Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenapa Dunia (makin) Membenci Amerika?

28 April 2011   12:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:17 2419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

”Terdapat satu cara untuk menghentikan terorisme. Berhentilah menjadi teroris!” (Michael Moore, 2003)

Gejolak yang terjadi di Timur Tengah saat ini memberikan (sekali lagi) gambaran nyata bahwa Amerika Serikat memang tak pernah mencoba belajar dari pengalaman di masa lalu. Hadirnya Obama di tampuk kepresidenan Amerika Serikat memang secara internal menghadirkan harapan dan fenomena baru, melalui kebijakan program sosial untuk kelas menengah bawah dan kenaikan pajak progresif popularitas Obama meningkat namun jika melihat dari kebijakan luar negeri yang diterapkan tampaknya asa akan harapan dunia baru itu masih jauh dari harapan. AS tetap maniak perang, seperti para moyangnya dulu.

Seperti pimpinan-pimpinan AS sebelumnya baik dari Demokrat maupun Republik tetap menunjukkan pola kebijakan luar negeri yang sama yakni mempertahankan kebijakan intervensinya pada negara-negara yang sekiranya akan merugikan posisi AS. Dari era perang dingin pasca PD II sampai Obama saat ini, AS tetap hendak mempertahankan dominasinya atas negara-negara yang notabene militernya lemah namun menguntungkan secara ekonomi dan politik, mereka tetap memegang cita-cita bahwa ”Amerika Serikat adalah penguasa dunia.” AS lah yang berhak menentukan mana negara yang ”baik” dan mana negara ”iblis”, bukan PBB.

Coba amati apa yang terjadi pada Mesir, Tunisia, Yaman, Turki dan Bahrain lalu bandingkan dengan apa yang terjadi dengan Libya dan Suriah, tampak sekali pola yang menunjukkan bagaimana peran dan sikap Amerika begitu kontras. Mesir, Tunisia, Yaman, Turki, dan Bahrain selama ini memang dikenal sebagai negara klien AS di Timur Tengah, dukungan yang diberikan oleh AS kepada negara-negara ini cukup besar karena negara-negara tersebut adalah ”sahabat.” Ketika terjadi gejolak di dalam negeri yang menuntut perubahan rejim oleh gerakan oposisi rakyat, jika pemimpin ”sahabat” itu dalam posisi terjepit, AS akan bersikap lunak dengan meminta para pemimpin untuk mundur. Tanpa perlawanan sengit, mereka pun mundur atau bersikap kooperatif (biasanya dengan tawaran suaka)

Sikap ini tak berlaku untuk Libya dan Suriah yang selama ini dilabeli ”negara iblis” oleh AS, pemimpin seperti Qaddhafi dan Asaad menolak untuk mundur meskipun ada desakan dari sebagian rakyatnya yang meminta perubahan rejim. Dengan tegas kedua pemimpin ini menolak permintaan oposisi dan AS untuk meletakkan jabatan karena mensinyalir bahwa kelompok oposisi ini dikendalikan dan didukung oleh AS, musuh mereka selama ini. Amerika Serikat punya reaksi yang sangat bisa diduga yakni pengerahan kekuatan militer untuk ”menormalkan situasi” dan melindungi warga sipil atas nama ”operasi kemanusiaan.” Istilah ini sebetulnya sangat klise dan sudah seringkali digunakan sebagai selubung sebuah operasi militer yang sifatnya invasif, agresif dengan tujuan akhir mengganti rejim penguasa dengan penguasa yang dekat dan bisa bekerjasama dengan AS.

----------

PBB sendiri nampak lumpuh dan dikenal hanya sebagai instrumen militer AS, dalam 30 tahun terakhir tercatat AS paling sering memveto resolusi PBB dibandingkan anggota Dewan Keamanan PBB yang lain seperti Perancis, Rusia, apalagi Cina (wikipedia.org). Amerika juga tercatat adalah negara satu-satunya di dunia yang bisa melakukan invasi ke negara-negara lain yang ”dianggap” membahayakan Amerika Serikat bahkan sebelum negara tersebut mengancam Amerika secara riil tanpa menggunakan resolusi PBB sebagai dasar. Pada masa Kennedy (Demokrat), Amerika bisa melakukan invasi ke Cuba (dalam peristiwa Bay of Pigs) tanpa meminta ijin PBB, pun PBB diam saja. Reagan dapat dengan seenaknya melakukan invasi ke Nikaragua, Bush Sr bebas menginvasi Panama, Bush Jr dapat dengan leluasa menginvasi Irak, seluruhnya mengabaikan PBB sebagai institusi internasional. Dan sekarang, Obama mencoba mengingkari Resolusi PBB no 1973 mengenai Libya. Resolusi PBB itu hanya memberikan mandat pada tentara koalisi untuk menerapkan zona larangan terbang di atas Libya; melindungi sipil tak berdosa; dan mengambil tindakan seperlunya jika terjadi situasi yang mengancam kemanusiaan. Jelas bukan untuk menggulingkan Qaddhafi.

Resolusi PBB sama sekali tidak memberi mandat bagi tentara koalisi untuk menyingkirkan rejim Qaddhafi namun apa yang terjadi? Amerika Serikat beserta cheeleader-nya, Inggris dan Perancis tetap ngotot untuk menyingkirkan Qaddhafi dari kekuasaan menggunakan serangan udara ke darat padahal negara lain seperti Italia menolak. Serangan ke Tripoli khususnya ke kediaman Qaddhafi merupakan satu pelanggaran berat atas resolusi PBB namun toh PBB dan sekjennya (yang juga berasal dari negara klien AS, Korea Selatan) hanya celingak-celinguk dan tak bersikap apapun, hanya Rusia yang menyatakan dengan tegas bahwa serangan ke kediaman Qaddhafi merupakan pelanggaran atas resolusi PBB. Yang menarik adalah justru Qaddhafi menunjukkan dirinya sebagai pihak yang taat hukum internasional yakni dengan tidak membalas menyerang melainkan mengadukan tindakan AS, Inggris dan Perancis ini sebagai pelanggaran atas resolusi kepada Dewan Keamanan PBB, sikap yang sama yang dipilih oleh Fidel Castro pada tahun 1962 saat insiden invasi AS ke Teluk Babi (Bay of Pigs), serta pemerintah sah Nikaragua saat diserang AS tahun 1980an semasa Reagan berkuasa.

-----------------

”Washington akan berkonsultasi dengan anggota Dewan Keamanan yang lain, tapi tak dirasakan perlu untuk mendapatkan persetujuan mereka,” adalah ucapan Collin Powell pada saat menjabat sebagai Secretary of State rejim Bush (Republik) pada tahun 2002 saat hendak menginvasi Irak (Chomsky, Hegemony or Survival, 2003. p. 32) Sikap yang jelas menunjukkan bagaimana jumawanya AS bahkan di atas PBB. Masih dari sumber yang sama, lontaran lebih keras senada muncul dari Andrew Card, Kepala Staf Gedung Putih: ”PBB dapat bertemu dan berdiskusi, tapi kami tidak membutuhkan ijin mereka.”

Ironis ketika Obama, seorang Demokrat sang pembawa harapan perubahan justru melakukan hal yang sama dengan kawan Republiknya yakni memaksakan kehendak melawan resolusi PBB untuk agenda AS sendiri yakni menggulingkan Qaddafi ”sang iblis” dari kekuasaan. Pola membabi buta ketika AS bertindak sebagai polisi dunia yang berhak melabeli seorang pemimpin sebagai musuh AS dan menghukum mereka, mencabut legitimasi rakyat atas pimpinannya, dan yang paling buruk; menciptakan perang saudara yang tak berkesudahan, justru diulangi.

Tak cukupkah belajar dari Afghanistan ketika AS menciptakan perang saudara antara koalisi utara dengan eks taliban, di Nikaragua ketika Sandinista melawan pasukan pembunuh dengan beking AS-Contra, Irak antara Sunni dan Syiah, Colombia antara pemerintah militer dukungan AS versus tentara revolusioner kiri FARC, Hamas-PLO di Palestina, Militer El Salvador versus FMLN di El Salvador, Serbia-Albania, Vietnam Selatan-Vietnam Utara, Pakistan-India, Korsel-Korut, serta tak jauh dari kita, Timor Timur, dan sekarang (lagi) hendak menciptakan perang saudara di Libya dan Suriah. Intervensi AS hanya menyisakan kepiluan perang saudara yang berlarut-larut. Saat ini di Libya, tahapan berikut dari perang saudara belum berlangsung yakni ketika AS mempersenjatai pihak oposisi. Jika ini benar-benar dilakukan seperti sebelum-sebelumnya maka hal terburuk itu akan betul-betul terjadi, bahkan kondisinya mungkin akan lebih buruk daripada saat rejim Qaddhafi berkuasa. Jika ingin melihat contoh nyata, lihatlah Irak hari ini, jauh lebih buruk daripada saat Saddam Hussein berkuasa (John Pilger ”The New Ruler of The World” 2002; guardian.co.uk, 2011; wikipedia.org)

Tipuan AS kepada dunia sudah diketahui oleh publik dan dari hari ke hari dunia semakin menilai bahwa ancaman terbesar bagi perdamaian dunia yang sebenarnya adalah Amerika Serikat. Menurut Times dalam pollingnya di Eropa menyatakan bahwa 80% responden menyatakan AS adalah ancaman bagi keamanan dunia. Ilustrasi lain saat dilakukan survey di Kanada, tetangga AS sendiri; 36 % menyatakan bahwa AS adalah ancaman utama; 21% menyatakan Al Qaeda; 17 % menyatakan Irak; dan 14% menyatakan Korea Utara adalah musuh perdamaian. Polling ini dilakukan pada tahun 2002 saat menjelang invasi Irak (ibid. p. 41). Bisa dibayangkan bagaimana jika survey itu dilakukan di Asia.

------------

Pasca kejadian serangan ke World Trade Center pada 9 September (9/11) 2001, ada pernyataan George Bush yang sangat terkenal, pertanyaan retorik lebih tepatnya: Why do they hate us? - Kenapa mereka membenci kita (AS)? Jawaban yang kemudian akan mudah sekali di jawab: ”Karena kelakuan Anda dan sekutu-sekutu Anda itulah yang menyebabkan semuanya. Dan jika Anda tetap melanjutkannya maka ketakutan dan kebencian yang telah Anda ilhami itu akan meluas pada negeri-negeri yang telah Anda permalukan (ibid.p.42)

Kita bisa menilai sendiri bahwa nafsu sebagai penguasa dunia, nafsu sebagai polisi dunia justru membawa dunia ini pada suatu kekacauan (disorder) dimana negara-negara justru akan memperkuat diri atau sebagian menjadi sangat agresif. Korea Utara dan Iran adalah contoh negara yang memilih memperkuat diri dengan nuklir sebagai tameng pertahanan melawan dominasi AS, dan terbukti ini (memang) menciutkan nyali AS untuk menyerang mereka, sementara itu kelompok-kelompok bersenjata lain menjadi makin agresif, seperti Al Qaeda atau Hamas misalnya dengan sasaran-sasaran simbol AS dan Israel di manapun mereka berada.

Sebagian negara yang pernah merasakan dominasi AS memilih jalan demokrasi dan penguatan kedaulatan nasional sebagai obat menuju perbaikan. Contohnya adalah Amerika Latin (dan Tengah) yang relatif membaik lewat proses pengambilalihan rejim oleh pemerintahan kiri dan demokratis seperti Chile, Bolivia, Nikaragua, Paraguay, Argentina, Brazil, dan Venezuela.

--------------------

Apa yang terjadi di Indonesia dengan maraknya terorisme juga berhubungan dengan hal ini, Indonesia dinilai sebagai klien AS dalam globalisasi (memang benar adanya) sehingga Indonesia dijadikan salah satu sasaran tembak bagi kelompok teroris untuk menciptakan kekacauan yang sama, menunjukkan diri bahwa tak hanya AS yang bisa membuat kekacauan, merekapun bisa. Korbannya sudah jelas yakni rakyat Indonesia yang tak berdosa.

Maka wajar ketika dari hari ke hari dunia semakin membenci Amerika, koalisi AS melonggar dan semakin sulit dikontrol oleh AS kecuali pemandu soraknya, Inggris dan Perancis. Tapi tampaknya kaum hawkish atau para penggila perang di AS dan teman seranjangnya, Israel tetap menginginkan hilangnya para ”iblis” penantang kebijakan AS demi mengamankan aset ekonomi dan politik mereka, memperluas dominasi pasar dan korporasi AS serta mengamankan Israel dari tetangganya yang dianggap membahayakan gerakan fasisme/zionisme mereka yakni Iran, Suriah, Libya, dan Palestina.

Akhir kata, Amerika Serikat benar-benar telah memberi contoh buruk bagi perdamaian dunia dan tak layak untuk mengajarkan demokrasi bagi negara manapun termasuk Indonesia selama masih mengedepankan pendekatan militeristik, paranoid dan tidak mau menghormati asas-asas hukum internasional (ll)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun