Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

bahasadankita Kita adalah Apa yang Kita Ucapkan

20 Agustus 2012   06:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:31 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_207695" align="aligncenter" width="450" caption="Ilustrasi (dari ozip-magazine.com)"][/caption] Makna di balik yang terucap

Lebih dari satu kali, bahkan sering sekali saya mendengar keluhan dari para ekspatriat yang kebetulan belajar Bahasa Indonesia mengenai kesulitan untuk memahami teks atau perkataan orang Indonesia ketika orang Indonesia menggunakan istilah asing yang telah di-“Bahasa Indonesia”-kan. Kata-kata seperti sosialisasi, opsi, akuntabilitas, bully, preferensi, transparansi dan banyak kata lain justru menjadi bagian paling sulit untuk dikenali ataupun diucapkan oleh para penutur asing. Keluhan lain yang sering mereka ungkapkan adalah orang Indonesia malah menertawakan mereka ketika mereka menggunakan istilah bahasa Indonesia dan struktur formal seperti yang dianjurkan oleh para ahli bahasa. Akhirnya muncul ungkapan yang sedikit bernada frustrasi dari mereka: Bahasa Indonesia yang benar itu seperti apa?

Pertanyaan ini jadi sebuah refleksi bagi saya sendiri baik selaku instruktur bahasa (pen. dahulu) maupun sebagai orang Indonesia (pen. sampai saat ini): Apa makna Bahasa Indonesia bagi orang Indonesia sendiri?

Jika bicara tentang makna bahasa maka saya memutuskan untuk berangkat dari pengertian bahasa menurut Ferdinand de Saussure bahwa bahasa adalah sistem tanda-tanda yang mengekspresikan gagasan-gagasan (dalam Arthur Berger, Media Analysis Techniques, 1982). Seorang penutur akan mengirimkan atau mengomunikasikan konsep, gagasan dan pemikiran pada penerima. Sebaliknya, sang penerima nantinya akan menafsirkan makna dari pesan-pesan tersebut, medianya adalah bahasa. Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa selain kesepakatan akan tanda yang sama,ada yang disebut mental representation yakni penggolongan konsep-konsep yang bersifat subyektif dan individual. Masing-masing orang memiliki perbedaan dalam menggolongkan konsep dan hubungan di antara semua pesan itu (Stuart Hall, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, 1997). Intinya, selain kesepakatan kedua pihak mengenai arti, ada pesan yang tidak selalu tampak ketika seseorang berbahasa, ada hal lain yang ingin disampaikan.

Dampak dalam bentuk yang kongkret tampak pada persoalan yang dikeluhkan para ekspatriat di alinea pertama tadi yaitu mengenai “siapa aku”. Dengan menggunakan bahasa asing atau istilah maupun jargon-jargon, seseorang sedang menjelaskan siapa dia sebenarnya, bahwasanya ia adalah seorang yang berpendidikan dan berwawasan. Memang makna asalinya dapat dipertukarkan dan saling dimengerti namun niatan penuturnya tidak bisa dipertukarkan. Jika dipaksakan maka akan muncul reaksi sebal seperti pada ekspatriat yang belajar bahasa Indonesia tadi. Hal itu dikarenakan bahwa pembahasaan dengan bahasa asing adalah sebuah usaha pamer yang tidak berguna karena tentu saja para penutur asli bahasa asing tersebut lebih jago daripada orang Indonesia selaku penutur asing.

Maka di permukaan sebenarnya masalah ini sederhana saja yakni usaha pamer diri namun dalam kerangka yang lebih luas justru menunjukkan kerendahan diri orang Indonesia (yang notabene berpendidikan) di hadapan simbol internasional seperti Bahasa Inggris misalnya. Hal serupa muncul dalam bentuk latahnya orang Indonesia dengan konsep sekolah berstandar internasional (yang kualitasnya tidak berbeda dengan sekolah yang tidak mencantumkan kata internasional).

Cara mengatasinya bagaimana? Bisa saja penutur itu diingatkan agar tidak perlu sok-sokan berbahasa asing, ingatkan bahwa di dalam Bahasa Indonesia sudah ada padanan kata itu. Ingatkan bahwa dia akan tampak seperti orang sok pintar alih-alih seorang intelektual. Akan tetapi bila kita melihat jauh ke dalam terdapat masalah yang sangat penting yakni orang Indonesia tidak tahu sejarahnya sendiri, dan bukankah hal ini lah yang menjadi sumber masalah di banyak bidang di Indonesia seperti ekonomi, teknologi, pendidikan, arsitektur, tata ruang dan banyak lagi?

Bahasa Indonesia adalah anak evolusi bangsa

Sudah diakui bahwa kebanyakan orang Indonesia menempatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua setelah bahasa ibu mereka masing-masing yakni bahasa sukunya. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan untuk menyatukan keragaman itu di dalam kerangka kejiwaan maupun terapan agar “seolah-olah” ada yang disebut “Bangsa Indonesia” seperti yang pernah diulas oleh Benedict Anderson (Benedict Anderson, Imagined Community, 1991). Meskipun begitu, lahirnya Bahasa Indonesia telah melalui proses panjang dan mendalam serta melibatkan sisi terdalam orang Indonesia yakni kepemilikan identitas bersama.

Seperti telah diketahui banyak orang, Bahasa Melayu merupakan dasar bagi Bahasa Indonesia dan salah satu bahasa tertua yang digunakan secara luas di nusantara. Sejak abad ke-7 (dari temuan prasasti tua seperti Talang Tuo/Bangka/686M atau Kedukan Bukit/Palembang/693M) Bahasa Melayu telah dipakai. Alasan pemakaian Bahasa Melayu ini ada empat yakni sebagai bahasa kebudayaan, sebagai bahasa perhubungan, sebagai bahasa perdagangan dan sebagai bahasa resmi kerajaan.

Bahasa Melayu kemudian berkembang luas di seluruh pelosok nusantara dan digunakan sebagai alat komunikasi penduduk antar pulau. Pencanangan bahasa ini menjadi bahasa persatuan tampak jelas pada tahun 1928 saat Sumpah Pemuda dinyatakan. Setelah melalui perdebatan antara Moh Yamin dan Sanusi Pane di Kongres Pemuda I tahun 1926 yang hendak memilih “Bahasa Melayu” atau “Bahasa Indonesia” dalam teks Sumpah Pemuda sebagai bahasa persatuan, akhirnya “Bahasa Indonesia”-lah yang dipilih. (Ari Subagyo, Masalah Utama Bahasa Indonesia, 2003)

Bahasa Melayu memiliki beberapa kondisi yang dinilai memenuhi syarat untuk menjawab kebutuhan sejarah saat itu yakni: 1. Bahasa Melayu merupakan Lingua Franca yang digunakan dalam perhubungan dan perdagangan; 2. Sistem Bahasa Melayu sederhana dan tidak mengenal tingkatan bahasa; 3. Perwakilan suku-suku di Indonesia menerima; 4. Bahasa Melayu memiliki kesanggupan untuk digunakan sebagai bahasa kebudayaan dan ilmu pengetahuan (jaririndu.blogspot.com, 2012)

Bahasa Indonesia kemudian berkembang luas dan mengambil jalur evolusinya sendiri sehingga berbeda dengan akarnya yang masih digunakan di sekitar Semenanjung Malaya. Bahasa Indonesia terus tumbuh dan hidup dengan ragam budaya nusantara maupun budaya di luar nusantara, proses yang memperkaya Bahasa Indonesia sampai saat ini.

Kembali bangga pada bahasa kita

Sebagai anak kebudayaan, Bahasa Indonesia terus berkembang dan memunculkan kata-kata baru baik yang dipengaruhi dari ragam bahasa asali nusantara maupun bahasa asing seperti Arab, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis serta bahasa asing lain. Hal ini tidak bisa dihindari karena sifat Bahasa Indonesia yang terbuka dan arbitrer (berdasar kesepakatan kedua pihak antara pemakai) sehingga ada banyak kata atau istilah baru yang hadir, khususnya istilah keilmuan. Hasil akhirnya adalah naturalisasi kata dimana kata itu berasal dari bahasa asing namun pengucapan maupun penulisannya disesuaikan dengan gaya orang Indonesia seperti beberapa kata di alinea pertama tadi.

Masalah terbesarnya, jangan-jangan muncul perasaan bahwa Bahasa Indonesia bukanlah sesuatu yang membanggakan bagi orang Indonesia sendiri. Fenomena pemakaian kata campuran, khususnya dalam acara-acara resmi atau formal menunjukkan semakin lunturnya kekuatan Bahasa Indonesia sendiri, lunturnya kebanggaan pada identitas budaya hasil sejarah ratusan tahun. Dalam sebuah wawancara dengan salah satu pengarangbesar Indonesia yakni Pramoedya Ananta Toer (“Pram Melawan” oleh Hasudungan Sirait dkk, 2011) tentang Bahasa Indonesia, Pram menyatakan “...dengan kata-kata asing orang merasa lebih hebat. Sama dengan kenyataan hidup sebagai konsumen, semua dari luar negeri diimpor, mulai tusuk gigi sampai mobil...padahal tusuk gigi itu kayunya dari kita. Mobil berbaris lima di jalan dan tak satupun buatan kita..” Lebih lanjut lagi Pram menyatakan bahwa bahaya dari mengimpor berlebih kata dan apa saja ini hanya akan menciptakan terjadinya kemerosotan nasional. “Orang Indonesia hanya akan menjadi kuli, mampu mengimpor tapi tak mampu mengekspor,” begitu pendapatnya.

Mengenai pendapat Pram di atas, kita bisa sepakat bisa juga tidak tapisejauh ini rasanya kita harus memberi penghargaan sebesar-besarnya atas usaha keras Pusat Bahasa yang telah mendata danmenyediakan padanan bagi istilah-istilah yang hasilnya tertuang dalam Tesaurus Bahasa Indonesia 2008 namun semua tetap kembali pada masyarakat Indonesia sebagai pemakainya. Jika masyarakat tetap lebih suka memakai download alih-alih “mengunduh” misalnya, maka usaha keras untuk menguatkan Bahasa Indonesia tetap akan sia-sia. Demikian pula kehadiranUndang-undang Kebahasaan Nomor 24 Tahun 2009 pun akan tak berarti. Selaku warga negara, sebagai putra-putri sejarah setiap orang Indonesia seharusnyalah mendorong orang-orang di sekitarnya untuk mengembangkan bahasa ini karena Bahasa Indonesia adalah kita, jika bahasa kita berkembang maka kita pun berkembang dan sebaliknya jika kita lebih suka membanggakan diri untuk menjadi “tukang impor” maka sebagian budaya akan berhenti, dan kita pun akan berhenti. Selamat memaknai Bulan Bahasa ini. (ll)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun