Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Ada Sesal

20 November 2011   16:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:25 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="attachment_150449" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi (cdn-three.thefreshxpress.com)"][/caption] “Sampeyan napa kok bisa nyangkut di sini?” tanya lelaki paruh baya berpostur kurus dan berkulit gelap dari sampingku.

Kulepas genggamanku pada terali dan menengok ke arahnya, sebenarnya enggan aku menjawabnya karena tak yakin ia akan mengerti. Namun kupikir lagi aku akan berada di sini dalam waktu yang lama, mungkin tak ada salahnya mulai berteman dan punya teman bicara. Lagipula tampaknya ia bukan orang yang punya tabiat buruk.

”Aku mengambil nyawa seseorang tanpa ijin pemiliknya,” jawabku pendek.

”Hmmm...sama kita, aku juga melakukan hal yang sama pada adikku sendiri karena ia hendak merampas kesucian anakku” katanya datar.

”Aku Siman,” lanjutnya sambil mengulurkan tangannya. Kusambut tangannya, dingin, dan kusebutkan namaku: ”Mangku.”

”Sampeyan nyesel?” tanya Siman.

”Nggak, sama sekali nggak. Aku puas,” jawabku tegas atas tanyanya. ”Bahkan di balik jeruji ini terasa lebih nyaman daripada aku di luar tapi harus melihat wajah dan seringai bajingan itu. Bajingan yang melecehkan keagungan seseorang yang telah memberikan segala-galanya bagi hidup si bajingan itu. Bangsat!”

”Pasti cewek yang sampeyan bicarakan ini dan sampeyan cinta mati sama cewe itu ya?” kejar Siman sambil menyunggingkan senyum lebar dan barisan gigi kuningnya padaku.

Teringatku pada Mita, Prajna Paramita, sebuah nama yang secara persis memberikan penjelasan betapa indahnya ia layaknya sang Dewi Kebijaksanaan, kematangan sempurna yang tersembunyi dalam wajah kanak-kanaknya. Nama yang benar-benar mewakili dirinya. Nama yang mampu menggetarkan diriku saat menyebutnya dalam malam-malam sepiku, nama yang selalu menghadirkan kerinduan tak terperi, nama yang akhirnya menumbuhkan ambisi terbesarku yakni memilikinya. Namun bukan itu yang ada dalam kenyataan, seseorang telah bersamanya, tak hanya bersamanya namun terikat dalam perjanjian suci di depan Sang Esa dan di depan institusi negara sialan ini.

Ia, bajingan itu bukan orang yang tepat, ia hanya seekor serigala yang memanfaatkan segala kelembutan dan kemurahan hati Mita, memanipulasi pribadi pemaaf itu untuk kesenangan diri dan secara pengecut berlindung di bawah ikrar suci brengsek dan selembar kertas bercap institusi negara yang layak untuk dibakar jadi abu.

Hari demi hari aku hanya bisa menahan amarah atas segala kisah yang tersampaikan ke aku maupun yang tak pernah terceritakan. Banyak yang tak terceritakan karena Mita khawatir aku akan melakukan hal yang tak diinginkannya, tapi aku telanjur tahu. Lebih tepatnya aku selalu mau tahu segala hal tentang Mita meski ia bersama orang lain.

Sampai pada suatu hari, tak tahan lagi aku melihat tangis dan kesedihan Mita. Pisau komando yang biasanya terselip di tas carrier-ku dan yang biasanya hanya bertugas di basahnya hutan gunung, malam itu melesak 10 cm ke ulu hati bajingan itu.

Teriring parau suaranya dan pandangan mata tak mengerti atas apa yang terjadi, nafas sekaratnya terdengar merdu kala mengantarnya pergi, untuk selamanya, menjauh dari Mitaku. ”Matilah kau bangsat!”

Dan di sinilah aku sekarang, dalam dingin dan lembab ruang tanpa kasur, hanya ada pesakitan yang lain, bau keringat apek, busuk lubang wc yangmenyengat dan bacinnya saluran air yang mampet. Cuma memori akan Mita yang akan menjadi satu-satunya sahabatku.

Aku di sini, selalu berdoa bagimu Mita, teriring rasa cinta yang besar, aku telah bebaskanmu dari neraka itu dan sekarang biarlah neraka itu jadi milikku. Nikmati surgamu. Aku tak akan pernah menyesali semuanya.

”Sampeyan pikir ada berapa bajingan di luar sana?” tanya Siman tiba-tiba, membuyarkan lamunanku akan Mita. ”Sampeyan pikir dengan sampean bunuh bajingan itu lalu cewek sampeyan itu akan aman, gitu?

“Kenapa emangnya pak,” tanyaku pula.

Sampeyan tahu, anakku yang kubela setengah modar itu sekarang cuma jadi ciblek di alun-alun kota, kasih badannya justru buat ratusan bajingan!” dengus Siman.

“Atau coba sampeyan pikir, mungkin ngga kalo saat ini cewe sampeyan itu justru lagi merem-melek di kamar sama laki yang sama bajingannya kayak yang sampeyan bunuh itu?” lanjutnya lagi.

”Sampeyan bisa apa kalo itu betul-betul terjadi?!” lagi-lagi ia bersuara sinis.

Pertanyaan itu tak sanggup kujawab, terasa bahwa aku tak lagi sepenuhnya benar. (ll)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun