Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tahun Kekalahan Petani dan Nelayan, Sebuah Refleksi Tahun 2017

23 Desember 2017   01:51 Diperbarui: 23 Desember 2017   01:56 4718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Pulau Pari saat menghadiri sidang kriminalisasi terhadap pengelola Pantai Pasir Perawan di PN Jakarta Utara (Dok. Forum Peduli Pulau Pari 2017)

Tak salah rasanya ketika pada suatu diskusi seorang penggiat reforma agraria senior menyatakan bahwa biasanya di tahun ketiga pemerintahan (siapapun itu) semua janji populis yang dijual semasa kampanye (baca: presiden) akan dilupakan. Tahun politik katanya alias tahun menyiapkan jualan berikutnya dan akan dilupakan lagi nanti di tahun ketiga. 

Lihatlah janji Reforma Agraria pemerintahan saat ini, ke manakah dia? Janji menciptakan lahan baru bagi petani digemborkan namun di lapangan justru tanah-tanah petani dan nelayan digusur baik untuk kepentingan korporasi maupun infrastruktur oleh negara dengan justifikasi kepentingan umum yang mental-mentul pengertiannya. Pertanyaannya: Kenapa harus menggusur tanah nelayan dan petani? dan kenapa kembali peradilan dan aparat keamanan jadi musuh petani dan nelayan?

Berkaca pada kasus konflik agraria termutakhir di tahun 2017 yakni konflik Semen Indonesia versus petani Kendeng, kemudian konflik tanah di Pulau Pari Kepulauan Seribu antara korporasi dan nelayan, kasus Surokonto Wetan Kendal antara petani dengan Perhutani, kasus tambang pasir laut di Belitung, nelayan Tanjung Balai Karimun yang kehilangan lautnya oleh sertifikat tanah (di laut??) milik pengembang property, dan yang terakhir ketika petani Paliyan Kulonprogo digusur proyek New Yogyakarta International Airport (NYIA) serta rentetan kasus-kasus lain yang berakhir sama. 

Semua konflik agraria berakhir dengan kekalahan petani dan nelayan di tangan penghakim di pengadilan. Bukan pihak yang kuat yang diberi sanksi melainkan petani dan nelayan miskin yang harus mendekam di balik terali. 

Jika meminjam istilah dari Chomsky, praktik ini bisa dikategorikan sebagai kriminalisasi kemiskinan yakni penetapan sanksi hukum pada pihak yang berupaya mempertahankan hidup dari tekanan kemiskinan struktural yang dialaminya sebagai dampak diabaikannya hak mereka sebagai warga negara. Dihukum karena miskin  yang membuat warga tak punya tanah, tak punya sertifikat, tak membayar retribusi, mengganggu korporasi, dsb.

Menggunakan data dari Konsorsium Pembaharuan Agraria tahun 2016 lalu, jumlah konflik agraria tahun 2016 berlipat dari tahun sebelumnya dari 252 kasus di tahun 2015 menjadi 450 kasus di tahun berikutnya. KPA mencatat terjadi 450 konflik agraria dengan total luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 keluarga. 

Sektor terbesar dimana konflik terjadi adalah sektor perkebunan (36,22%), properti (26,00%), infrastruktur (22,22%), kehutanan (5,56%), pertambangan (4,67%), pesisir dan laut (2,22%), migas (1,56%) dan pertanian (1,55%). Dari total konflik yang terjadi, aktor yang terlibat dalam konflik agraria yang terbanyak adalah antara warga dan swasta (38,22%), warga dan pemerintah (22,44%), antar warga (14,44%), warga dan BUMN (13,56%), TNI dan Polri (5,78%) dan lainnya mencapai 5,56%. 

Secara sebaran lokasi terlihat tak ada wilayah yang tak tersentuh konflik agraria baik yang tradisional seperti hutan sampai yang jarang ditilik orang yakni pulau kecil seperti kasus Pulau Pari atau Gili Sunut (NTB) beberapa tahun yang lalu.

Masih dari data KPA, sampai tahun 2016 bentuk fisik yang dialami korban konflik agraria adalah a) kriminalisasi sebanyak 177 orang, b) meninggal 13 orang, dan c) penganiayaan 66 orang dimana pelakunya terbanyak adalah aparat keamanan resmi baik polisi dan tentara, jenis pelaku lain adalah pihak keamanan perusahaan, serta yang tipe terakhir adalah warga sendiri baik dari lokasi yang sama maupun dari luar lokasi (preman). 

Kondisi ini semakin menguatkan posisi negara sebagai aktor utama kekerasan dalam sengketa agraria baik yang menyangkut kepentingan negara secara langsung maupun tidak langsung dimana warga secara komunal berhadapan dengan pihak swasta maupun BUMN. Namun "negara" di sini bukanlah dipahami sebagai satu kesatuan monolith yang tersentral melainkan formasi-formasi negara dimana masing-masing lembaga di level yang berbeda memiliki pilihan tindakan sendiri-sendiri yang tak terpola seragam.

Hal ini menunjukkan bahwa bangunan "negara" Indonesia sampai saat ini adalah negara yang sedang dalam proses membangun dirinya (in the making).

Pengingkaran konstitusi (UUD 1945 dan UUPA 1960)

Bila ditilik dari kasus-kasus di mana petani dan nelayan kalah di pengadilan, kekalahan mereka ditentukan oleh pilihan penggunaan aturan yang bersifat sangat spesifik dan sektoral baik soal aturan kawasan, property pribadi, soal retribusi, dan pasal-pasal lain yang dicuplik sana-sini sehingga pas untuk menyeret petani dan nelayan ke sel dingin tahanan. 

Regulasi digunakan untuk menghukum yang lemah dan bukan untuk menemukan substansi persoalan yang panjang dan melibatkan banyak perspektif di luar hukum baik aspek sejarah, budaya, sosiologis, politik masa lalu bahkan psikologi massa di masa lalu. Pasal-pasal algojo ini bersifat ahistoris karena hanya meletakkan argumennya pada bukti yang tersedia atau bisa diamati dengan indera manusia dan tinggal menemukan kecocokannya dengan isi pasal. Pendekatan positivistik dan legal formal ini sengaja membutakan diri pada informasi-informasi dari disiplin lain. 

Dengan justifikasi "bebas nilai" hukum dibuat buta, sumber hukum bukanlah moral melainkan pasal. Saat Belanda menerapkan hukum kolonial atas wilayah nusantara yang belum memiliki sistem hukum yang integral, Belanda juga melakukan praktik hukum atas justifikasi ini. Apakah itu adil bagi orang Indonesia, tentu tidak. Namun hukum adalah produk politik, dan penguasa adalah penentu setiap tindakan politik, dan tentu saja legal. Legal iya, adil tidak. Legal iya, legitimate tidak. 

Rasanya janggal jika Republik Indonesia masih menghantamkan argumen hukum legalis positivistik terhadap kaum tani dan nelayan yang jelas sudah ada sebelum negara ini terbentuk dan hukum dirumuskan. Menetapkan hukuman dengan instrumen legal formal ke pihak yang selama ini tidak difasilitasi hak konstitusinya secara penuh tak ada bedanya dengan tindakan Belanda menghukum warga nusantara dengan hukum Belanda.

Bila menilik ke belakang, kita beruntung bahwa pendiri bangsa ini bukanlah orang-orang yang alpa pada hak konstitusi warganya, justru hal tersebut menjadi rationale terbesar untuk merdeka. Motif terkuat dari kemerdekaan adalah membebaskan warganya dari kekuasan dan hukum kolonial melalui pembaharuan hukum dan kekuasaan ekonomi dan politik demi mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama. 

Dari sanalah pernyataan suci pembukaan UUD 1945 dirumuskan dan di pasal 33 dinyatakan dengan tegas bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Rumusan ini harus dibaca utuh bahwa seluruh sumber agraria di wilayah RI (tak terkecuali, yang merupakan hadiah dari alam) dikuasai (tapi tidak dimiliki oleh negara) dan ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. 

Maka apabila negara memberi konsesi melalui rejim ijin dan tidak mendengarkan kepentingan rakyat yang terampas penghidupannya maka negara sudah melakukan pengingkaran karena pada prinsipnya negara tidak bisa memberikan ijin konsesi dengan menyingkirkan warga karena negara bukan pemilik tanah sesuai prinsip Hak Menguasai Negara dalam UU Pokok Agraria 1960. 

Hak Menguasai Negara (HMN) bukanlah kepemilikan seperti didefinisikan oleh hukum perdata melainkan kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Artinya rakyat yang memberi mandat kepada negara untuk mengelola sumber daya agraria demi kemakmuran rakyat itu sendiri dan HMN ini tidak dapat dikurangi atau ditiadakan oleh pemberian hak atas tanah (Gunawan 2017)

Undang-undang Pokok Agraria 1960 memiliki semangat yang sama dengan apa yang diucapkan Hatta sebelum Indonesia merdeka bahwa "Pada dasarnya, tiap-tiap penduduk dibolehkan mempunyai milik tanah di kota untuk tempat kediamannya atau tempat usahanya, tetapi mempunyai tanah sebagai obyek perniagaan tidak dibolehkan" Bagi Hatta, sumber kemelaratan rakyat selama ini adalah penguasaan tanah yang terlalu besar oleh sedikit orang, oleh karena itu praktik seperti pada jaman feodal tak bisa diulangi. 

Tanah adalah milik masyarakat -dan bukan komoditas- yang dikuasakan oleh negara untuk mengurusnya, maka pemanfaatan termasuk oleh perusahaan swasta harus seijin masyarakat (Luthfi 2011). UUPA 1960 diterbitkan dengan semangat untuk menghapus ketimpangan penguasaan tanah oleh partikelir Belanda dan tuan-tuan tanah ciptaan sistem agraria kolonial. 

Substansi UUPA adalah negara memiliki wewenang untuk mengendalikan hak atas tanah dan air namun tidak memiliki; Hak perorangan diakui namun penjualan tidak diperkenankan, serta; Tanah memiliki fungsi sosial, penggunaan tanah harus mendapat persetujuan masyarakat. Sayangnya baik pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria 1960 justru dibenamkan sejak Orde Baru dan diganti dengan regulasi sektoral yang justru memacu perniagaan hak atas tanah dan perniagaan tanah itu sendiri. 

Kebanyakan irama dalam regulasi sektoral ini ramah investor namun kejam ke warga karena proses pengabaian warga lokal banyak terjadi, peta-peta dibuat di atas meja di kota, bukan dengan masyarakat setempat, teritorialisasi gencar dilakukan dengan penciptaan "kawasan" atau "zona-zona" yang dibuat berdasarkan abstraksi atas kondisi empirik bahwa sudah ada tata kelola yang terlebih dahulu eksis di masyarakat. 

Contoh kongkritnya adalah anehnya istilah "desa dalam kawasan hutan" yang menggunakan logika terbalik karena desa ada terlebih dahulu daripada penetapan batas hutan, maka yang lebih tepat adalah "hutan dalam wilayah desa." Di sinilah konflik agraria banyak dimulai sehingga nuansa ekonomi politik pro-pasar jelas mendominasi dan secara langsung mengingkari amanat konstitusi dari pendirian negara ini.

Reforma Agraria sejati,bukan sertifikasi.

Pada saat ini dimana hukum legalis positivistik berselingkuh mesra dengan ekonomi politik akumulatif kapitalistik maka bisa dikatakan resolusi atas konflik agraria yang adil bagi petani dan nelayan tak akan tercapai tanpa terobosan yang radikal. Warga Pulau Pari, warga Surokonto, Tanjung  Balai Karimun dan petani Paliyan kalah oleh pengadilan meski regulasi banyak mendukung. 

Jikapun hukum (oleh MK) memenangkan warga seperti kasus Petani Kendeng namun di tingkat politik daerah petani tetap kalah. Kala praktik-praktik penguasaan sumber daya agraria layaknya kartel ini terlihat jelas dimana pengadilan berwarna abu-abu sementara elit bisnis dan elit penguasa tak bisa dibedakan maka jalan menuju solusi yang dihadirkan adalah menghidupkan kembali reforma agraria dan prinsip-prinsip utama dalam UUPA 1960 sebagai pelaksanaan UUD 1945 pasal 33 dalam penataan pertanahan di seluruh lanskap baik dataran tinggi (upland), dataran rendah (hinterland) maupun pesisir (coastal) dan pulau kecil (small island). 

Reforma agraria bukanlah solusi melainkan jembatan yang mendasari terjadinya perombakan penguasan tanah agar tercipta keadilan sosial.

Namun, penting dicatat bahwa reforma agraria yang dilaksanakan adalah reforma agraria yang sejati, bukan Reforma Agraria (RA) yang selama ini menjadi jualan politik tiap presiden berupa bagi-bagi sertifikat. Reforma Agraria sejati menurut "guru agraria" Indonesia, Wiradi (2017) didasarkan pada empat hal yakni:

 a) RA hendak menghilangkan atau mengurangi ketimpangan struktur penguasaan dan pemanfaatan tanah demi keadilan dan kepentingan petani  kecil dan buruh tani tak bertanah; 

b) Pelaksana RA bukan kerja rutin yang bisa dititipkan di lembaga rutin seperti Kemendagri atau Menko Ekuin melainkan bersifat ad hoc dan memiliki batas waktu; c) Tahapan awal dari RA adalah "registrasi" tanah untuk mengetahui tingkat ketimpangan, sementara "sertifikasi" adalah yang terakhir, dan d) Tanah objek RA adalah surplus land alias tanah yang dikurangi dari kepemilikan yang melampaui batas maksimum.

Implikasi lain, seharusnya RA justru menyasar pada daerah-daerah di mana konflik agraria terjadi karena akan aneh apabila RA tidak menyentuh daerah yang berkonflik agraria. Apa yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi dengan membagi-bagi sertifikat tanah tentu jauh dari gambaran pelaksanaan RA yang sejati karena pada dasarnya tanah tersebut memang sudah dikuasai masyarakat dan tidak ada konflik atasnya. 

Penetapan target 9 juta hektar pun juga tidak menunjukkan implementasi RA sejati karena hanya memanfaatkan hutan negara dan bukan lahan-lahan surplus atau lahan-lahan absentee (tanah dimana pemiliknya tidak berada di tanah tersebut) yang tersebar baik di dataran tinggi sampai pulau kecil seperti di Pari.

Maka untuk menemukan suatu solusi atas persoalan konflik agraria yang akut, terdapat beberapa saran: Pertama, adanya kemauan politik yang serius untuk memformulasikan Reforma Agraria sejati melibatkan dunia akademis, masyarakat sipil, organisasi petani dan organisasi nelayan; Kedua, moratorium pemberian hak atas tanah maupun perairan di wilayah-wilayah yang masih mengalami konflik agraria untuk dilakukan registrasi dan eksaminasi atas hak-hak yang sudah ada.

Ketiga, memasukkan tanah-tanah yang masuk kategori tanah objek agraria dalam program RA nasional yaitu tanah kelebihan batas maksimum, tanah absentee/guntai, tanah eks-swapraja, dan tanah yang langsung dikuasai negara (sesuai PP 224 Tahun 1961).

serta: Keempat, reformasi peradilan dan pembersihan peradilan dari elite capture. Tanpa mengatasi persoalan ketimpangan penguasaan tanah dan reformasi hukum maka ketidakadilan akan tetap ada. (ll)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun