[caption caption="Ilustrasi (empty room panting by Rusrick at devianart.com"][/caption]
Foto terakhir telah diturunkan dari sangkutannya, menyingkap seluruh warna polos putih di mana jejeran gambar kita pernah terpasang. Tak ada lagi warna yang pernah membuat kita begitu nyaman bergelut di ruang ini, berteriak satu sama lain dalam canda tawa. Ruang di mana seorang anak mungil tumbuh dan berkembang dalam kecerobohannya tak lagi menyapa manja, sang mungil telah tak ada lagi di sana, yang tersisa hanya ingatan yang pernah lekat padanya. Dapur yang dahulu jadi tempat kita mencoba banyak hal, sekarang bisu dan diam. Tak terasa sesak meruap ke atas dada, kelu rasa ini menahan jatuhnya air mata dari sudut mata. Tiada sanggup aku berlama di sana bersama kepiluan sedalam itu, hanya sebuah doa kuucapkan tanpa kata saat anak kunci terputar dua kali dan pintu itu menghilangkan semua gambar masa silam dari penglihatanku, “semoga seseorang asing datang dan bisa membuat rumah ini kembali tersenyum.”
“Kenapa kalian harus pergi?” Tanyaku saat itu.
“Aku tak lagi punya alasan untuk tetap di sini bersamamu, kau memiliki semua yang membuatmu bahagia. Kau tak membutuhkan kami lagi.” Jawabmu.
“Aku membutuhkan kalian, aku membutuhkan rumah untukku kembali, bersama kalian” belaku.
“Kau mungkin membutuhkan rumah untuk pulang tapi kau tak membutuhkan kami untuk pergi kan?” ujarnya kembali.
“Tapi kau tak usah pergi sekarang, biar kami yang pergi” pungkasnya.
Maka ia pergi sementara aku tetap di sana, dan mulai sejak itu kepergian dan kepulanganku tak ada artinya lagi. Tak ada bedanya saat aku harus meninggalkan rumah ini maupun membuka pintu saat kembali ketika tak ada tawa yang pecah sambil memelukku manja. Tak ada yang kucium keningnya saat meninggalkan pintu rumah. Tiada tangan kecil yang membekaliku dengan sepucuk doa dalam selembar kertas bergambar princess bertulis gaya cakar ayam “hati-hati di jalan ayah, cepat pulang. I love ayah.”
Bukan sebuah pukulan di wajah yang akan membuatku menangis, namun saat kubuka lembar-lembar kertas doa itu kembali dan membaca setiap huruf seakan itu adalah kata-kata yang keluar dari mulutmu saat ini. Air mataku tak mampu tertahan, pun saat kumenulis ini. Dalam sepi yang kudengar hanya isak kecil dan sedan yang tertahan. “Betapa ayah merindukanmu Nak!”
Di simpang terakhir sebelum rumah itu hilang dari penglihatanku, kupalingkan kembali pandangku dan berharap sebuah lambaian selamat jalan. Namun tak ada lambaian tangan, bangunan putih itu tetap bisu dan pucat seakan ikut mati bersama semangatku dalam naungan kelabu hari itu.
Untukmu kekasihku, esok atau entah nanti, seseorang akan datang dan menempati peraduan yang pernah kita bagi bersama dalam sebuah penggalan waktu. Ia akan mengisinya dan menghapus semua kisah yang terekam di setiap permukaan dinding. Ia akan memulas pucatnya rumah dengan warna baru untuk menciptakan surga kecil bagi dirinya maupun orang-orang tercintanya. Pada akhirnya rumah itu akan lupa siapa yang telah menulis sebuah cerita panjang di masa lalu dan menggantikannya dengan sebuah kisah yang lain, semoga sebuah kisah gembira.
Dan aku pun pergi tak membawa apa-apa dari rumah itu kecuali lembar-lembar kertas doa perjalanan dari si kecil bersama dengan memori yang terpatri dalam ruang-ruang ingatanku. Hanya itu yang bisa kumiliki agar aku tak tenggelam dalam kehidupan tanpa sejarah akan kalian, karena saat kehilangan kalian lah aku baru menyadari apa yang sebenarnya telah kumiliki.
Untuk itulah sebuah papan terpasang di depan rumah itu: “DIJUAL!” karena aku tahu bahwa aku tak akan kembali ke sana untuk terbunuh dalam sepi sendiri bersama semua memori itu.
(banda aceh 12-12-2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H