tersebut yang bisa memberi masukan langsung pada agensi-agensi  dan pakar-pakar ini agar mengeluarkan pendapat atau tindakan yang berbeda?

Saya sendiri jelas bukan pakar, pendidikan saya bukan kebencanaan, bakat tidak mengesankan, pengalaman di kebencanaan cuma secuil, apalagi pengakuan dari sejawat, dikenal saja tidak. 

Jadi saya hanya menjadi yang mengamati dari jauh dan mendengar dari para pakar bagaimana yang terbaik bagi penyelesaian masalah bencana di Lombok. 

Saya hanya geregetan saja. Jadi jangan tanya-tanya saya soal status bencana, kecuali jika motif Anda adalah sekedar menghabiskan waktu bersama saya sambil ngopi. Tentu akan saya terima dengan senang hati untuk bicara apa saja.

Namun dari kasus arti penting pakar ini, kita dapat belajar tentang bagaimana kita menyikapi dan bertindak khususnya di media sosial ataupun dunia nyata serta bagaimana penerapannya  pada masalah-masalah lain yang sedang dihadapi oleh negara ini (karena setidaknya 5 tahun kita menemui ini di segala isu, bayangkan gemasnya!).

Dengar dari yang tepat, dari yang tahu, dari yang belajar soal itu, berbakat karena tekun, pengalamannya segudang, dan diakui kepakarannya oleh rekan sejawatnya. Maka hari Anda dan linimasa kita akan indah setiap hari. Salam tangguh bencana (ll)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun