Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saber Pungli Mulai Salah Sasaran

7 Juni 2017   16:00 Diperbarui: 9 Juni 2017   16:28 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena konteks permasalahan penangkapan nelayan ada pada konteks pariwisata, maka UU Pariwisata bisa juga digunakan untuk melihat apakah yang dilakukan oleh pengelola wisata Pantai Perawan merupakan praktik pungutan liar atau pemerasan seperti dikenakan pada ketiga warga Pulau Pari tersebut oleh tim penyidik. UU RI Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pasal 19 secara eksplisit menyatakan bahwa "setiap orang dan/atau masyarakat di dalam dan di sekitar destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas baik sektor kerja, konsinyasi, dan pengelolaan. Kata "prioritas" menunjukkan bahwa UU Pariwisata menyadari bahwa warga lokal lah yang paling berhak mengelola obyek wisata dan dikarenakan banyak masyarakat yang ikut menikmati manfaat destinasi wisata, maka adalah sah dan sudah seharusnya bila warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mengembangkan potensi sumber daya alamnya menjadi desa-desa wisata, pantai kelola masyarakat, selfie spot, sunset point, dan lain sebagainya mendahului instansi pemerintah untuk membangun prasarana destinasi wisata dan dijadikan salah satu pemasukan bukan pajak oleh Kementerian Pariwisata. Dalam perundangan yang sama yakni pasal 22 masyarakat berhak mendapat perlindungan hukum dalam berusaha dari pemerintah daerah, bahkan pemerintah daerah memiliki kewenangan meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan potensi yang ada (pasal 28) dan juga seharusnya upaya pendanaan mandiri oleh masyarakat dalam bidang pariwisata justru mendapat insentif oleh pemerintah daerah (pasal 60) dan bukan justru dikriminalkan.

Persis pada konteks inilah ketiga nelayan Pari berada, ketiga orang yang ditahan merupakan pengelola Pantai Pasir Perawan yang dipercaya oleh masyarakat untuk mengelola dan merawat kawasan pantai, termasuk juga memfasiitasi dan mengatur warung-warung di pantai agar tetap berjumlah terbatas dan tidak merusak keindahan pantai itu sendiri. Kenapa mereka dipilih sebagai pengelola juga karena merekalah yang pertama kali "babat alas" atau membuka kawasan pantai Pasir Perawan dari semak pada tahun 2010 dan menjadikannya obyek wisata utama penghasil pendapatan warga Pari. Dengan kunjungan wisatawan rata-rata 3000 orang per bulan dan pemasukan sekunder juga dinikmati oleh masyarakat lain seperti pengusaha homestay, warung makan dan kelontong, pembuat kripik sukun dan agar-agar rumput laut, persewaan alat snorkling dan perahu, guide wisata, belum lagi bagi agen travel di luar pulau. 

Lalu, dimana peran pemerintah daerah cq Dinas Pariwisata? Jawabannya: Tidak ada. Tidak ada satu pun bentuk kontribusi dinas pariwisata di lokasi obyek wisata ini baik itu loket retribusi, balai informasi, atau bahkan sekedar tempat sampah bertuliskan dinas pun tidak ada. Maka jelas tidak salah ketika masyarakat meminta imbal jasa dari wisatawan bagi perawatan obyek wisata ini karena memang tidak ada subsidi ataupun kontribusi pemda dalam pengelolaan Pantai Pasir Perawan. Sekali lagi, dimana punglinya dan dimana pemerasannya?

Faktor-faktor ekstra legal

Dari kedua argumen sederhana di atas kemudian memunculkan pertanyaan lain: ada apa dengan kasus pemidanaan ketiga nelayan pengelola pantai ini? Pertama-tama, terdapat kejanggalan dimana satu hari sebelum penangkapan Tim Resmob Kepulauan Seribu tiba-tiba memasang spanduk berisikan himbauan agar tidak melakukan pungli. 

Tak jelas ditujukan ke siapa karena spanduk dipasang begitu saja di halte dermaga Pulau Pari. Kejanggalan kedua, esok harinya enam orang pengelola yang sedang berjaga di gerbang Pantai Pasir Perawan ditangkap tangan dengan alasan pungli. Ini tidak wajar karena sebetulnya tidak perlu Operasi Tangkap Tangan dengan senjata lengkap juga karena memang setiap hari pengelola bergantian berjaga di gerbang untuk membagikan tiket retribusi pada pengunjung secara terbuka, bukan tertutup dan tidak dalam posisi membahayakan semisal bersenjata. Kedua peristiwa ini tampak berhubungan jelas yakni pemasangan spanduk saber pungli, operasi tangkap tangan, lalu sangkaan pungli. Apakah rangkaian itu tampak wajar?

Atas kejadian ini, setidaknya ada dua kemungkinan yang menjadi latar belakang kejadian yakni: Pertama, kompetensi polisi dalam tim Saber Pungli Resmob patut dipertanyakan. Apakah memang memahami dasar hukum dan pengertian dari pungli itu sendiri sehingga tanpa malu memberlakukan aturan yang seharusnya ditujukan bagi birokrasi dan aparat negara (termasuk polisi juga tentunya) terhadap warga sipil? Kedua, apakah ada faktor-faktor ekstra-legal (di luar fakta hukum) yang mempengaruhi adanya tindakan penangkapan terhadap tiga orang ini? Seperti diketahui umum (karena sudah terpublikasi di media utama nasional maupun daerah.pen) bahwa saat ini warga Pulau Pari sedang berkonflik agraria dengan PT BGN sebuah korporasi yang bergerak di sektor pariwisata, meskipun konfliknya sendiri belum menjadi kasus sengketa secara legal di pengadilan. 

Konflik ini mengalir secara laten lebih dari satu dekade namun beberapa warga sudah mengalami dampak baik tekanan, somasi bahkan ada yang sudah dipidana karena didakwa melanggar masuk pekarangan tanah milik PT. Ketiga orang yang ditangkap adalah warga yang tidak setuju dengan klaim kepemilikan tanah PT dan pernah mendapat tekanan yang sama menyangkut aktivitas mereka di Pantai Pasir Perawan yang juga diklaim sebagai milik PT.

Kedua kemungkinan di atas bisa jadi salah, atau bisa juga benar, namun yang pasti kasus ini akan menjadi preseden hukum yang sangat buruk bagi daerah lain, terlebih lagi terjadi dalam konteks adanya konflik antara swasta dan warga. Akan sangat mudah orang menghubungkan penangkapan ini dengan "siapa" yang berkonflik dan "siapa" yang dibela oleh aparat negara.  Apabila ketiga orang ini divonis bersalah maka harap bersiaplah tukang parkir sampai masyarakat penggagas desa wisata di seluruh Indonesia, mereka harus siap untuk ditangkap dengan pasal pungutan liar atau juga pemerasan. 

Kondisi yang sangat kontradiktif bagi penegakan hukum, karena warga sipil yang seharusnya dilindungi oleh aparat negara dan aturan hukum justru ditangkap oleh penegak hukum dengan dasar aturan hukum yang (seharusnya) mengatur penegak hukum itu sendiri. Sungguh suatu nalar yang sulit untuk dipahami akal sehat. Jadi mohon Pak Wiranto selaku ketua tim Saberpungli menjadikan kasus ini untuk perbaikan dan introspeksi bagi tim Saberpungli sendiri. Di sisi lain, ketiga nelayan pari berhak untuk dibebaskan tanpa syarat karena dakwaan pada mereka dengan alasan pungli dan pemerasan tidak memenuhi syarat. Saya masih percaya ada polisi yang baik di Indonesia (ll)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun