[caption id="attachment_134634" align="alignleft" width="300" caption="The Root of Emotion by Dimentichisi"][/caption] “Kamu membuatku takut Des,” begitu kata Alice padaku hari itu. Sayang aku tak bisa menatap matanya sehinggga tak mampu menggali ke dalam jiwa perempuan itu saat mengatakannya, lewat barisan kata itu kucoba meraih arti di baliknya. Yang aku tahu, ia kecewa, sangat kecewa padaku.
“Terserah apa yang kau mau sekarang, aku bahkan terlalu takut untuk bertemu kembali denganmu!” lanjut Alice masih dalam rentetan kecewanya. Kata-katanya meluncur, menghunjam keras, dan menyudutkanku dalam kelu. Ada rasa bersalah dalam diri ini, tak berdaya dan tiba-tiba merasa menjadi laki-laki paling bodoh yang pernah diciptakan. Tak hendak aku membela diri, tak ada kebanggaan yang tersisa ketika perempuan yang kukasihi itu tersakiti oleh hadirku. Yang tersisa hanyalah sesal dan perasaan takut akan kehilangan, ribuan jiwa seolah mengutukku saat itu, seorang bebal dan manusia tolol yang tak mengerti juga akan makna cinta yang tulus.
Ia masih di sana, ada di depanku namun tampak tak lagi sama, ia orang yang tersakiti sekarang. Senyum itu masih ada tapi serasa tak lagi bagiku, senyum menawan yang selama ini menghuni relung rinduku namun saat ini justru menyayat bagai sembilu ketika aku tahu ia tak sama lagi seperti hari kemarin. Atau sebenarnya ia tetap pribadi yang sama, hanya mata pikirku yang sekarang berubah. Mata yang baru saja dibukakan pada makna ketulusan cinta, namun sayangnya aku tak bisa mengulang roda waktu dan menghapus satu hari buruk itu. Semua telanjur terjadi. Begitu mudah kesalahan terjadi sementara begitu lama untuk menumbuhkannya.
Untaian ungkapan sesal hanya bisa kusampaikan semata pada samudra yang bergolak di depanku namun sama seperti Alice ia pun tak menyediakan jawaban. Tanya dan curahan perasaanku hanya dibalas oleh pertanyaan yang sama. ”Lakukan dengan benar! Sekarang terserah apa yang hendak kau lakukan dan silakan merengek dalam kemasan bernama maaf itu!” seolah itu yang dikatakan oleh hempasan ombak padaku.
Terlalu banyak yang hendak kutanyakan namun semakin banyak pula pertanyaan yang diberikan samudra padaku. Lalu siapa lagi yang bisa kumintakan jalan? Bagaimana seseorang yang salah mencari pendapat yang akan memberikan pembelaan padanya, siapa sudi menemani orang yang telah cacat? Haruskah kuhadirkan Tuhan sebagai pembelaku sementara aku telah lama meninggalkannya? Kuakui hanya ia yang sekarang bisa kuhadirkan, paling tidak untuk menemaniku menatap cakrawala.
Garis horizon tampak di kejauhan menaburkan warna kelabu dan perak yang menyilaukan, sebuah sosok kapal layar putih dengan tiang ganda muncul sesaat untuk kemudian hilang kembali, jatuh di ujung bumi paling selatan. Akankah Alice juga akan hilang di cakrawala seperti sosok kapal itu? Akankah maaf tak akan terucap dari bibirnya atas salahku ini?
Aku begitu merindukan Alice saat ia tak berada di sisiku namun saat ia di dekatku justru aku lebih sering menyakitinya. Kususuri sisi kelam pikiranku dan kutemukan bahwa semua disebabkan oleh sesatnya pikirku, butanya perasaaanku atas kenyataan yang kuhadapi bahwa ia begitu bersahaja dalam mengasihiku sementara aku menginginkan lebih, aku menuntut terlalu banyak, aku memanipulasinya bagiku sendiri. Ya langit, ya bintang-bintang ampuni aku yang tak juga mengerti betapa sederhananya cinta itu? Ingin kubicara dengan Sapardi saat ini untuk menemukan arti bagaimana cara mencintai dengan sederhana, bertanya padanya kenapa aku tak bisa menjadi kayu yang seharusnya berterimakasih pada api meskipun telah menjadikannya abu?
Semua hancur berantakan ketika aku menginginkan hadirnya hanya bagiku sementara siapalah aku ini baginya, pantaskah jika aku memintanya menyebutku sahabat? Rindu itu membutakanku, menutup semua kasih dan sayangku padanya yang selama ini kujaga. Satu titik nila dalam sebuah keindahan dan keagungan cinta telah menghancurkan semuanya, mengubah sebuah ketulusan menjadi sebuah lelucon kamar tidurmu. ”Maafkan aku sahabat, teman terbaik, pribadi terkasihku jika sekali lagi aku gagal menyayangimu,” terluncur gumamku, doaku pada sosok sepi itu.
Maka kembaliku di titik ini, titik awal untuk mencari kembali kesejatian cinta. Belajar kembali untuk mencintai dan mencari makna di baliknya, seperti cinta Bisma pada Dewi Amba, yang rela menyerahkan nyawa bagi kehadiran Amba dalam pengorbanan yang paripurna dan ketulusan yang gemilang. Sekali lagi kubiarkan rindu ini tumbuh kembali di atas tunas yang pernah patah dan menjadikan rindu ini sebagai jalan untuk menemukan kesejatian diri, membuang segala keinginan hati dan segala angkara yang membelenggu jiwaku karena itulah sumber bencana bagi persahabatan.
Aku hendak belajar untuk mencintainya dengan sederhana karena cinta tak bisa dipaksakan dan toh tak perlu mengejarnya, jika aku mendengar kata-kata Gibran maka mungkin aku harus percaya bahwa jika cinta telah memilihmu, cinta akan datang padamu dan menentukan jalanmu.
”Tak akan kuminta lagi apapun darimu sayangku agar tak pernah akan kurasakan kecewa.” janjiku pada Alice yang hanya bisa kusampaikan pada lautan.
”Aku selalu dan akan tetap belajar menyayangimu, sesuatu yang tak pernah berubah dari diriku.” Itulah desis doa dari bibirku sebelum menutup mata malam itu, berharap tak bermimpi malam ini. Kuhanya ingin segera bangun dan kembali mengucapkan selamat pagi pada Aliceku. (ll)
ps: A friend is one who knows you and loves you just the same (Elbert Hubbard)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H