[caption id="attachment_124275" align="alignleft" width="300" caption="Photo by Armand at Devianart.com"][/caption] Dalam kegembiraaan, teman-teman akan mengenali kita namun dalam kesengsaraan, kita akan mengenal siapa sahabat kita. Sahabat tak akan menyakiti dengan sengaja, namun kecintaan yang terlalu besar memang dapat membunuh.
Rumusan yang bahkan lebih rumit daripada percintaan ini kutulis besar-besar di tembok kamarku. Bahkan terpatri di dinding hatiku yang telah tersedia untuk satu nama. Ia telah menghuni ruang itu tanpa kusadari sejak waktu-waktu lalu, saat aku jatuh cinta padanya. Cinta itu tak pernah berbalas, dan sejak awal aku memang tak pernah mengharapkan balasannya. Aku mencintainya tanpa alasan. Tapi, bukankah cinta memang tak pernah punya musabab, justru ia adalah causa dari segalanya. Aku mencintainya karena aku mencintainya. Titik. Aku mencintainya maka aku akan lakukan segala upayaku untuk kebahagiannya. Pikiranku, perasaaanku, imajinasiku, semangatku, dan doaku selalu baginya dan selalu menyayanginya dengan segenap hati. Ia menjadi hal paling penting bagiku, bahkan melebihi diriku sendiri karena tanpa dirinya aku sendiri adalah manusia tak berarti.
”Aku harus pergi Jo, bossku menempatkanku di kantor cabang Palembang untuk setahun ke depan.” katanya seminggu yang lalu.
”Kok mendadak sekali? Apa karena kejadian hari itu ketika aku menghajarnya di depanmu?”tanyaku balik.
”Mungkin saja tapi aku ngga akan mempermasalahkannya lagi Jo, memang sudah harus begitu mungkin suratannya. Lagipula aku tahu apa latar belakangnya kenapa kau lakukan itu. Kau membelaku kan?” terang Audry sambil menyunggingkan senyumnya yang teduh.
”Tapi kenapa Palembang? Setahuku, kau pernah cerita bahwa kantor cabang itu adalah yang paling sulit dan semacam buangan bagi para karyawan yang ngga bisa perform, iya kan?”
”Hmmm...aku ngga mau memikirkan itu lebih awal Jo, tenang aja, aku pasti bisa melewatinya. Jika nanti tempat itu ngga cocok untukku, aku bisa resign sewaktu-waktu kok..”
”Maafkan aku Audry, aku kelepasan waktu itu, tak bisa kutahan emosiku melihat perlakuannya seperti itu padamu mentang-mentang dia bosmu. Dia ngga pantas memperlakukanmu seperti itu, memintamu selalu bersamanya dan melayani maunya, kamu kan bukan sekretaris pribadinya!” Emosiku kembali naik saat ingat kejadian itu.
”Sudahlah Jo, aku paham kamu benar kok, masalahnya ini menyangkut sebuah otorita yang tak bisa dibantah. Dia yang mengatur hidupku saat ini, namun kamu telah membuat hidupku yang membosankan itu berwarna-warni. Aku tetap menerima kondisi ini” lanjut Audry tanpa emosi berlebih.
”Pengecut dia itu. Mestinya ia menghadapi kembali aku karena aku yang membuat masalah, bukan kamu. Orang berkualitas rendah seperti itu tak layak menjadi pemimpin, apalagi membawahi puluhan orang. Bagaimana ia bisa memegang tanggung jawab atas sebegitu banyak orang jika ia tak mampu mengendalikan egonya sendiri?”Luapan perasaan yang tertahan membuat nada suaraku menaik. Namun wajah Audry tetap tidak berubah.
”Bagaimana kalau aku menemuinya lagi? Bukan untuk minta maaf namun untuk mengajaknya berpikir bijak dalam hal ini karena ini menyangkut nasib dan hidupmu ke depan?” suaraku kembali melunak.
”Tak usah Jo, nanti situasinya akan makin memburuk. Kita tahu kita berhadapan dengan manusia berhati kerdil. Jangan ikuti kehendaknya karena cuma akan membuat kamu kerdil juga nanti! Biarlah kekerdilan hanya milik para kurcaci” suara Audry mulai serius saat matanya mulai berkaca-kaca.
”Maafkan aku Audry, aku terlalu menyayangimu sehingga tak kusadari justru menyakitimu.”
”Tak apa Jo, aku tahu kamu begitu mengasihiku” pungkasnya.Kupeluk erat Audry dalam kasih yang begitu besar, Audrypun membalas pelukanku sambil berlinang air mata. Sesal itu begitu berat terasa di dadaku, saat itu aku merasa begitu tak berdaya.
Itu adalah percakapanku terakhir dengan Audry, seorang yang sangat tulus dan baik hati namun terjebak dalam amarah dan cemburu. Perempuan manis yang terpaksa jadi korban sahabatnya sendiri yang terlalu mencintainya.
Aku kehilangan dirinya. Sesuatu yang besar lenyap meninggalkan ruang hampa yang begitu besar dalam ruang diriku. Kemarahanku tak lagi berguna, aku tak lagi bisa melindunginya, aku tak membantu apapun. Hanya sesal yang tertinggal dan kecemasan menggayut dari waktu ke waktu.
Semakin dalam penyesalan itu ketika empat bulan kemudian, aku mendengar ceritanya di tempat baru. ”Jo, aku akhirnya resign, tempat itu tak bisa lagi jadi tempatku bekerja.” Kekhawatiranku ternyata terbukti. Bagai mendengar ledakan petir di hari terik ketika aku mendengar dari mulutnya sendiri di antara sesenggukan tangis di ujung telpon Audry mengatakan ”....aku diperkosa oleh pimpinanku di sini!”
Pecah sudah emosiku saat itu, kata-kata sudah tak bisa lagi kudengar dengan jernih. Kurenggut tas, pakaian, dan kebutuhan lain seperlunya, menuju bandara untuk segera ke Palembang, dan sekarang aku tak sendirian, aku membawa sesuatu bersamaku, membesar dalam dadaku, rasa dendam! Tapi sekarang aku tak akan bisa memaafkan siapapun itu yang telah menyakiti Audry sahabatku yang begitu lembut. (ll)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H